JURAGAN ARJUNA

BAB 149



BAB 149

0"Kangmas!"     
0

Aku kaget, tatkala Manis memanggil namaku dengan cukup keras. Aku langsung menoleh, Manis rupanya sudah berada di sampingku. Sembari melihat wajahku dengan pandangan anehnya itu. Apa dia sudah lama di sini?     

"Ada apa, toh? Kok ya sedari tadi aku ajak bicara itu, lho, ndhak menjawab sama sekali. Sebenarnya, kamu lihat apa, toh?" tanyanya. Yang agaknya seperti curiga perkara sesuatu.     

"Itu... di sana," kubilang, sambil menunjuk pada sudut yang kulihat dengan seksama tadi. "Aku melihat perempuan memakai payung hitam, dengan rok putih berenda. Dia melihat ke arahku, kemudian tersenyum. Iya... di sana," kubilang sekali lagi. Sembari menoleh ke tempat itu lagi.     

Aku dan Manis lantas mengerutkan kening kami, sebab di sana ndhak ada siapa pun. Ndhak ada apa-apa. Padahal, baru sekejap aku menoleh ke arah Manis. Masak iya perempuan tadi menghilang dengan cara tiba-tiba, toh? Jika dia pergi dari sana, seharusnya dia berjalan melewati jalanan setapak itu, kan?     

"Mana, Kangmas? Ndhak ada siapa-siapa, itu? Sedari tadi lho aku melihat arah pandangmu, dan aku ndhak melihat apa-apa," katanya menerangkan.     

Masak, toh? Masak dia ndhak melihat apa-apa? Wong jelas aku melihat sosok perempuan di sana sambil tersenyum kok.     

"Masak iya kamu ndhak lihat? Mataku ini masih normal lho, ndhak minus," keras kepalaku.     

Manis lantas menepuk bahuku, mimik wajahnya benar-benar tampak aneh. "Sudah-sudah ndhak usah dibahas, gerimis-gerimis seperti ini ndhak baik membahas perkara seperti itu," katanya kemudian.     

Kukerutkan alisku, sebab aku bingung. Apa maksud dari ucapannya itu, tapi dia malah sudah sibuk membersihkan bahunya yang basah.     

"Kawanku sudah berangkat Kangmas, diantar oleh ayahnya. Jadi, ayo kita berangkat sebelum aku terlambat,"     

Aku mengangguk, tanpa suara. Meski aku cukup penasaran dengan apa yang telah Manis ucapkan tadi. Apa dia pikir, jika yang kulihat itu... lelembut?     

"Duh Gusti!"     

Aku memekik, tatkala nyaris menabrak seseorang. Untung, aku dengan cepat menghentikan mobil. Kulihat Manis hampir terjatuh, tapi tangannya kuat-kuat berpegangan. Mataku langsung melotot, jantungku seolah berhenti berdetak. Tatkala sosok yang kulihat tadi tiba-tiba berdiri tepat di depan mobilku. Dan, nyaris kutabrak.     

"M... Manis...," kataku dengan suara bergetar. Melihat sosok itu menundukkan payung hitamnya, berdiri dan ndhak bergerak benar-benar membuatku ketakutan. Mati, aku, ini lelembut beneran! "I... itu! Itu perempuan yang kulihat tadi!" lanjutku. Sembari menggoyang-goyangkan tubuh Manis.     

Manis langsung melihatku dengan panik, mungkin dia ketakutan melihatku menjadi histeris seperti ini. Jujur, aku juga. Dan entah kenapa, setelah kejadian yang dilakukan oleh Minto, setelah aku bertemu dengan Romo Adrian, mataku menjadi aneh. Aku jadi sering melihat hal-hal yang ndhak sepatutnya dilihat. Dan di sini, aku sama sekali ndhak tahu, yang ada di depanku ini manusia sungguhan, atau manusia jadi-jadian.     

"Tenang, Kangmas. Tenang!" katanya, kuhirup napasku dalam-dalam. Kemudian aku mulai agak merasa tenang. "Biar aku yang melihatnya, siapa gerangan perempuan itu. Barangkali dia terluka."     

Manis langsung keluar dari mobil, bahkan tanpa mengenakan payungnya. Dia berjalan mendekat ke arah sosok perempuan itu. Dan perempuan yang masih tampak menutup wajahnya dengan payung itu pun tampak menggeser posisi tubuhnya.     

Dahiku semakin berkerut, tatkala melihat Manis tersenyum sumringah. Menarik lengan sosok yang masih aku ragu itu manusia apa endhak itu, kemudian diajaknya mendekat ke arah pintu.     

"Kangmas...," katanya, mengetuk kaca mobil dan membuatku menurunkan kaca mobilnya. Dia menunduk, wajah ayu (cantik)nya tampak basah karena terkena tetesan gerimis. Aku takut, jika pakaiannya basah, dan dia akan sakit. "Dia ini kawanku, yang tadi hendak menjemputku itu, lho," lanjutnya.     

Kutarik lagi sebelah alisku. Apa? Kawan Manis? Apa benar sosok yang mirip lelembut itu adalah kawan Manis?     

Manis langsung mengajak perempuan itu masuk ke dalam mobil, sementara Manis pun ikut masuk. Kuperhatikan perempuan itu menurunkan payungnya, dia masih menunduk, di balik rambut hitam panjangnya yang ia gerai. Dia kemudian menebas-nebas rambutnya yang basah.     

Aku langsung kaget, saat matanya menangkap mataku yang sedari tadi memerhatikannya. Untuk kemudian, rambutnya disibak dengan sempurna sampai wajah aslinya terlihat begitu nyata.     

Lega, itu yang bisa aku rasakan. Sebab wajahnya benar-benar wajah manusia biasa. Dia bukan lelembut. Dia benar-benar manusia.     

Namun rupanya, apa yang aku lamunkan malah membuatnya malu. Dia kembali menunduk dengan wajah merah padam. Aku ndhak sengaja, memelotinya sedari tadi di balik spion mobil.     

"Katamu dia diantar ayahnya," kubilang kepada Manis. Untuk sekali lagi memastikan, kalau itu benar-benar kawannya. Gerimis seperti ini, menurut kepercayaan orang Jawa, lelembut-lelembut sering muncul, menyerupai sosok perempuan yang mengenakan payung. Persis sekali dengan perempuan yang ada di mobilku saat ini, benar-benar ndhak jauh berbeda.     

"Iya, tadi kutanya, Kangmas. Dia diantar ayahnya, tapi ndhak jadi. Setelah di depan rumah, dia minta turun. Karena hendak menjemputku. Namun sebelum sampai ke rumahku, dia lupa membawa bukunya. Jadi dia pulang lagi. Kebetulan tadi di rumahnya sepi, jadi ndhak ada yang tahu kalau dia pulang sebentar," jelas Manis.     

Kenapa, ya, aku kok masih ndhak percaya. Apa benar seperti itu ceritanya? Ditambah, perempuan itu dari tadi diam saja. Ndhak bicara sama sekali.     

"Kamu kenal lama kawanmu ini?" kutanya lagi. Perempuan itu menunduk semakin dalam. Andai saja aku bawa garam, pasti sudah kulempar garam sosok yang ada di mobilku ini.     

"Kenal lama, toh. Namanya Hasnah, Kangmas. Hasnah, ini adalah suamiku. Dan Kangmas, ini Hasnah, kawanku," jelas Manis. Yang kini memperkenalkan kami berdua.     

"Dia diam saja itu," kataku lagi.     

Manis langsung mencubit lenganku, matanya langsung melotot. "Kangmas, ndhak boleh seperti itu, toh. Ada orangnya itu, lho. Ndhak sungkan apa, toh," marahnya.     

"Aku Arjuna, suami Manis," kataku pada akhirnya memperkenalkan diri. Sembari sesekali masih memerhatikannya di balik kaca mobilku.     

Dia kemudian perlahan mendongak, kemudian menyelipkan rambutnya di belakang telinga. Matanya melihat ke arahku, kemudian dia tersenyum. Senyum aneh, senyum yang sama seperti senyumannya tadi. Tatkala kulihat dia di semak-semak tadi.     

"Aku Hasnah, Bang," jawabnya.     

Dadaku langsung lega, setelah memastikan jika dia benar-benar manusia. Aku pun tersenyum, kemudian kembali fokus mengemudi menuju Universitas Manis, dan Hasnah.     

Ndhak lama, kami sampai di tempat tujuan. Manis turun, begitu juga dengan Hasnah. Kulihat Manis kemudian Hasnah bergantian. Tapi, mata Hasnah tampak kaget, tatkala pandanganku teralih padanya.     

"Nanti aku jemput?" tanyaku pada Manis, dan mengabaikan tingkah aneh perempuan kota itu.     

"Ndhak usah, Kangmas. Aku pulang dengan Hasnah saja,"     

"Dijemput saja, Manis. Takutnya nanti hujan turun semakin deras. Berjalan saat hujan, bukanlah hal yang tepat,"     

Aku menyetujui ucapan Hasnah saat ini, kemudian aku menatap lagi wajah istriku yang tampak lelah. Dia, pasti butuh banyak istirahat. Dan itu karenaku.     

"Nanti aku jemput. Ndhak usah protes, ndhak usah pakai tapi," kubilang.     

"Terus pakai apa?" tanyanya bingung.     

"Pakai cium saja, sini," godaku padanya.     

Manis langsung melotot, kemudian dia melirik ke arah Hasnah, seolah memberi isyarat, jika aku harus jaga ucapn sebab di sampingnya sedang ada kawannya.     

"Oh, maaf. Kalau begitu aku pulang dulu," putusku. Setelah itu aku pun langsung kembali pulang, aku ingin sedikit membantu membereskan beberapa hal di rumah, sebelum aku bertemu dengan Ucup untuk membahas perkara pekerjaan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.