JURAGAN ARJUNA

BAB 169



BAB 169

0Ucup tiba-tiba langsung berdiri, membuat Manis yang baru saja datang sembari membawa nampan yang berisi dua cangkir teh beserta cemilannya pun agaknya kaget. Sampai-sampai, air di dalam cangkir itu bergoyang dengan sangat kuat. Dasar, Ucup, kenapa juga dia harus berlaku berlebihan seperti itu. Apa jangan-jangan benar dugaanku, jika anak ini ndhak beres, ketempelan jin iprit. Sebab bagaimana bisa, dia bertingkah seaneh ini. Meski sebenarnya, setiap hari pun dia memang aneh.     
0

"Ya sudah, Juragan. Kalau begitu aku akan pulang dulu untuk membuat laporan tentang ide cemerlangku. Setelah itu aku akan kembali lagi. Dan Juragan tenang saja, aku pasti akan membuat secara rinci. Bahkan kalau perlu, dampak dalam waktu lima tahun itu apa saja hal positif negatifnya akan aku tulis serinci-rincinya. Agar Juragan benar-benar mempertimbangkan ide cemerlangku ini. Aku bisa jamin itu, Juragan!"     

"Ya, ya, ya... tapi kembalilah duduk dulu. Kamu tidak lihat, suami tercantikku ini baru saja membuatkanmu minuman. Bukan hal yang pantas kalau kamu langsung pulang tanpa mencicipinya. Sebab, persetujuanku tentang ide cermelangmu itu tergantung dengan perlakuanmu kepada istriku,"     

Ucup langsung duduk lagi, Manis yang mengulum senyum langsung menaruh teh buatannya beserta putu ayu di meja. Kemudian dia duduk di sampingku, sambil memeluk nampan kayunya itu erat-erat.     

"Ada apa, toh, Kangmas? Kok Bang Ucup sepertinya semangat sekali," tanyanya kepadaku.     

"Dia itu, mungkin habis kerasukan jin iprit!" kubilang, kusesap tehku yang hangat itu, sebelumnya kunikmati aromanya terlebih dulu. Aroma teh yang bercampur dengan wangi bunga mawar memang benar-benar yang terbaik.     

"Ini teh apa, Manis? Aromanya benar-benar wangi sekali, dan rasa tehnya juga sangat nikmat," tanya Ucup. Iya, memang, dia itu ndhak pernah memanggil Manis dengan sebutan Ndoro. Dan aku pun ndhak mempermasalahkan itu, asal dia ndhak memanggilnya Dik Manis saja. Sebab, telinga dan hatiku benar-benar sangat terganggu dengan panggilan itu. Entah kenapa, aku merasa yang berhak atas panggilan itu hanyalah aku. Ya, aku, Juragan Arjuna Hendarmoko.     

"Itu teh dicampur dengan bunga mawa. Kamu belum pernah mencoba, kan? Dan airnya sengaja aku pakai air embun, biar nikmatnya terasa. Kam tahu air embun? Airnya ditaruh di wadah yang terbuat dari tanah liat, seperti kendi itu, kemudian ditaruh di luar yang agaknya ada pepohonan. Kemudian, tehnya diseduh di dalam panci yang terbuat dari kayu juga. Lalu diberi madu sama sedikit gula kristal. Percayalah, aroma dan rasanya beda dari teh-teh lainnya," terang Manis. Aku pun baru paham perkara seperti itu.     

"Lha ini! Ini adalah inovasi terbaru ini! Inovasi spektakuler ini ditemukan oleh istrimu sendiri, Juragan! Wah, aku jadi semakin semangat untuk membuat ide cemerlang ini menjadi kenyataan. Dengan pencetus ide brilian adalah Manis! Wah... aku yakin, produk kita nantinya akan benar-benar laku di pasaran!"     

"Lha ini apa, toh? Kok ya bahas produk, proposal, dan ide cemerlang terus sedari tadi. Aku lho ndhak paham!" kata Manis menengahi. Lihatlah mimik wajah bingungnya itu, sampai-sampai membuatku ndhak tega juga melihatnya.     

Kutepuk pahanya, membuat Manis menoleh ke arahku dengan mimik yang sangat seriusnya itu.     

"Jadi begini, Ucup ini pagi-pagi bertandang ke sini karena dia dengan cara tiba-tiba menuturkan kalau dia memiliki sebuah ide cemerlang. Bayangkan saja, Sayang. Ndhak ada angin, ndhak ada hujan, dia berkata seperti itu. Dan kamu tahu, apa ide cemerlangnya itu?"     

"Apa, Kangmas?" tanya yang semakin penasaran.     

"Ide cemerlangnya adalah, dia memintaku untuk membuat pabrik teh yang sudah jadi, dan dikemas di dalam sebuah botol. Bayangkan saja, ndhak ada angin ndhak ada hujan dia bertandang dengan membawa ide macam itu."     

"Hah? Apa? Membuat sebuah pabrik teh di Jakarta?" tanya Manis, mengulang penjelasanku sembari memekik kaget. Aku yakin, Manis pun terheran mendengar penuturanku itul. Atau bahkan dia berpikir jika Ucup datang ke sini sembari ngelindur. "Buat Pabrik? Suamiku? Kamu ini apa-apaan, toh, Bang? Kenapa kamu bisa meminta suamiku membuat sebuah pabrik di Jakarta ini bagaimana ceritanya? Apa kamu ini ngelindur? Atau malah kamu ini tidak sadar, ya? Pabrik itu butuh biaya yang teramat sangat banyak. Bukan hanya ratusan ribu, jutaan, puluhan, atau raturan juta. Tapi juga milyaran dan bahkan bisa lebih. Duit dari mana itu semua, Bang? Lagi pula, apa Abang Ucup yakin jika produk yang dihasilkan dari pabrik itu laku? Kalau produknya gagal dan tidak diterima di pasaran, bagaimana dengan nasib suamiku? Sudah kehilangan banyak uang, ditambah bangkrut dan menanggung kerugian pula. Tidak... tidak. Janga...."     

"Lha ini!" kata Ucup yang kini agaknya hendak bedebat dengan Manis. Aku langsung memijat pelipisku, yang rasanya tiba-tiba nyut-nyutan karena tingkah dua orang ini. "Ini adalah contoh istri yang tidak mau melihat suaminya maju, yang tidak mau melihat suaminya sukses. Pola pikirmu yang kampungan, dan terlalu cetek, serta terlalu takut ambil risiko, benar-benar jauh dari pekerjaan suamimu yang notabenya adalah seorang Juragan. Seorang pebisnis. Dan kamu tahu, apa moto dari seorang pebisnis itu? Mereka harus kritis, dan siap bangkrut demi membuat suatu terobosan baru. Sebab bangkrut dan kesuksesan bagi seorang pebisnis itu berjalan sejajar."     

"Lho, Abang Ucup kenapa malah mengataiku sebagai orang dengan pola pikir kampungan, toh? Wajar kan aku sebagai istri tidak mau melihat suamiku hancur dengan membuang uangnya percuma pada bisnis yang belum tentu juntrungannya? Lagi pula, dalam masa Romo Adrian, dan Romo Nathan dulu pun, bisnis keluarga suamiku stabi. Mereka pebisnis, dan mereka tidak pernah harus mengambil risiko sebesar ini. iya, aku tahu, kalau bagi pebisnis bangkrut dan sukses itu adalah seimbang. Tapi, pebisnis pintar juga harus berpikir dan berencana, bagaimana cara meminimalisasi kerugian, agar risiko bangkrut itu bisa ditekan sekuat mungkin. Makanya, Bang, kalau kamu mau memberi ide kepada suamiku, setidaknya berilah ide yang real, yang nyata. Yang di mana ide tersebut dapat diterima oleh nalar manusia. Serta, bagaimana umpan balik dari konsumen, bagaimana kelangsungan dari produk itu selama lima tahun pertama peluncurannya. Jangan hanya karena mau coba-coba dengan penemuan baru, lantas kamu memaksa suamiku untuk membangun sebuah pabrik, memproduksi barang yang belum tentu disukai masyarakat luas. Melakukan pekerjaan yang sama dengan pikiranmu itu, sama halnya dengan bermimpi di siang bolong, Bang. Percayalah!"     

"Duh, aku tidak mengerti dengan pola pikir kolot dari perempuan ini," Ucup pun langsung berdiri, dengan wajah kesalnya. "Oke, aku akan membuat proposal secara rinci, atau bahkan bila perlu, aku akan membuat data, riset, serta kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa kita alami jika gagal dengan produk ini. Aku akan tunjukkan kepadamu, Manis. Jika puluhan tahun mendatang, teh siap minum dalam kemasan adalah salah satu produk yang digilai oleh para konsumen. Percaya padaku!"     

Ucup langsung pergi, bahkan dia ndhak pamit kepadaku terlebih dahulu. Sementara aku, memilih diam. Sembari mengulum senyum karena keras kepalanya itu. Keras kepalanya saat ini benar-benar luar biasa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.