JURAGAN ARJUNA

BAB 170



BAB 170

0"Kangmas serius, toh, tentang rencana dari Bang Ucup itu?" tanya Manis, saat kita sudah berada di kamar. Dia sedang menjahit, dan aku sedang sibuk dengan koran dan televisiku. Aku diam, ndhak menjawab. Membuat Manis lantas menghela napas panjang dan cukup keras terdengar di telingaku. "Kalau ditanya mbok ya dijawab, toh, Mas. Kok ya diam saja itu, lho. Kebiasaan. Aku ini sedang bertanya perkara penting, lho, Kangmas," lanjutnya.     
0

Aku tersenyum melihatnya tatkala cemberut seperti itu. Aku bahkan sampai lupa, sejak kapan istriku jadi secerewet ini sekarang? Padahal dulu, jangankan cerewet, dia lebih suka bersikap ndhak peduli sama sekali.     

"Aku rasa idenya itu memang benar-benar ndhak ada salahnya," kubilang pada akhirnya. Manis langsung menghentikan kegiatan menjahitnya. Bahkan, kain batik yang baru terjahit di beberapa bagian itu pun langsung digenggam erat-erat, sembari memandangku dengan tatapan seriusnya itu. "Kita hidup di masa kemajuan global mulai merambah di segala sisi. Dan memang benar kata Ucup, jika perkara inovasinya itu ndhak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti, dalam jarak tahunan, belasan, bahkan puluhan tahun ke depan akan benar-benar menjadi barang yang benar-benar dicari. Sayang, dengarkan aku...," kataku, menarik lengan Manis kemudian menyuruhnya duduk di sampingku. "Kamu sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta, toh?" kutanya, Manis tampak mengangguk. "Kamu tentunya paham dengan gaya hidup di Jakarta, toh? Ini bukan dari segi cara mereka berpakaian, bukan pula dari segi gaya bergaul mereka yang membuat kita, orang kampung ini terperangah ndhak percaya. Akan tetapi, segi makan mereka, kebutuhan mereka, apa yang mereka konsumsi, itu benar-benar sudah masa kini. Dan ndhak menutup kemungkinan, dalam beberapa tahun ke depan, kebuadayaan maju ini bisa sampai ke pelosok-pelosok negeri. Bukan hanya kota, akan tetapi Kabupaten, Kecamatan, bahkan Desa-Desa juga, Sayang. Jadi, bayangkan, jika bisnis ini lancar. Maka kita ndhak hanya bisa memberi lapangan pekerjaan kepada ratusan, bahkan ribuan orang, akan tetapi kita juga bisa menjamin kelayakan hidup anak cucu kita nanti."     

Manis terdiam sesaat kemudian dia menghela napas panjang, memandangku dengan tatapan penuh tanya yang sangat besar.     

"Kalau itu berhasil, kalau ndhak bagaimana, Kangmas? Lagi pula, Kangmas akan mendapatkan dana sebesar itu dari mana? Jikalau dengan menjual tanah-tanah atau perkebunan-perkebunan Kangmas itu membuatku sedikit kecewa. Karena, aku takut, Kangmas. Suatu saat nanti, beberapa tahun nanti. Apa yang kita lihat, ndhak mampu dilihat oleh anak cucu kita. Hijaunya gunung yang membentang luas, indahnya embun dan sejuknya udara segar di pagi hari. Jika semua hanya mementingkan perkara bisnis dan ambisi, yakinlah... semua yang hijau bahkan gunung pun, akan disulap menjadi bangunan-bangunan tinggi pencakar langit, dan menjadi pabrik-pabrik, gunung-gunung habis terkikis sebab digunakan untuk bahan dasar material sebuah produksi. Dan polusi akan semakin menjadi. Sampai puncaknya nanti, bencana ndhak bisa terkendali, tanah hijau nan subur yang kita miliki sudah ndhak ada lagi. Jujur, Kangmas, perkara itulah yang benar-benar aku takutkan. Perkara itu yang benar-benar aku resahkan,"     

Aku terdiam beberapa saat tatkala Manis mengatakan hal itu, dia menunduk, dengan raut wajah yang sangat pilu. Jujur, aku malah ndhak sampai untuk memikirkan sejauh itu. Sebab yang aku pikirkan adalah, bagaimana bisa aku membuat terobosan baru, dan terobosan baru itu bisa merangkul banyak orang. Mencipatakan lapangan kerja jangka panjang, dan dapat menampung lulusan baru, dan pengangguran lainnya selagi bisa.     

Tapi, kalau menilik apa yang istriku ucap, tentu apa yang telah menjadi hal yang membuatnya risau tentu benar-benar ndhak salah. Semuanya benar, dan dia tentu sangat benar dengan pemikirannya itu. Jadi sekarang, aku harus mencari cara terbaik. Cara tengah biar ndhak merugikan siapa pun itu.     

"Ndhuk, jujur, ucapanmu ini benar-benar telah menamparku. Bahkan, aku sendiri sampai melupakan dari mana kita berasal hanya karena ambisi dari ide cemerlang milik Ucup. Akan tetapi, Ndhuk, percayalah, ndhak ada satu hektar perkebunan pun yang akan kujual jika benar usaha ini akan terbangun. Aku akan janjikan kepadamu akan hal itu. Akan tetapi...," kataku terhenti, kemudian aku memandang ke arah Manis yang telah memandangku itu. "Aku hanyalah aku, aku seorang diri. Aku bukan orang dari negara asing yang memiliki uang dan kuasa lebih. Bisa jadi aku menuruti ucapanmu untuk ndhak menjual perkebuna-perkebunan supaya tetap hijau. Tapi aku ndhak bisa berjanji untuk membuat seluruh bumi pertiwi ini hijau, Ndhuk. Hilangnya seorang yang tamak, tentu akan menimbulkan ratusan bahkan ribuan yang tamak lainnya. Hanya dengan kilah, untuk memenuhi kesejahteraan rakyat, meski pada kenyataannya hanya untuk memenuhi ambisinya sendiri dengan uang berlimpah ruah."     

Manis lantas memelukku dengan sangat erat, entah apa yang telah kukatakan adalah sesuatu yang luar biasa atau bagaimana, aku juga ndhak tahu. Sebab apa yang dia lakukan benar-benar di luar dugaanku.     

"Seendhaknya aku telah menjagamu menjadi seorang yang tamak dan perusak. Kurasa itu sudah cukup, Kangmas."     

"Ngerayu, toh?" godaku, Manis malah mencubit pinggangku, sembari menjauhkan tubuhnya dariku.     

"Endhak, aku jujur kok dibilang merayu itu lho. Aku hanya ingin Kangmas jadi pribasi yang baik. Aku hanya ingin semua mata dunia tahu, jika Juragan Arjuna Hendarmoko, adalah Juragan yang paling arif, welas asih, peduli kepada yang ndhak punya, dan yang terpenting adalah... peduli dengan bumi pertiwi tercinta."     

"Lantas, ndhak peduli dengan istri ndhak apa-apa?"     

Mendengar aku mengatakan hal itu Manis langsung melotot, aku berusaha sekuat tenaga untuk ndhak tertawa, melihat ekspresi lucunya itu.     

"Ya harus, toh! Bagaimana Kangmas ini. Peduli kepada istri itu harus nomor satu!"     

"Lantas orangtuaku nomor berapa?"     

"Ya sudah, peduli dengan istri itu nomor dua setelah orangtua!" katanya lagi masih marah.     

Aku langsung menariknya, sampai tubuhnya jatuh di atas pangkuanku. Kupeluk dia erat-erat sampai dadaku terasa menghangat.     

"Kamu salah, setelah menikah, benar memang kewajibannya adalah kepada orangtua, terutama Biung. Akan tetapi, istri akan menjadi nomor satu di tempat mana pun dalam kehidupan suaminya,"     

"Preet!" serunya ndhak percaya.     

"Lho ndhak percaya ini?"     

"Iya. Lha wong ndhak ada bukti."     

"Minta bukti apa?"     

"Ehm... apa, ya?" katanya seolah menimang-nimang.     

"Tak buatkan anak sebagai bukti, mau?"     

"Endhak! Itu bukan bukti, toh!" tolaknya ndhak terima. Aku masih ingin tertawa karenanya.     

"Tak buatkan reco (patung) Ndoro Manis, di tengah alun-alun Karanganyar, bagaimana?"     

"Kangmas! Aku kan bukan seorang pejuang, kok ya mau dibuatkan reco itu, lho. Ada-ada saja, toh!"     

"Lha katanya tadi minta bukti,"     

Manis kembali terdiam, seolah dia tengah memikirkan sebuah jawaban dari pertanyaanku. Memikirkan bukti yang barangkali membuatnya tahu kalau dia ada di nomor satu di hatiku. Padahal sudah jelas, toh, tanpa bukti pun seharusnya dia tahu kalau dia itu tetap nomor satu. Dengan sangat jelas dan gamblang.     

"Kangmas...," panggil Manis, setelah itu dia berbisik kepadaku dengan tersenyum, aku langsung kaget bukan main dengan bisikannya itu. Kujauhkan tubuhku, dan aku melotot ke arahnya.     

"Apa?!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.