JURAGAN ARJUNA

BAB 171



BAB 171

0Manis langsung tersenyum penuh arti, sembari mendekatkan tubuhnya kepadaku. Aku benar-benar ndhak menyangka, jika seorang Manis akan mengatakan itu kepadaku. Lagi, kukerjapkan mataku berkali-kali, barangkali apa yang kudengar tadi adalah ucapan yang keliru. Akan tetapi, otakku selalu saja menolak tatkala melihat Manis sudah mendekat ke arahku.     
0

"K... kamu...." kataku terhenti, saat bibirnya sudah menempel tepat di bibirku, mataku melotot tatkala tangannya sudah melepas kancing-kancing kemejaku. Duh Gusti, kenapa dengan istriku ini?     

"Kenapa, Kangmas? Aku hanya butuh satu pembuktianmu, tapi kamu malah kaget seperti itu. Apakah Kangmas ndhak suka dengan permintaanku ini?"     

Duh Gusti, bukannya aku ndhak suka. Bahkan kurasa, aku malah akan sangat menyukainya. Tapi aku ndhak habis pikir, bagaimana bisa tiba-tiba istriku berubah menjadi agresif seperti ini!     

"Ayo, Kangmas... puaskan aku," bisik Manis, tepat di telingaku, dengan suara yang benar-benar membuatku merinding. Terlebih, tatkala dia mengembuskan napasnya di leherku. Rasanya benar-benar membuatku ingin lari dan kencing!     

"K... kamu ini kenapa, toh? Habis ketempelan dari mana, Ndhuk?" tanyaku, yang pelan-pelan berangsut mundur, tapi Manis malah semakin mendekat dengan begitu gencar.     

Aku menelan ludahku yang mendadak kering, keringat dingin terus terkucur deras dari pori-pori kulitku. Gusti, aku ini kenapa, toh? Apa aku ini kena sawan? Bukankah seharusnya aku ini sangat bahagia tatkala istriku agresif seperti ini? Dan memintaku untuk memuaskan hasratnya? Tapi kenapa, tatkala melihatnya seperti ini malah membuatku takut luar biasa, Gusti. Kenapa?!     

Aku langsung memejamkan mataku, tatkala bagian atas tubuhku sudah terbuka sempurna. Dan punggungku sudah ndhak bisa lagi bergerak mundur. Tapi, Manis tampak berhenti, ndhak melakukan godaan mautnya itu. Kemudian....     

"Hehehe."     

Aku langsung membuka mata, dia tampak tersenyum dengan sangat lebar. Kenapa bisa dia tersenyum selebar itu kepadaku?     

"Kenapa takut, toh, Kangmas?" tanyanya, aku lansung mendenguas, mengambil posisi memunggunginya, sembari menghela napas dalam-dalam. "Bukannya yang nanti merasa keenakan Kangmas juga?"     

"Tapi gayamu benar-benar ndhak sepertimu. Berbeda, berbeda sama sekali. Bagaimana aku bisa ndhak takut itu lho. Kamu ini tiba-tiba bersikap aneh. Masak ya, aku sedang serius berbicara kamu minta bukti apa untuk percaya jika bagiku kamu nomor satu. Eh, kamu minta buktinya minta dipuaskan. Ya, siapa yang ndhak kaget, toh!" marahku kepadanya.     

Manis langsung terkekeh dengan amarahku, sepertinya marahku itu sangat lucu baginya. Dan mengerjaiku adalah sebagian dari hobinya. Dasar, Manis ini!     

"Duh Gusti, laki-laki tua ini... digoda perempuan cantik kok ndhak mau," setelah mengatakan hal itu, Manis langsung berdiri, melirikku dengan sinis sembari mengibaskan rambutnya. Dan hal itu malah-malah membuatku semakin kesal luar biasa.     

Kenapa dengan dia malam ini? Kenapa tingkahnya benar-benar aneh malam ini? Aku benar-benar semakin ndhak tahu, dengan Manisku.     

Aku pun hanya komat-kamit sembari berjalan ke arah lemari pakaian, mengambil kaus dari sana, sembari memakainya dengan asal. Sembari melirik ke arah kalender, menghitung kapan bulan depan tanggal yang pas untukku berkunjung ke kampung halaman. Dan setelah melihat kalender itu, mataku semakin menyipit. Pada tanggal-tanggal yang telah dilingkari merah, dan ini pasti ulah Manis. Tanggal enam belas? Bukankah itu hari ini? Ada apa di tanggal enam belas? Kusipitkan mataku sembari mempertajam penglihatanku, ada dua kata yang tertulis di sana dengan ndhak beraturan, 'masa subur' kata yang tertulis jelas di sana. Aku berdiri, dan diam beberapa saat. Mencoba mencerna dengan apa yang ditulis oleh Manis.     

Masa subur? Apa maksudnya itu? Apakah hari ini adalah hari subur tanah untuk bisa ditanam-tanami pepohonan? Mengingat, beberapa waktu yang lalu aku dan Manis telah membeli beberapa jenis tumbuhan tanam baru. Dan tatkala aku hendak menanamnya, Manis berkata tunggu dulu. Tunggu, barangkali hujan datang, agar tanahnya menjadi subur. Dan tunggu, tanahnya belum diberi pupuk supaya lekas subur.     

Namun, apakah masa subur tanah adalah yang dimaksud oleh istriku? Aku berjalan sembari terus berpikir. Gusti, sepenting itukah tanam-tanaman di halaman depan bagi istriku? Sampai waktu penanaman mereka pun harus dilingkari di kalender. Sungguh, jika benar seperti itu maka aku akan sangat iri.     

"Kangmas mau teh?" tanya Manis. Aku kaget, menjawab spontan dengan anggukan, sembari duduk di kursi panjang yang tadi aku dan Manis tempati.     

Aku memerhatikan Manis berjalan keluar, sembari menghela napas panjang. Kemudian kupijat pelipisku yang mendadak terasa nyut-nyutan. Ndhak... endhak, ini bukan perkara tanaman. Aku yakin akan hal itu! Dan kenapa pula aku harus memusingkan masa subur tanaman, toh?     

Seharusnya yang aku pusingkan adalah, tingkah aneh Manis tadi. Yang berlaku benar-benar di luar batas nalar. Berlaku di luar kebiasaan. Aku kembali tersenyum simpul, andai sedari dulu Manis berlaku seperti itu, pasti ceritanya akan sangat berbeda. Pasti, dia yang akan memperkosaku dulu sebelum aku memaksanya dengan cara luar biasa. Gayanya yang benar-benar menggoda, seolah dia benar-benar ingin bercumbu denganku malam ini. Duh Gusti, kenapa dia harus berlaku seperti itu, toh? Seperti kejar setoran karena ingin punya momongan saja.     

Tunggu....     

Aku langsung berdiri mengingat perkara ini. Ingin punya momongan? Tanggal masa subur? Apa jangan-jangan....     

Apa jangan-jangan sebenarnya dia ingin mencoba program hamil dengan mencari masa suburnya untuk bisa berhubungan denganku? Gusti, suami apa, toh, aku ini? Kenapa aku ndhak bisa peka sama sekali dengan istriku? Sampai dia harus mempermalukan diri sendiri di depanku dengan cara seperti itu. Cara yang benar-benar jauh dari jati dirinya. Cara yang mungkin saat ini dia telah malu habis-habisan karena penolakanku.     

Kuusap wajahku dengan kasar, semua rasa seolah bercampur aduk jadi satu di hati dan otaku. Aku berdiri, memghadap ke arah ranjang, seolah semua pikiranku menjadi kosong momplong. Aku langsung menoleh, tatkala pintu kamar terbunyi. Sosok yang tadi telah kupermalukan itu masuk, dengan senyuman yang masih ia sunggingkan. Sumpah demi Gusti Pangeran, aku ndhak tahu lagi harus berkata apa, di mana lagi aku bisa menemukan perempuan yang begitu sabar kalau bukan dia. Ya, dia, Manisku.     

Dia berjalan sangat pelan, sebab dia takut jika teh yang ada di gelas itu akan tumpah. Kakinya yang telanjang itu kuamati, tampak menjinjit dengan sangat lucu. Pakaiannya pun aku amati juga, ternyata dia telah mengenakan dester di atas lutut tanpa lengan. Sebuah pakaian yang benar-benar berbeda dari biasanya. Dan pakaian yang benar-benar mungkin menurutnya adalah cukup untuk membuatku tergoda. Sampai dia berada di depanku, aku masih saja diam. Dia tampak masih tersenyum dengan sangat ramah, sembari menyodorkan teh hangat itu untukku.     

"Teh, Kangmas," ucapnya. Tapi, aku ndhak peduli, yang kupedulikan adalah, apakah perasaannya terluka karenaku tadi? Apakah aku telah membuatnya merasa malu.     

Dia hendak pergi, tapi tangannya kucekal. Kemudian, kutaruh teh itu, dan kucium bibir ranumnya yang manis itu.     

Dia ndhak menolak, dia hanya tampak diam. Matanya tampak terpejam, dan aku bisa melihat dengan jelas, ada bulir kristal yang terjatuh dari sudut matanya. Manis... maafkan aku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.