JURAGAN ARJUNA

BAB 165



BAB 165

0Sore ini, Manis agaknya ndhak keluar sekali dari dapur. Aku sampai heran, semenjak dia pindah di sini sepertinya gemar benar dia berada di dapur. Apakah dapur menjadi tempat kesukaannya saat ini?     
0

Aku berjalan melangkah menuju dapur, kemudian aku tertegun. Ada banyak sayuran, rempah-rempah, beras, dan bahkan lauk masih berantakan memenuhi ruangan.     

Sementara istriku tampak benar-benar sibuk. Merebus air, sembari menggoreng tempe serta tahu.     

Duh Gusti, sebanyak ini pekerjaan istriku? Dan apa yang kukerjakan? Hanya duduk sembari berbincang dengan abdi dalemku. Sungguh, egois benar aku ini. Jika istriku sangat kerepotan seperti ini, kenapa dia ndhak pernah mengeluh? Bahkan tatkala kusuruh untuk membawa abdi perempuan untuk membantu urusan rumah pun, dia bersikeras menolak. Dia ndhak mau.     

Aku pun menghela napas, kemudian melangkah masuk ke dalam dapur. Aku mau membantu Manis. Cih! Perkara perdapuran sekecil ini, pasti aku bisa! Aku kan Juragan Arjuna Hendarmoko, masak ndhak bisa melakukannya, toh.     

"Lho, Kangmas?" tanya Manis. Tampaknya dia kaget dengan kedatanganku ke dapur. Sebab seumur-umur, aku ndhak pernah sama sekali pergi ke dapur. Pernah dulu, sewaktu aku masih teramat kecil, masih bayi, kata Biung aku sering ke dapur. Diajak Biung cuci piring, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan dapur, karena ada sedikit permasalahan yang aku ndhak tahu itu apa. Biung ndhak menceritakan secara rinci kepadaku karena hal itu.     

"Untuk apa Kangmas ke sini? Seorang Juragan masuk dapur itu adalah perkara yang ndhak dibenarkan sama sekali, toh, Kangmas. Jadi, Kangmas keluar saja. Sebentar lagi masakannya mateng, lho."     

"Sebentar lagi?" tanyaku mengulang pernyataannya. Sebentar lagi apanya? Dapur sudah seperti kapal pecah, ditambah makanan belum ada yang siap tersaji sama sekali. Dasar istriku ini, paling pandai benar untuk menutupi kesusahannya, toh. "Mana ada antara suami, dan istri ada yang namanya Juragan? Yang ada itu ya kamu istri, dan aku suami. Dan tugasku adalah membantu tugas istri," kubilang.     

Setelah menggulung lengan kausku, kemudian aku duduk. Bingung juga rupanya, mana yang hendak aku bantu dulu.     

"Ehm, sudah masak nasi?" kutanya. Manis tampak menggeleng. "Biar aku yang masak nasi," putusku. Manis langsung melotot.     

"Mau masak nasi?" tanyanya mengulang ucapanku.     

"Lho, apa salahnya? Kenapa kamu seterkejut itu tatkala aku hendak memasak nasi? Memangnya, memasak nasi merupakan hal sespektakuler apa? Apakah lebih fenomenal dari pada tujuh keajaiban dunia?" tanyaku mulai sewot. Sepertinya, Manis meremehkan kesaktianku dalam urusan memasak nasi. Maklum saja, zaman dulu benda yang digunakan untuk memasak nasi dengan cara dicolok, jadi ritualnya akan lebih panjang dari pada memasak apa pun. Terlebih, ilmu yang dimiliki Manis adalah ilmu dari kampung. Jadi, ndhak usah protes jika nanti Manis akan bercakap panjang kali lebar.     

"Bukan seperti itu, Kangmas. Hanya saja, untuk membuat beras menjadi nasi itu butuh tahapan yang sangat panjang. Beras itu harus dipilah, mana yang bagus, dibuang kulit-kulitnya yang barangkali tercampur dengan berasnya, berserta bebatuan-bebatuannya. Setelah itu, beras harus dicuci sampai bersih, kemudian berasnya harus dimasak dengan air mendidih, dibiarkan hingga teksturnya agak padat, setelah itu baru kita bisa menanak nasi. Dan setelah itu baru bisa masak dan dimakan. Bahkan dalam memasukkan beras ke air yang sudah mendidih itu pun, ndhak asal-asalan, lho, Kangmas. Kebanyakan air nasinya akan berubah menjadi nasi tim, jika kurang air nasinya akan jadi setengah mateng. Dan—"     

"Sudah... sudah!" kataku memotong penjelasannya yang panjang lebar. Bisa-bisa, cara memasak nasi bisa menjadi satu satu buku skripsi, karena penjelasan Manis yang terlalu panjang lebar itu. Aku Juragan Arjuna Hendarmoko, memasak nasi, gampang!     

"Mana tempat untuk memilah berasnya? Aku akan memasak nasi yang sangat pulen dan enak untukmu. Untuk istriku tercinta," percaya diriku luar biasa.     

"Di sana, sekalian dengan berasnya, Kangmas," kata Manis. Yang agaknya dia ndhak mau berdebat panjang kali lebar. Jadi, dia langsung menuruti saja apa yang hendak aku lakukan.     

Aku lihat, benda bundar dengan ukuran cukup besar. Benda itu terbuat dari anyaman bambu. Aku sering melihat Bulik Sari atau Bulik Amah, melempar-lemparkan beras dengan benda ini, kemudian menggerakkannya memutar, sampai pantat dan tubuhnya ikut bergoyang.     

Ah, gampang!     

Aku mengambil secangkir gelas dan kutaruh di sana. Berdiri di bibir pelataran belakang, dan entah kenapa aku jadi gugup. Gusti, hanya memegang benda bundar ini aku sudah gugup? Benar-benar luar biasa.     

Aku mencoba melempar beras setinggi-tingginya, sebab kurasa semakin tinggi beras yang kulempar, maka akan semakin cepat beras-beras itu bersih. Namun nyatanya aku salah! Beras-beras itu malah berjatuhan dengan sangat sempurna, sampai-sampai ayam yang baru seminggu kubeli berdatangan ke arahku untuk memakan semua beras-beras yang kujatuhkan. Gusti, mati aku! Bisa-bisa aku dimarahi Manis perkara ini!     

"Kangmas kenapa ayam-ayamnya ricuh? Apakah mereka lapar?"     

"Oh, endhak! Ndhak sengaja anaknya kuinjak!" kujawab. Cepat-cepat aku mengambil secangkir beras lagi, kemudian kulempar lagi. Dan lagi-lagi beras-beras itu kembali terjatuh dengan sangat sempurna. Kurang ajar, memang beras-beras ini! Bagaimana bisa aku ndhak bisa melakukannya? Hanya perkara membersihkan beras saja aku kalah dengan Bulik Sari, dan Bulik Amah? Sialan!     

Dan, sudah kali ke lima pekerjaan ini kuulang dengan hasil yang sama. Lihatlah ayam-ayam itu, perutnya tampak sudah penuh dengan beras yang terjatuh sedari tadi. Sampai-sampai, saking banyaknya ndhak habis mereka memakannya. Harus aku apakan beras-beras yang ada di tanah ini? Semuanya sudah bercampur tanah dengan sempurna, akibat kaki-kaki ayam yang terus mencakar-cakar tanahnya. Sementara beras yang ada di karung tampak benar hilang banyak.     

"Duh Gusti, Kangmas! Apa yang kamu lakukan!" aku nyaris melompat, tatkala mendengar suara Manis nyaris memekik. Seketika, aku langsung tersenyum kaku, memandang ke arahnya takut-takut. Mati aku! "Kangmas ini bagaimana, toh! Kok ya bisa, beras sekarung hampir habis dan terjatuh semua di tanah ini lho bagaimana ceritanya, toh! Kangmas, membuang-buang beras itu dosa! Boros! Kalau Kangmas ndhak bisa itu, ya, ndhak usah sok bisa, toh! Sudah-sudah, letakkan semuanya! Aku ndhak mau berasku Kangmas buang-buang percuma seperti itu!"     

"Iya, iya... aku salah," kubilang. Kalau ndhak mengalah, pasti dia maranya ndhak akan berhenti-berhenti. Bisa lepas kupingku ini karena mendengar amarahnya yang bertubi-tubi seperti itu. "Sekarang aku bantu apa?"     

"Ndhak usah!" jawabnya, dengan nada ketus yang luar biasa.     

"Aku kan mau membantu, Sayang, mbok ya jangan marah-marah seperti itu, toh," rayuku lagi.     

Ternyata, selembut-lembutnya istri, mereka akan jadi menyeramkan ketika area pribadinya diusik. Dan aku baru tahu, itu. Jadi sekarang aku akan buat catatan, jika aku harus benar-benar hati-hati ketika masuk dapur. Kalau endhak, bisa-bisa aku yang akan dimasak hidup-hidup oleh istriku karena saking marahnya dia kepadaku.     

"Ya sudah, ayam itu, kamu potong-potong," perintahnya kemudian. Aku lantas melirik, pada ayam yang bulunya sudah hilang itu. Ayam yang sudah ditaruh di dalam bak.     

Aku pun mengangguk, setelah dia kembali masuk ke dalam aku berjongkok. Bagaimana pula aku memotong ayam ini?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.