JURAGAN ARJUNA

BAB 172



BAB 172

0Pagi ini aku sedang berada di Universitas, berdiri di parkiran sembari bersedekap. Memandang para mahasiswa yang berlalu-lalang, sembari bersedekap. Sekalian mengingat kembali zaman-zaman mudaku dulu.     
0

Dulu, aku kuliah bukan di Jakarta, tentu nuansanya ndhak seperti ini sama sekali. Tapi di sini, seolah berbeda. Seolah-olah aku merasa berada di alam berbeda. Di alam berbeda dengan mereka semua, dan aku berada di alamku sendiri.     

Aku kembali tersenyum kecut. Memang benar apa kata orang-orang, jika sejatinya orang kampung, berusaha sekeras apa pun untuk menjadi orang kota ndhak akan pernah bisa, sekeras apa pun kita berusaha untuk mencoba.     

"Juragan!"     

Ucup datang, sembari tersenyum lebar. Di tangannya sudah ada map berwarna cokelat yang digenggam dengan sangat erat. Sepertinya, cerah benar dia hari ini. Padahal sudah hampir satu minggu dia ndhak menunjukkan batang hidungnya, bahkan, sampai aku bertanya kepada Suwoto dan menyuruhnya untuk mencari keberadaan Ucup. Sebab, aku takut Ucup frustasi dan gantung diri karena dia ndhak bisa membuat laporan sesuai dengan permintaanku.     

Namun, melihat dia sekarang ini, berdiri di depanku sembari membawa map cokelatnya, terlebih sembari tersenyum lebar itu. Rasanya akan sangat percuma, jika aku sedari kemarin telah mengkhawatirkan dia. Dasar bedugul satu ini!     

"Juragan...," kini dia memanggilku dengan nada yang sangat mengerikan itu. Nada seperti suara perempuan manja yang mendayu-dayu. Bahkan, aku lebih merinding dari pada melihat genderuwo sekalipun gara-gara Ucup ini. "Juragan,"     

"Duh Gusti! Sekali lagi kamu memanggilku dengan nada seperti banci itu tak sumpal mulutmu pakai tai kerbau!"     

Sontak Ucup langsung menutup mulutnya, yang sedari tadi terus tersenyum lebar pun langsung mingkem.     

"Ada apa, Juragan Juragan, ndhak usah sok kenal begitu. Malu aku dikenal sama pemuda buruk rupa sepertimu," ketusku, sembari kutebas kemejaku kemudian memalingkan pandanganku darinya.     

"Ini lho Juragan, setelah aku bersemedi selama enam hari enam malam, akhirnya aku menemukan ilham, dan berhasil menyelesaikan proposal yang Juragan inginkan itu. Ini," Ucup menyerahkan map cokelat itu kepadaku, membuatku dengan enggan mengambilnya. "Di dalam ini semua sudah aku tulis serinci-rincinya dan sejelas-jelasnya. Jadi, Juragan tidak perlu khawatir. Bahkan aku yakin, Juragan tidak akan bertanya apa pun mengenai projek spektakuler ini karena saking rincinya aku menuliskan semuanya di sana."     

Aku hanya diam saja mendengar dia berceloteh panjang lebar. Bahkan sekarang aku sendiri ndhak tahu, dia bertandang ke sini ini tujuannya untuk kuliah atau untuk presentasi di depanku.     

"Kamu ndhak kuliah?" kutanya, Ucup langsung terdiam tanpa aba-aba. Dia clingak-clinguk sembari menggaruk tengkuknya yang ndhak gatal.     

"Duh! Iya, ada ujian sekarang. Aku pergi dulu, Juragan! Jangan kemana-mana, satu jam lagi aku akan menemuimu di warung depan kampus!" teriaknya, berlari sekuat tenaga sembari melambaikan tangannya kepadaku.     

Aku hanya tersenyum saja, saat aku hendak berjalan ke arah warung langkahku langsung terhenti. Aku melihat sosok yang benar-benar sangat familier, berjalan dengan langkah terburu sembari menenteng ranselnya. Aku menoleh, tapi sosok itu sepertinya ndhak menyadari keberadaanku. Mimik wajahnya sangat serius, pandangannya lurus-lurus ke depan, langkahnya pun setengah berlari. Sementara ada banyak perempuan-perempuan yang berdecak mengagumi para tampannya, perempuan-perempuan itu, aku yakin jika mereka adalah bagian dari kumpulan perempuan yang menjadi pengagum setianya.     

"Bima kembali ke kampus!" teriak perempuan lainnya, dia kemudia berlari ke seluruh pemburu kampus, dan menceritakan kabar yang menurutnya bahagia ini.     

Bima... bukankah seharusnya dia masih berada di Kemuning sekarang? Lantas kenapa tiba-tiba dia ada di sini? Bagaimana dengan Kemuning? Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah tugasnya di sana telah usai? Lantas urusannya dengan Rianti?     

Duh Gusti, ada apa toh ini? Bagaimana bisa semuanya menjadi berjalan di luar kendali? Dan kenapa, perasaanku menjadi ndhak enak perkara ini.     

"Juragan... Juragan!"     

Aku menoleh, Suwoto berjalan dengan cepat ke arahku. Ada apa lagi, ini? Kenapa mimik wajah Suwoto bisa tiba-tiba setegang ini?     

"Ada apa, Suwoto? Apakah telah terjadi perkara yang serius?"     

Suwoto tampak terdiam, sepertinya dia hendak bicara namun mulutnya ndhak bisa untuk mengatakan apa-apa. Sampai kulihat ada Paklik Junet, serta Paklik Sobirin berada di sini. Sungguh, aku malah semakin terkejut dengan kedatangan mereka. Ada apa ini? Apa yang terjadi di Kemuning sampai-sampai mereka dengan kompak berada di sini? Apakah ada sesuatu yang bahaya di Kemuning? Apakah ada sesuatu yang mengancam orangtuaku?     

Aku lantas menebarkan pandanganku. Barangkali di mobil sedan hitam itu ada Romo, dan juga Biung. Namun nyatanya, ndhak ada siapa-siapa selain Paklik berdua. Dan entah kenapa, ini semakin membuatku khawatir bukan main.     

"Arjuna," Paklik Junet memanggil namaku, memelukku dengan erat seolah rindu yang teramat itu kian kentara. Aku juga rindu denganmu, Paklik. Dan kurasa pelairanku memang sudah terlalu lama. "Kenapa kamu ndhak pernah pulang, toh? Kamu tahu, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untukmu lari, dan bersembunyi di kota besar seperti ini. Andai kamu tahu, tiga tahun... tiga tahun, semuanya telah berubah hanya dalam waktu tiga tahun, Arjuna. Dalam waktu kepergianmu yang sangat egois itu asal kamu tahu, berapa banyak beban dan kesulitan yang telah dirasakan dan dilalui oleh orangtuamu. Bahkan... bahkan kamu ndhak hadir di hari istimewa adikmu sendiri."     

Rahangku mengeras mendengarkan penuturan itu, bahkan aku ndhak bisa mengatakan apa pun. Ya, sudah tiga tahun kurang lebih. Aku telah meninggalkan kampung halamanku selama itu. Dan dalam waktu selama itu pula tatkala Paklik Sobirin bertandang ke sini dia ndhak pernah mengatakan apa pun. Bukan... bukan, dia bukan ndhak mengatakan apa pun. Akan tetapi, ucapannya selalu kupotong sepihak tatkala dia hendak membahas perihal Kemuning. Iya... aku memang egois, aku seeogis itu.     

"Kamu benar-benar egois, Arjuna," kini Paklik Junet menangis tersedu, sembari memukul-mukul dadaku.     

"Kenapa aku egois? Aku ingin belajar mandiri dengan mengembangkan usahaku di sini. Dan jikalau Romo dan Biung rindu, bukankah mereka seharusnya mengunjungiku di sini? Toh, Paklik Sobirin sudah tahu alamatku di sini dan dia sering ke sini,"     

Buk!!     

Aku nyaris tersungkur, saat bogeman dari Paklik Junet mengenai pelipisku. Suwoto yang agaknya marah kepada Paklik Junet tapi kutahan.     

"Ndhak tahu diri kamu, Arjuna! Kenapa harus orangtuamu yang tatkala mereka rindu kamu menyuruhnya bertandang ke sini, hah! Kamu ini anak! Kamu yang memiliki kewajiban untuk mengunjunginya meski mereka ndhak meminta! Bukan malah orangtuamu!"     

"Ndhak usah seperti itu. Kalau Paklik ndhak suka dengan caraku, kenapa Paklik ke sini? Kenapa Paklik Ndhak di Kemuning saja? Aku ndhak menyuruh Paklik untuk ke sini,"     

Aku benci selalu dipersalahkan atas suatu hal. Aku ini manusia bebas, di negara yang bebas. Dan aku ndhak tergantung dengan siapa pun. Terlebih, Rianti sudah ada Romo, dan Biung. Dan dia sudah cukup dewasa untuk melakukan apa pun, lantas kenapa jika ada sesuatu yang ndhak benar selalu aku yang disalahkan.     

"Asal kamu tahu, Arjuna... asal kamu tahu! Romomu, Juragan Nathan Hendarmoko telah jatuh sakit semenjak seminggu yang lalu!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.