JURAGAN ARJUNA

BAB 173



BAB 173

0Aku diam, benar-benar diam. Seolah seluruh ruhku dipaksa keluar dari ragaku saat ini juga. Badanku terasa sangat ringan, panas, dingin. Sementara otakku benar-benar ndhak tahu lagi harus berpikir apa.     
0

Kuedarkan pandanganku ke tempat lain, aku tersenyum hambar namun air mataku menetes begitu saja di pipiku. Rasa bersalah, setetika menyeruah menjadi satu bahkan sampai ke ubun-ubunku. Gusti... apakah aku seorang pecundang seperti ini?     

"Juragan...," kata Paklik Sobirin, sembari menepuk bahuku. Mungkin, dia tahu kalau aku sedang syok mendengar kabar ini. Kabar yang benar-benar di luar pikiranku. Kabar yang benar-benar telah menghancurkanku menjadi kepingan-kepingan debu sampai ndhak tersisa.     

Semua rasa bersalah, rasa berdosa, dan semua rasa ndhak berdaya memeluk hatiku dengan sangat kuat. Aku merasa, telah menjadi seorang anak yang ndhak berguna, aku merasa telah menjadi seorang anak yang ndhak berbakti kepada orangtuaku sendiri.     

Gusti, apa yang telah aku lakukan? Bagaimana selama ini aku bisa hidup dengan sangat tenang tanpa memikirkan keluargaku yang di sana sedang menghadapi masalaha yang sangat besar, Gusti. Kenapa?     

Kenapa aku bisa menjadi orang yang egois, kenapa aku bisa menjadi orang sepengecut ini, Gusti. Kenapa?     

Aku ini anak macam apa, toh? Aku ini Kangmas macam apa? Yang malah memilih pergi dan menjauh dari keluargaku di saat keluargaku sedang membutuhkanku.     

Romo... Romo Nathan, sudah sangat tua sekarang. Bagaimana bisa aku membebaninya dengan perkara-perkara sebanyak ini. Gusti, maafkan aku. Maafkan aku, Gusti. Maafkan aku!     

"Juragan saya ndhak akan pernah menyalahkan siapa pun perkara ini. Apa yang menjadi keputusan Juragan adalah benar dan apa yang dialami Juragan Nathan juga bukanlah kesalahan dari Juragan Arjuna. Sebab, takdir seseorang bukanlah tanggung jawab dari orang lain. Akan tetapi...," kata Sobirin terhenti, dia menghela napas panjangnya, kemudian memandangku dengan lekat-lekat. "Sejatinya Juragan Arjuna adalah seorang anak, terlepas sejauh mana Juragan pergi. Seharusnya, sesekali Juragan bisa berkunjung kembali ke rumah Juragan. Ndhak banyak, Juragan. Ndhak banyak. Hanya kehadiran Juragan saja sudah sangat membuat orangtua senang. Hanya dengan kehadiran Juragan telah membuat hati gundah orangtua hilang. Hanya dengan senyum Juragan maka beban yang selama ini dilalui oleh orangtua Juragan akan menguap, dan pergi. Iya, Juragan... hanya dengan Juragan mengunjungi mereka. Hal itu, hal itu adalah satu-satunya perkara yang diharapkan oleh semua orangtua yang jauh dari anak-anaknya."     

"Kangmas...." suara Manis terhenti, tatkala dia melihat kondisiku, ditambah ada banyak orang yang ternyata sudah ada bersamaku. Dia kemudian memandang ke arah Paklik Sobirin, dan Paklik Junet. Mungkin dia tahu, bagaimana serius wajah kedua orang itu sekarang. Terlebih, dengan keadaanku yang nyaris menangis ini. "Paklik Sobirin, Paklik Junet, ada apa? Apakah di Kemuning tengah ada sesuatu?"     

"Cih!" Paklik Junet tampak menyeringai. "Kukira menikah denganmu adalah hal yang benar bagi seorang Arjuna. Tapi kurasa, menikah denganmu malah membuat Arjuna lupa akan keluarganya."     

"Apa maksud Paklik Junet? Aku benar-benar ndhak paham."     

"Ndhak paham? Bagian dari mananya kamu yang ndhak paham itu, Manis!" kini suara Paklik Junet meninggi, dan hal itu berhasil membuat rahangku mengeras karenanya. "Karena dia menikah denganmu, dia menjadi seorang pembangkang! Hanya karena dia menikah denganmu, dia mengikutimu ke sini. Padahal sangat jelas jika di Kemuning pekerjaannya sangatlah banyak. Tapi, dia melepaskannya begitu saja! hanya karena dia menikah denganmu, dia bahkan melupakan orangtua serta adiknya. Apa kamu ndhak punya hati barang sedikit saja, Manis? Apa kamu ndhak punya pikiran barang sedikit saja untuk mengajak suamimu itu melihat keadaan orangtuanya di kampung? Kamu menikmatinya, toh? Kamu ndhak ada pikiran sampai ke sana, toh? Kamu itu perempuan egois, Manis. Perempuan picik yang sangat egois!"     

"Cukup, Paklik!" bentakku.     

Semua orang yang ada di sana diam, bahkan orang-orang yang ndhak sengaja berlalu lalang pun sampai menoleh ke arahku.     

"Kamu ndhak perlu menghakimi istriku seperti itu. Sebab kamu ndhak ada hak!" Paklik Junet ndhak mengatakan apa pun, dia hanya diam membisu dengan amarahku. "Kamu ndhak tahu, bagaimana setiap malam dia selalu membujukku untuk pulang! Kamu ndhak tahu bagaimana air matanya sering menetes karena itu, hah!"     

"Juragan... ada banyak orang," kata Suwoto, mencoba untuk menenangkanku.     

Aku langsung menarik tangan Manis, kemudian kuajak masuk ke dalam mobil kemudian melesat pergi.     

Manis ndhak mengatakan apa pun, selain diam membisu sembari melihat garis wajahku yang tampak galak. Terlebih, saat ini aku sedang mengendarai mobilku dengan kecepatan tinggi.     

"Jika ada hal yang ingin kamu katakan maka katakanlah. Aku ndhak akan memakanmu," kataku, yang melihat Manis terus memandangku dengan wajah yang penuh banyak pertanyaan itu.     

"Kangmas ndhak usah marah dengan ucapan Paklik Junet, ya. Adalah perkara yang lumrah jika Paklik salah paham denganku, juga denganmu. Pahamilah posisinya saat ini," Manis menunduk, kemudian dia tampak tersenyum kaku. "Hati orang mana yang ndhak terenyuh, tatkala melihat seorang anak yang bahkan sampai bertahun-tahun ndhak mau menemui orangtuanya. Hati orang mana yang ndhak terenyuh, tatkala melihat kenyataan jika anak tersebut memilih untuk tinggal bersama istrinya di kota. Kurasa, semua orang di dunia ini pasti akan murka, sama halnya seperti apa yang telah Paklik Junet lakukan tadi kepadamu," kini Manis menggenggam tanganku yang sedang menggenggam kemudi stir. "Sebenarnya di balik semua kemarahannya itu, dia hanya ingin mengatakan kepadamu, jika dia rindu kamu. Jika orangtuamu sangat rindu kamu, dan yang terpenting juga adalah... adik perempuanmu satu-satunya juga rindu kamu. Kangmas... benar memang aku tahu dengan jelas alasanmu enggan untuk kembali ke Kemuning meski kamu sangat ingin. Namun, kenyataan pahit pun harus kamu hadapi dari pada kamu terus bersembunyi seperti ini, toh? Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing, mereka sudah memiliki takdirnya masing-masih mulai mereka lahir sampai mati nanti. Dan aku yakin, mereka juga ndhak akan berharap terlebih membebankan semua masalah mereka kepadamu, mereka juga ndhak akan berharap jika kamu akan bisa mengatasi dan ikut larut dengan masalah-masalah mereka. Bukan... bukan seperti itu. Mereka hanya ingin kehadiranmu, mereka hanya ingin dukungan penuhmu. Agar seendhaknya, meski mereka tahu kalau kamu ndhak bisa membantu apa pun, seendhaknya, mereka tahu kalau kamu ada untuk mereka, mereka tahu kalau kamu ada di samping mereka saat mereka butuh. Terlebih...," kata Manis yang tampak terhenti lagi. "Apa Kangmas ndhak ingat, toh. Siapa yang ada untuk Kangmas tatkala Kangmas ada masalah dulu? Siapa yang menemani dan membantu Kangmas habis-habisan tatkala Kangmas bermasalah dengan Minto karenaku dulu? Orangtua Kangmas, Paklik Kangmas, dan abdi dalem Kangmas. Semuanya bersatu menjadi satu kekuatan yang kokoh untuk menyokong, membantu dan bahkan menyelesaikan masalah Kangmas. Jadi, menurut Kangmas, di mata mereka apakah perlakuan Kangmas ini adalah pantas? Pasti mereka akan salah paham, toh?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.