JURAGAN ARJUNA

BAB 150



BAB 150

0"Juragan sudah di sini?" tanya ucup, tatkala aku sudah berada di parkiran kampus. Dia berjalan dengan senyum merekah, kemudian mencium tanganku. Perlu kalian ketahui, aku dan Ucup sudah berkawan baik. Dia sudah kuberi wewenang, untuk menjadi salah satu mandor di salah satu perkebunanku yang ada di sini. Tentu, harus ndhak boleh menganggu masa kuliahnya. Karena bagaimanapun, pendidikan adalah yang terpenting sekarang. "Juragan mau menunggu Manis dulu?" dia tanya lagi, kemudian aku menggeleng.     
0

"Nanti, aku ke sini lagi. Aku ini selain membahas perkara pekerjaan, juga hendak bertanya denganmu tentang suatu hal," kujawab. Aku lupa, jika dia ini orang Jakarta. Itu sebabnya aku sering salah ucap. Dengan ucapan-ucapan yang mungkin dia ndhak akan paham.     

Aku pun berjalan menuju luar Universitas, kemudian duduk di sebuah warung. Ucup mengambil sebuah buku, kemudian diserahkan kepadaku.     

"Ini, laporan dua bulan ini. Semuanya lancar terkendali, bahkan perekebunan kita mendapat banyak pujian, Juragan. Siapa dulu mandornya, Ucup!" katanya percaya diri.     

Aku mengulum senyum mendengar percaya dirinya yang sangat tinggi itu. Iya, aku tahu. Itu semua berkat Ucup. Sebab akan menjadi percuma, jika mahasiswa kedokteran ndhak pandai. Iya, toh?     

"Nanti kuberi kamu upah lebih. Mau?" tawarku, dia mengangguk dengan semangat.     

"Kapan-kapan, ajaklah aku ke Kemuning, Juragan. Aku ingin ke sana sekali-kali," dia bilang, masih dengan semangatnya yang membara.     

"Omong-omong, bisa aku bertanya kepadamu?" tanyaku lagi, sekarang kami sedang menikmati bakso. Dia mengangguk, sembari melahap baksonya yang masih panas. "Kamu kenal dengan Hasnah?" kutanya.     

Ucup langsung batuk-batuk mendengar pertanyaanku itu, kemudian dia meneguk minumannya dengan rakus.     

"Kamu ini...," kataku, menepuk-nepuk punggungnya. "Bukannya kamu sudah sering makan bakso. Kok ya rakus sekali cara makanmu itu."     

"Kelaparan, Juragan. Tadi habis ada ujian dadakan," jawabnya. "Oh, Hasnah?" ucapnya kemudian. Dia langsung menata duduknya, dan memasang mimik serius. Aku ndhak tahu, ada perkara serius apa mengenai Hasnah. Padahal, tinggal bilang kenal, atau endhak saja. Cukup, toh. "Kenal, aku kenal Hasnah, Juragan. Dia adalah teman sekelasku, dan Manis...," jelas Ucup pada akhirnya. "Tapi kurasa ada yang aneh dari dia, Juragan."     

Nah! Persis seperti dugaanku, toh. Rupanya, bukan aku saja yang merasa jika kawan Manis itu aneh. Malah kurasa, aku merinding berada di dekat-dekat perempuan itu.     

"Aku tidak salah, kan, kalau aku juga bilang dia aneh?"     

"Dia cantik, tapi sedikit aneh,"     

"Iya, anehnya kenapa?" gemasku. Dasar Ucup ini, jangan bilang kalau dia sendiri ndhak paham, apa letak keanehan dari Hasnah.     

"Dia tidak mau berbicara dengan laki-laki, Juragan. Tidak tahu kenapa!" jelasnya kemudian. "Dia suka duduk di pojokan, sendirian. Pulang sendirian, dan bicara sendirian."     

Mendengar penuturan Ucup, aku kembali merinding. Aku benar-benar ndhak menyangka, jika Hasnah itu lebih menyeramkan dari pada yang kukira. Namun, kenapa istiku bisa-bisanya berkawan dengan manusia model seperti itu, toh? Seharusnya, dia mencari kawan yang jelas juntrungannya. Bukan kawan yang aneh seperti itu.     

"Tapi,"     

"Apa?" tanyaku yang kelewat semangat. Ucup mengulum senyum, seraya menaik turunkan alisnya dia pun terkekeh juga. "Juragan ini penasaran sekali dengan Hasnah. Kenapa? Mau nambah istri?" tanyanya. Enak saja, siapa pula yang mau menambah istri. Terlebih, menambahnya dengan perempuan aneh seperti Hasnah. "Dia dekat dengan laki-laki ada, Juragan. Bukan jurusan yang sama. Tapi cuma dua atau tiga laki-laki saja. selebihnya ya seperti itu,"     

"Apa jangan-jangan dia bukan manusia?" kataku spontan.     

Ucup langsung tertawa mendengar ucapanku itu, membuat pemilik warung langsung menatap kami dengan tatapan anehnya.     

"Juragan... Juragan. Ini tahun berapa? Ini di kota. Masak ada sih setan yang bisa kuliah,"     

Aku langsung diam, benar juga. Ndhak masuk akal sama sekali kalau ada lelembut yang bisa kuliah seperti Hasnah.     

"Kamu, tolong jaga istriku saat di kampus. Aku tidak mau, dia berubah jadi aneh seperti Hasnah," kataku pada akhirnya.     

Ucup langsung hormat kepadaku, sembari berdiri tegak. Seolah-olah, saat ini aku telah memberinya sebuah amanat yang sangat besar.     

"Siap, Juragan!"     

Setelah kami bercakap-cakap, Manis pun akhirnya keluar dari kampus. Di belakangnya sudah ada Hasnah juga. Dia berjalan ndhak di samping Manis, tapi di belakang Manis. Sedikit menunduk dia berjalan dengan benar-benar sangat aneh. Pasti, jika orang lain melihat, pasti mereka pikir Manis tengah berjalan dan diikuti sosok lelembut.     

Kepalaku pusing, bagaimana caranya aku mengatakan hal ini kepada Manis. Aku ndhak mau dia sakit hati, sebab aku telah berburuk sangka dengan kawan baiknya.     

"Kangmas udah di sini?" tanya Manis, kemudian dia melihat Ucup yang masih makan bakso sambil tersenyum lebar ke arahnya. "Kamu juga di sini, Bang?"     

"Iya, nemenin suamimu yang ganteng ini ngebakso," jawab Ucup sekenanya.     

Aku mengsem saja mendengar ucapan itu, kemudian aku melirik ke arah Hasnah. Tapi, cepat-cepat aku langsung memalingkan pandanganku. Tatkala melihat dia rupanya telah melihatku sembari tersenyum. Jenis senyuman yang sangat aneh, yang bahkan membuatku takut untuk sekadar melihatnya. Gusti, kenapa aku harus bertemu dengan orang seaneh dia.     

"Pulang, Sayang?" ajakku pada Manis. Berdiri, sembari memeluk tubuhnya, sembari kuajak dia berjalan menuju ke arah mobil.     

Hasnah ndhak berkata apa pun. Selain mengikuti langkahku dan juga Manis. Sebenarnya, aku juga merasa sungkan. Sebab beradegan sok romantis tatkala ada kawan istriku berjalan di belakang kami. Namun, entah mengapa aku merasa lebih nyaman seperti ini.     

"Ehm, kita antar Hasnah ke rumahnya dulu?" tanyaku, setelah kami berada di dalam mobil.     

"Iya."     

"Tidak usah, aku mau mampir ke rumah Manis dulu," jawab Manis, dan Hasnah bersamaan. Jenis jawaban yang benar-benar berbeda, dan itu berhasil membuatku semakin bingung. Kawan baik istriku ini, kenapa? "Ada buku yang ingin kupinjam darimu, Manis. Jadi bolehkah aku ke rumahmu dulu?" lanjut Hasnah kemudian.     

Sejenak Manis tampak bingung, sebab aku yakin jika dia juga bingung dengan kawannya itu. Ingin rasanya aku melarang, tapi sejatinya aku ndhak punya hak apa pun untuk itu.     

"Buku apa?"     

"Tugas kemarin itu, aku bingung," jawab Hasnah lagi.     

"Wah, kamu pandai tapi kamu bingung. Ya sudah, nanti kita kerjakan bersama, ya," jawab Manis pada akhirnya. Nanti, setelah perempuan aneh itu pergi, aku pasti akan bertanya banyak hal perkara Hasnah dengan istriku.     

Ndhak lama, akhirnya kami sampai jumpa di rumah. Manis dan aku keluar, kemudian dengan Hasnah juga. Dia kembali menyibak rambutnya, kemudian memandangiku tanpa kedip. Aku jadi bingung, apakah di wajahku ada kotoran atau apa.     

"Kenapa kamu memandangiku terus sedari tadi?" tanyaku pada akhirnya, setelah Manis masuk ke dalam rumah.     

Hasnah masih diam, dia memandangku dengan tatapan yang aneh itu. Kemudian dia tersenyum. "Abang, kamu tampan,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.