JURAGAN ARJUNA

BAB 43



BAB 43

0Setelah melakukan beberapa ritual, maksudnya dengan membawa banyak barang, kami pun akhirnya menuju rumah Manis. Entah apa saja yang dibawa oleh Biung, ada dipan, lemari, dan lain sebagainya. Semestinya, ini adalah kewajiban dari mempelai laki-laki untuk membawa barang-barang keperluan kamar sebagai seserahan. Selain sudah menjadi tradisi di sini, bukankah memang tanggung jawab suami memberikan yang layak untuk istrinya? Toh, Minto bukanlah lelaki yang meskin. Dia cukup punya uang sekadar untuk membeli barang-barang ini.     
0

Paklik Sobirin bagian yang penjadi kusir cikarnya. Kalian tahu cikar, toh? Itu, gerobak yang para sapi sebagai media jalannya. Dan harus dikusiri oleh seseorang untuk bisa berjalan sesuai keinginan si kusir. Mirip delman.     

Sementara kami, yang perempuan-perempuan beserta dengan aku yang bagus sendiri ini membawa sebuah mobil. Untuk menuju rumah Manis. Kurasa, Biung ini benar-benar sudah kelewatan. Memperlakukan Manis benar-benar seperti putrinya sendiri. Bayangkan saja nanti orang-orang sana yang melihat. Dikira akulah yang nanti akan menikahi Manis. Padahal, memang itu cita-citaku sedari dulu.     

Ndhak terasa rumah Manis sudah tampak. Sebuah bangunan kuno, yang sangat mungil. Orang-orang yang sedang membantu-bantu di sana tampak keluar rumah semua. Melihat ke arah kami dengan keheranan. Pasti, nanti akan menjadi warta besar warga kampung. Lihat saja. Dan itu karena Biung, yang selalu berlebihan dalam perkara apa pun. Dasar Biung ini.     

"Duh, duh, duh!!! Ada apa, toh, ini, Ndoro!" kata Simbah Manis. Berdiri paling depan menyambut kedatangan rombonganku, sebelumnya pasti mengelus-elus beberapa barang yang dibawa oleh Paklik Sobirin. Duh Gusti, kok ada tua bangka sepertinya. Benci dan jijik kepada orangnya, tapi jika diberi barang-barang seperti ini disambut dengan begitu suka cita. Aku saja sampai heran, jika ia sebenci itu kepada Biung, dan aku, bukankah seharusnya dia telah menolak apa pun yang dilakukan Biung untuk keperluan Manis sampai detik ini, toh? Tapi dia, menerimanya dengan senang hati. Entah, aku heran, terbuat dari mana nyawa perempuan tua bangka seperti Simbah Manis ini. "Kok ya repot-repot sekali toh, Ndoro. Seharusnya ndhak perlu repot-repot seperti ini, lho."     

"Oh, ndhak apa-apa, Mbah. Ini adalah salah satu tugasku. Manis sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Jadi mempersiapkan pernikahannya dengan sempurna mungkin adalah kewajibanku, Mbah," kata Biung menjelaskan, begitu penuh sopan-santun dan rendah diri kepada perempuan tua itu. Bahkan Biung yang kulihat tatkala dia bercakap dengan sesepuh-sesepuh kampung, ndhak pernah sekalipun ia menempatkan diri sebagai Ndoro Putri sama sekali. Dia menempatkan dirinya sebagai warga kampung biasa, dengan sopan-santunnya, dengan unggah-ungguhnya, dan dengan kerendahan hati yang luar biasa. Aku saja sampai heran, kenapa perempuan sebaik Biung sampai ada yang membenci itu, lho. Salah apa toh Biung sama orang-orang itu?     

Sepertinya Biung benar-benar ndhak tahu, tabiat busuk dari Simbah Manis. Bagaimana Simbah Manis memandang rendah Biung. Gusti, hatiku benar-benar rasanya sakit setiap ingat perkataan Simbah Manis waktu itu kepadaku. Terlebih, tatakala ia mengolok-olok Biung dengan seperti itu.     

"Ini Biung memberinya tulus, sebab dia adalah orang yang baik. Bukan orang munafik," sindirku.     

Biung buru-buru menyikutku, sementara Rianti tampak tersenyum simpul. Syukurlah, untuk kali ini Rianti ada di pihakku.     

"Ningrum, ayo kita masuk. Kita menyiapkan beberapa barang sama-sama, ya," ajak Rianti. "Oh, Kangmas. Sudah lama lho, kamu ndhak menemui kawan baikmu. Mungkin, dia ada di kamar. Kenapa kamu ndhak mengunjunginya barang sebentar sebelum pergi? Boleh, toh, Mbah?" kata Rianti lagi.     

Ekspresi Simbah Manis benar-benar ndhak terbaca. Antara rasa gemas, dan marah tampak campur aduk jadi satu. Sementara aku hanya tersenyum saja. Rasanya benar-benar. Jika aku adalah dewa kematian pastilah dia orang pertama yang kucabut nyawanya sekarang juga.     

"Oh, tentu... silakan, Juragan. Mumpung Kamitua Minto juga ada di dalam. Sekalian, kalian bisa berbincang-bincang barang sebentar," kata Simbah Manis mempersilakan, seolah menantangku, akankah aku berani masuk ke dalam kamar Manis tatkala ada Kamitua Minto di sana?     

"Oh, tentu. Pasti aku akan segera masuk ke dalam," jawabku dengan penuh percaya diri, memandangnya tanpa ada rasa sungkan sedikit pun.     

Simbah Manis paling pintar memancing emosi seseorang. Dan, aku pun malah terjebak oleh ucapan Rianti. Harus bertemu dengan lelaki tengik macam Minto dan berbasa-basi. Bagaimana bisa aku berbasa-basi dengan laki-laki menyebalkan seperti itu?     

"Oh, Juragan. Bagus benar, toh, wajah Juragan ini. Mau menemui Manis, ya?"     

"Iya, Bulik." jawabku, pada salah satu Bulik yang ada di sana.     

Bulik itu tampak cepat-cepat mendekat ke arahku, sambil menarik anak perempuannya juga. Aku benar-benar ndhak paham dengan apa maksud dari Bulik itu.     

"Juragan, jika Juragan ingin, sudilah kiranya Juragan memandang putriku ini. Dia salah satu gadis kampung yang cukup ayu. Hanya untuk hiburan Juragan pun, boleh," katanya.     

Aku nyaris terbatuk mendengar ucapan dari Bulik itu. Hiburan? Apa maksud dari Bulik itu aku disuruh menjadikan putrinya sebagai simpanan? Duh Gusti, ndhak etis sama sekali.     

Aku hanya tersenyum kemudian lalu. Menuju kamar Manis yang terbuka sedikit itu. Kuintip di dalam sana ada Manis dan Minto yang sedang berdiri. Ndhak seperti biasanya yang Minto suka mendekat agar bisa memegang tubuh Manis. Kali ini, bahasa tubuh Minto tampak kaku. Ada apa? Pertanyaan itulah yang membuatku menjadi penguping percakapan mereka.     

"Coba, tarik ucapanmu itu! Jangan jadi perempuan kurang ajar, kamu! Kamu ini perempuan, kamu ndhak ada hak untuk melangkahi kaum laki-laki! Tugasmu hanya melayaniku di atas ranjang, memasak untukku, mengurusi pakaianku, dan melakukan apa pun yang kusuruh setelah kita menikah nanti, Manis! Apa kamu ndhak paham tentang itu juga!" kata Minto. Cukup keras jika itu diartikan sebagai bisikan. Namun, karena kamar Manis terletak cukup jauh dari jalan yang dijadikan lalu-lalang orang-orang yang ramai ini, tentu saja membuat orang-orang yang ada di sini ndhak begitu peduli.     

"Aku... aku hanya ingin maju, Kangmas. Aku hanya ingin menjadi perempuan maju. Aku hanya ingin menyumbangkan ilmuku untuk warga kampung, aku hanya ingin mengabdikan diriku untuk warga kampung. Itu sebabnya aku ingin—"     

PLAK!!!     

Hatiku terasa ngilu tatkala Minto menampar Manis dengan begitu mudahnya. Kurang ajar benar laki-laki itu, menampar perempuan yang mati-matian kujaga.     

"Kepala Desa ndhak pantas untukmu! Sejak kapan ada Kepala Desa perempuan! Tahu diri kamu, Manis! Atau akan kupukul lagi kamu sekarang!"     

"Bangsat, kamu! Berani memukul Manis maka langkahi dulu mayatku!" ucapku ndhak terima. Berdiri tepat di depan Minto sambil berkacak pinggang.     

Minto tampak semakin emosi, dia mencengkeram kerah kemejaku tapi kudorong tubunya sampai dia mundur beberapa langkah.     

"Kamu siapa, hah! Kamu hanya sebagai calon suami tapi tingkahmu seolah seperti kamu ini orangtuanya, Bangsat! Kamu... kamu hanya seorang calon suami, kamu ndhak ada hak menyakiti Manis bahkan seujung rambut pun!" marahku. "Kamu bukan Biung yang mengandungnya selama sembilan bulan, yang hampir setiap malam ndhak bisa tidur karena perutnya kian hari kian membesar. Kamu bukan Biung yang melahirkannya bertaruhkan nyawa, dan menyusuinya sampai dua tahun. Kamu bukan Romo yang memberi nafkah padanya, kamu bukan Romo yang membesarkannya dengan segala peluh dan darahnya. Jadi, punya hak apa kamu ingin menyakiti perempuan, hah! Katakan padaku, Bangsat!"     

"Cukup, Arjuna... cukup!" kata Manis. Yang tahu jika aku akan melayangkan pukulan lagi kepada Minto.     

"Sekali lagi aku lihat atau dengar dari siapa pun kalau kamu menyakiti Manis. Aku ndhak akan segan-segan menguliti setiap bagian dari tubuhmu. Aku ndhak akan segan-segan memotong jari-jari kotormu itu, atau bahkan mencongkel kedua mata menjijikkanmu itu, mengerti!"     

"Lantas siapa kamu yang berani menyeramahiku, hah! Bahkan, kamu bukan orangtua, pun bukan keluarga Manis. Sementara aku, jelas... aku adalah calon suami Manis. Apa kamu ndhak cukup sadar diri dengan posisimu itu?" katanya, dengan penuh ejekan dan kemenangan.     

Aku tersenyum saja mendengar ucapannya, kudekati dia. Kubersihkan kemeja batiknya, kemudian kudekatkan bibirku pada telinganya.     

"Kamu mau tahu siapa aku?" kubilang, dia tampak melirikku tapi masih diam. "Aku adalah laki-laki yang pernah melumat bibir mungil calon istrimu. Atau, bisa jadi... yang sedari dulu sampai sekarang masih menggenggam erat hati calon istrimu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.