JURAGAN ARJUNA

BAB 49



BAB 49

0Aku hendak pergi, kemudian Romo menepuk bahuku. Seolah ingin mengatakan sesuatu. Kupandang wajah Romo yang tampak keruh itu. Tumben, biasanya ndhak pernah seperti itu.     
0

"Kenapa kamu ndhak bilang lebih awal? Kamu tahu semuanya akan seperti ini? Seendhaknya Romo bisa sedikit membantu, Arjuna,"     

"Romo, percayalah. Pantang bagi laki-laki bersikap pengecut dalam masalah hati. Terlebih, mengadu kepada orangtua untuk berjuang karena cinta. Ndhak, Romo... aku bisa melakukannya sendiri,"     

*****     

Siang ini para perangkat Desa sudah berkumpul di balai desa. Dan beberapa warga pun sama. Sayangnya, jumlah warga yang diundang benar-benar jauh berbeda dengan jumlah warga yang datang. Hanya segelintir, dan mereka pun tampak benar-benar ndhak bersahabat sama sekali.     

"Sampai kapanpun, kami ndhak akan pernah terima jika kampung Kemuning dibangun tempat wisata dan didatangi banyak orang-orang luar, Juragan!" teriak Warsito, salah satu sesepuh kampung.     

Jujur, ini memang akan terjadi. Sebab bagaimana pun, pola pikir warga kampung ndhaklah menjadi perkara mudah untuk merubahnya.     

"Bagaimana bisa Kemuning, kampung yang begini damai akan didatangi banyak orang dari luar daerah? Mereka, pasti akan datang dengan ndhak aturan. Datang, merusak perkebunan, dan merusak hal-hal lain yang telah menjadi adat istiadat kampung ini. Mereka pasti akan meninggalkan sampah-sampah. Mereka datang beramai-ramai, dan akan membuat warga kampung menjadi bahan tontonan, dan itu benar-benar sangat risih. Kemuning akan tercermar oleh orang-orang di luar daerah, Juragan. Dan perkebunan teh, akan diinjak-injak oleh mereka dan akan dirusak!"     

"Mbah Warsito tenang dulu, duduk dulu, dan minum dulu. Ambil napas dalam-dalam agar emosinya berkurang...," kubilang, mencoba menenangkannya. "Sejatinya, aku sangat paham dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk di hati kalian. Akan tetapi, membangun wisata di kampung kita juga merupakan hal yang sangat baik. Bisa memajukan kampung kita di kancah Nasional, bisa mengenalkan kebudayaan kita, kerajinan tangan, hasil bumi, dan bagaimana ramahnya penduduk kampung kita. Coba kalian bayangkan...." kutata posisi dudukku agar enak dipandang, kemudian kulihat mereka satu persatu. Sepertinya, mereka penasaran dengan apa yang hendak aku katakan.     

"Pertama-tama aku ingin bilang jika membangun tempat wisata di Kemuning ndhak hanya memiliki dampak buruk, Mbah, Paklik, Pakdhe. Sebab bagaimana pun banyak sekali keuntungan-keuntungan yang bisa kita dapatkan dari pembangunan wisata ini. Pertama, dalam segi ekonomi masyarakat. Dengan dibangunkannya tempat wisata, warga kampung ndhak perlu lagi untuk menjual hasil buminya ke kota jika itu jumlahnya sedikit, warga ndhak perlu menitipkan hasil kerajinan tangan ke pasar yang ada di kota. Terlebih, warga kampung bisa menggunakan jasanya untuk menghasilkan uang. Dan yang kedua, Kemuning akan dikenal masyarakat luas di Indonesia. Dan yang ketiga, ini kan wisata fokusnya menonjolkan alam. Perkebunan teh, jadi akan sangat minim sekali untuk membuka lahan. Akan sangat minim sekali jika perkebunan kita akan rusak karenanya. Oleh karena itu, kita bisa memberikan beberapa penekanan dan aturan-aturan kepada pengunjung agar bisa mereka taati. Lagi pula, ini juga baru rencana, toh. Kemungkinan pembangunannya pun masih sepuluh, atau malah dua puluh tahun lagi. Aku janji, ndhak akan ada satu lahan pun dari punya kalian yang terpakai. Semua, menggunakan lahanku. Ndhak masalah itu. Dan aku sebagai Juragan, akan menjamin semua kerisauan kalian ndhak akan terjadi. Percayalah."     

"Kami tetap ndhak percaya, Juragan! Kami masih ragu dengan ucapan Juragan Arjuna!"     

"Mohon tenang, tenanglah...," aku kaget saat Manis datang, sambil membawa beberapa buku. Untuk apa dia kesini? Bukankah, lusa dia akan menikah? Seharusnya, dia melaksanakan tradisi berdiam diri di rumah dan ndhak melakukan apa pun. "Aku selaku warga kampung, ingin memberikan beberapa pengetahuan kepada kalian. Dan pecayalah kepada Juragan Arjuna, jika rencana pembangunan tempat wisata di Kemuning ini akan menguntungkan dua belah pihak."     

"Menguntungkan bagaimana, toh? Kedamaian kita akan terusik, kebun teh kita yang hijau pasti akan rusak!"     

"Ini akan memperbaiki taraf hidup kalian. Percayalah. Dengan adanya tempat wisata ini, Ibu-Ibu bisa membuka warung makan untuk pengunjung, toh? Kemudian, hasil kerajinan dan hasil bumi bisa kita jual kepada pengunjung dengan untung semua telah menjadi milik kita. Bayangkan, jika kita titipkan ke pasar, kita ndhak akan mendapat untung banyak. Untung itu masih dibagi kepada penjual di pasar, dan yang membawa hasil panen dan kerajinan kita. Lagi pula, kita juga bisa sedikit menaikkan harganya. Percayalah, itu ndhak akan jadi masalah besar bagi pengunjung untuk membeli. Kemudian perkara daun-daun teh, ini benar-benar sangat menguntungkan. Untuk daun-daun teh yang ditolak oleh pabrik, bisa kita pergunakan untuk membuat kue-kue, dan buah tangan kepada para pengunjung. Dengan demikian, semua yang awalnya ndhak terpakai memiliki daya jual tinggi. Bukankah itu bagus? Apa kalian ndhak pingin punya rumah yang dibangun dari bata? Bukan lagi rumah yang terbuat dari kayu-kayu tua? Apa kalian ndhak ingin setiap hari bisa makan makanan layak, bukan lagi makan nasi gaplek dan tiwul setiap hari? Apa kalian ndhak ingin melihat anak-anak kalian memiliki biaya sekolah tinggi dan bisa menjadi Guru, ABRI, Polisi dan sebagainya dengan uang kalian sendiri?"     

Semua orang terdiam mendengar ucapan Manis. Kurasa Manis benar-benar bisa merubah cara pikir orang-orang kampung.     

"Begini saja. Beri kami waktu, Juragan, kami akan memikirkan ini masak-masak. Lusa, saya akan mewakili penduduk kampung akan berkunjung ke rumah Juragan untuk memberitahu kesepakatan kami bersama," putus Warsito.     

"Terimakasih, Mbah, terimakasih. Dan percayalah apa yang aku, dan perangkat desa lakukan adalah semata-mata untuk kebaikan bersama."     

Setelah aku mengatakan itu, warga kampung berpondong-pondong pamit. Dan para perangkat desa pun pergi dari tempatnya. Kebetulan Minto sedang ndhak bisa hadir. Mungkin sedang sibuk mengurusi hal-hal seputar pernikahannya dengan Manis lusa.     

Sementara aku, masih berdiri di sini dengan Manis. Hadap-hadapan. Saling diam, dan saling pandang seperti kami ini adalah orang asing.     

"Kenapa kamu kesini? Bukankah seharusnya kamu telah dipingit?" tanyaku pada akhirnya.     

"Aku mendengar dari Paklik Sobirin jika ada rapat di Balai Desa, jadi bagaimana kakiku ndhak gatal untuk datang kesini, toh. Lagi pula, aku sangat setuju dengan idemu untuk memajukan kampung ini."     

Aku berjalan mendekat padanya, rasanya benar-benar rindu dengan sosok yang di depanku ini. Sekarang, aku ndhak bisa lagi leluasa menggodanya, atau malah mengajak berdebat dia dengan hal-hal sepele. Rasanya, hari-hariku benar-benar sepi, tanpa adanya dia.     

Manis masih memandangku tanpa kedip, di matanya seolah menyembunyikan banyak duka. Aku tersenyum, kemudian kudekap tubuhnya erat-erat. Mencoba meluapkan semua rasa aneh, rasa sakit, dan rasa sesak yang selalu saja menghantui diriku.     

"Seharusnya kamu menjadi istriku. Kenapa kamu malah memilih lelaki berhidung besar itu, Manis?"     

"Arjuna, di sini tempat umum. Ndhak seharusnya kamu berlaku seperti ini," katanya. Mencoba menjauhkan tubuhku darinya.     

"Sebentar, biarkan aku seperti ini. Rasanya benar-benar sangat tenang. Seendhaknya, agar sesakku hilang, seendhaknya agar luka yang menganga di dadaku memudar."     

Kini Manis ndhak melakukan perlawanan lagi. Dengan lembut dia menepuk-nepuk punggungku seolah menenangkan. Lusa... lusa aku akan benar-benar kehilangannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.