JURAGAN ARJUNA

BAB 70



BAB 70

0"Jadi, apa yang membuatmu berada di sini sekarang, Juna? Kupikir kamu telah melupakan aku setelah kejadian itu," ketus Manis, setelah kami sampai di rumah yang ditinggali Rianti selama dia kuliah di sini.     
0

Sepertinya dia marah, sebab sudah terlalu lama aku ndhak menemuinya. Iya, memang. Kira-kira sudah hampir enam bulan aku ndhak mencari Manis. Pastilah dia berpikir aku telah melupakannya, terlebih saat itu dia tahu keadaanku benar-benar sangat mengenaskan. Cemas, dan marah mungkin sudah dia pendam selama setengah tahun. Dan menurutku, itu adalah hal setimpal dari apa yang akan dia dapatkan. Aku mengulum senyum tatkala mengingat percakapanku dengan Romo sebelum aku berada di sini. Manis, tenanglah, setelah ini bahagia adalah milikmu. Ini adalah janjiku kepadamu.     

"Siapa suruh kamu mengikuti perintah orangtuaku, mencari ilmu di tempat sejauh ini. Memangnya kamu pikir, Kemuning dan Jakarta jalan kaki akan sampai?" sindirku yang ndhak kalah ketus dari ucapannya tadi. Sepertinya, bermulut pedas adalah bakatku sedari bayi.     

Manis ndhak menjawab ucapanku, matanya memandangku tanpa kedip. Kemudian dia tersenyum simpul, seolah melihatku ada di sini sudah cukup membuatnya bahagia.     

"Bahkan disuruh ke ujung dunia pun, jika aku tahu kamu akan sehat seperti ini, ndhak akan jadi masalah buatku," katanya kemudian. Tatapan, dan senyumannya itu lho, tampak benar jika dia seolah merindukanku. Duh, jadi gemas aku dibuatnya.     

Aku tersenyum mendengar ucapannya, dia memang benar-benar aneh. Di saat ada cinta yang menginginkan bersama, tapi dia malah sebaliknya. Dan itulah yang membuat aku jatuh hati, aku memang ndhak tahu kenapa aku bisa jatuh hati dengan perempuan aneh seperti itu. Namun kurasa, yang aneh bukankan Manis, tapi aku karena telah jatuh hati kepadanya. Kenapa harus Manis? Padahal jelas, di luar sana banyak puluhan perempuan yang jauh lebih baik darinya. Kenapa harus Manis? Apakah ini yang dinamakan witing trisno jalaran soko kulino, yang artinya, awal tumbuhnya rasa cinta karena terlalu sering bersama. Bersama menghabiskan waktu berdua, bersama saling ejek, bersama menampilkan keburukan kita tanpa malu-malu, hingga rasa itu muncul dengan begitu nyata.     

Dan kurasa setelah semua itu adalah, karena ketulusan Manis, karena kepolosan, dan kemurnian Manis, yang mampu membuat hatiku bergetar, sampai aku ndhak sadar, jika namanya sudah tersimpan rapi di dalam relung hati. Dulu, aku berpikir jika Manis adalah perempuan tengil, dan ndhak ada sisi perempuannya sama sekali tatkala aku selesai kuliah dan mulai memutuskan untuk tinggal di Kemuning. Namun nyatanya aku salah, Manis tetap Manis. Manis yang galak, tapi memiliki sifat keibuan yang sangat luar biasa.     

"Kenapa kamu mengambil jurusan kedokteran? Itu akan memakan waktu lama untuk lulus," kutanya. Kenapa dia ndhak mengambil kuliah jurusan yang lulusnya tiga tahun saja, bagiku aku ndhak akan masalah dia mengambil jurusan apa pun, asalkan yang jurusannya cepat lulus. Itu saja, sudah cukup.     

"Ketika melihatmu kritis beberapa bulan lalu, aku baru sadar jika alangkah baiknya jika aku adalah seorang dokter, yang mungkin bisa mengobatimu ketika kamu sakit, dan terluka. Membayangkan aku bisa melakukannya dengan kedua tanganku sendiri, adalah hal yang benar-benar ingin kulakukan," katanya. Dia tersenyum simpul, berjalan ke arah kursi kemudian dia duduk.     

"Lalu menjadi seorang guru?" tanyaku. Dia kembali tersenyum.     

"Itu karena mungkin aku terlalu mengagumi Ndoro Larasati, itulah sebabnya apa pun yang beliau kerjakan tampak begitu menarik untukku," jelasnya dengan suara teduhnya itu.     

Kemudian, kami sesaat terdiam, ditelan oleh kecanggungan yang sangat luar biasa. Dia dengan pikirannya sendiri, sementara aku lebih suka mengamati wajahnya yang telah lama kurindu. Namun, aku ndhak akan pernah mengatakan kepadanya jika aku rindu. Sebelum dia mengatakannya terlebih dahulu. Gusti, rasanya seperti ini, toh, lama berpisah dengan kekasih hati. Rasanya benar-benar canggung sekali. Namun canggungnya kali ini, begitu sangat indah untuk dinikmati. Dada berdebar keras, dan terpompa dengan begitu keras. Seolah-olah, suaranya ingin menyerukan nama Manis, dan kerinduan yang terdalam. Seolah-olah, ini akan bisa diredam dengan menarik Manis untuk masuk ke dalam dekapan.     

"Kamu tahu...," kata Manis terhenti sesaat. Aku yakin, dia akan bilang kalau dia rindu aku. Aku yakin akan hal itu. Ndhak mungkin benar jika dia ndhak rindu. Karena dia teramat jatuh hati kepadaku. "Batik dari Kemuning—"     

"Tunggu!" kataku sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.     

Dia tampak menarik sebelah alisnya, seolah penasaran kenapa aku memotong ucapannya.     

"Biskah kita membahas yang lain selain masalah batik, rumah pintar, pendidikan barumu yang menyebalkan, dan hal-hal seperti itu?" tanyaku. Yang mulai agak sebal dengan Manis. Apakah dia ini ndhak peka sama sekali, toh, tentang perasaanku? Tentang apa inginku? Aku lho ingin membahas hati kami, aku ingin membahas rasa cinta, dan rindu kami? Dan aku ingin melakukan hal-hal yang bisa meluapkan rasa rindu, dan cinta yang teramat ini.     

Tapi memang perempuan itu kalau dalam kondisi sok menjadi perempuan seperti ini menjadi jarang berucap. Entah karena grogi, atau malah mendadak menjadi manusia bisu. Atau malah nanti, dia akan berubah menjadi manusia batu.     

"Pemuda buruk rupa tadi, siapa?" kutanya.     

Manis tampak menarik tubuhnya, memandangku kaget. Untuk kemudian kedua alisnya bertaut, lalu kembali tersenyum.     

"Oh, tadi, Abang Ucup," dia jawab.     

Cih, Abang dia bilang? Seperti seperti panggilan sayang yang benar-benar menjijikkan. Bukankah seharusnya dia yang memanggilu Abang? Abang Arjuna, kurasa jauh lebih pantas dari pada cecunguk jelek tadi itu.     

"Oh, jadi pemuda yang matanya segentong itu, yang hidungnya sejambu monyet itu, yang bibirnya dower seperti onde-onde itu namanya Abang Ucup?" sindirku.     

"Kamu cemburu?" ucap Manis yang berhasil membuatku nyaris tersedak. Kemudian dia tersenyum penuh arti dan itu benar-benar membuatku ingin marah.     

"Siapa yang cemburu?" kilahku. Memalingkan pandanganku darinya, sembari salah tingkah. Sial benar, memang, jika cemburu diketahui dengan mudah seperti ini.     

Manis langsung menyentil hidungku, kemudian dia berkacak pinggang. Matanya melotot memandangku seolah-olah ingin marah.     

"Sudahlah, Arjuna, ndhak usah kamu mengelabuhiku. Kelakuan burukmu itu ndhak jauh berbeda dengan Juragan Nathan, yang akan selalu mengejek fisik seseorang ketika cemburu," katanya panjang lebar. Sejak kapan dia memerhatikan? Bahkan aku sendiri ndhak sadar.     

Dan kurasa, Romo Nathan selalu memukul rata orang. Ndhak peduli dia cemburu atau endhak. Ketika dia merasa ndhak suka dengan orang, atau dia tahu jika orang tersebut berniat ndhak baik, maka ketus, dan mengeluarkan kata-kata pedas adalah jurus andalannya. Bahkan kurasa, ndhak hanya sama orang-orang ndhak baik. Bahkan denganku yang putranya, dan para abdi dalem pun, Romo juga sering mengatakan ucapan kasar. Kalau aku, kan, beda. Iya, toh? Ada yang setuju dengan pendapatku ini? Pasti kalian setuju, aku yakin akan hal itu!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.