JURAGAN ARJUNA

BAB 74



BAB 74

0Sorenya aku sudah berdiri di parkiran, sambil menunggu Manis, juga Rianti yang masih sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mereka telah mengemas barang pagi tadi, jadi aku tinggal membawanya, dan mereka langsung ikut bersamaku untuk kembali ke Kemuning. Rencananya nanti aku akan meminta Romo, dan Biung untuk segera menentukan hari pernikahanku dengan Manis. Agar kami ndhak berlama-lama lagi menjalin hubungan yang ndhak jelas ini. kemudian selain itu adalah, aku akan berbincang empat mata dengan Suwoto. Barang kali nanti apa yang akan terjadi selanjutnya aku ndhak tahu. Hanya saja, setelah apa yang telah dikatakan Manis kemarin benar-benar merubah cara pandangku kepada Suwoto. Atau malah, apa aku masih bisa bertatap muka dan bercakap seperti sebelumnya? Jujur, setiap kali aku mengingat jika dialah yang membunuh Romo Adrian, tubuhku terasa bergetar hebat. Aku benar-benar ndhak kuat menerima kenyataan seperti itu. Seperti, telah mengulurkan tangan kepada pembunuh orangtuaku sendiri.     
0

Lantas bagaimana jika Biung tahu perihal ini? Apa semuanya akan baik-baik saja? Atau malah sebaliknya? Meningat Romo Adrian adalah laki-laki yang begitu Biung cintai sampai detik ini. Dan, kepergian Romo Adrian sampai sempat membuat kewarasan Biung terganggu. Gusti, apakah aku akan membuat masalah di tengah keluargaku lagi? Apa benar jika akulah yang harus mengemban trah dari darah Hendarmoko yang mengerikan ini?     

Dan pantas saja, kenapa Romo Nathan begitu membenci Suwoto, dia ndhak suka sekali aku memanggil Suwoto kembali. Jadi, ini adalah alasan di balik semua alasan yang coba mereka sembunyikan? Alasan teramat pilu yang membuat jantungku terasa ngilu.     

"Wah, wah... sore-sore tampaknya laki-laki setengah tua ini melamun, ya,"     

Aku menoleh, melihat pemuda jelek, dan menyebalkan bernama Ucup itu mendekat ke arahku. Untuk kemudian, ndhak jauh dari sana ada Manis yang tampak mendekat ke arahku juga. Besar juga nyalinya telah mengataiku sebagai laki-laki setengah tua? Dasar, cebol berhidung sebesar jambu monyet!     

Aku bersedekap, memandangnya dengan senyuman simpulku. Memandangnya yang telah berani berucap seperti itu, benar-benar luar biasa. Sepertinya, dia ndhak tahu aku siapa. Andai tahu, pasti dia akan sangat malu.     

"Wah, wah... sore-sore tampaknya ada pemuda cebol yang buruk rupa tengah menyapaku. Apa aku tidak salah lihat?" sindirku kemudian. Membalikkan ucapannya tadi untuk menyerangnya. Ayolah, aku ini tipikal orang yang suka berkata pedas, jadi berhenti memancing atau ndhak kuberi cabai seluruh tubuhmu itu sampai kepanasan!     

"Aku bingung, kenapa Manis memilihmu. Apa hebatnya kamu? Meski kamu tampan, tapi tampan bukanlah menjadi patokan? Melihat gayamu yang memang sedikit nyentrik. Tapi kurasa, kamu tidaklah memiliki apa-apa selain ketampananmu itu. Pengangguran," sindirnya lagi. "Tampak jelas kalau kamu tidak punya pekerjaan. Dari pagi sampai sore, kerjaanmu hanya mengekori Manis. Dasar, laki-laki tidak tahu diri," aku mendelik ketika dia mengatakan hal itu. "Lihat, aku...," katanya kemudian, sambil merapikan kerah kemejanya. "Calon orang sukses, calon seorang Dokter spesialis sukses! Memangnya kamu, kuliah di jurusan Kedokteran saja tidak mampu. Ohyaa, aku lupa, kamu kan pengangguran. Sementara kuliah di jurusan Kedokteran perlu biaya yang sangat mahal!"     

"Meski aku tidak punya pekerjaan, pengangguran. Tapi, aku bisa membayarimu, dan seluruh keluargamu sampai kalian dikuburkan nanti," kataku ndhak mau terima.     

Kurang ajar! Berani benar laki-laki ini mengejekku. Dasar, ndhak tahu malu! Nanti akan kupastikan dia akan merangkak di bawah kakiku untuk meminta maaf.     

"Ju—"     

"Eh, Paman Sobirin?"     

Aku menoleh, tatkala Paklik Sobirin datang dengan terburu mendekat ke arahku. Tapi, buru-buru dihadang oleh Ucup. Aku ndhak tahu, sejak kapan pemuda jelek itu kenal dengan Paklik Sobirin.     

"Lho, Mas Ucup, toh, kok kebetulan ada di sini?" tanya Paklik Sobirin. Tergopoh mendekat ke arahku dan Ucup.     

Ucup tersenyum, sambil membersihkan pakaian Paklik Sobirin seolah-olah Paklik Sobirin adalah seorang pangeran.     

"Justru seharusnya aku yang bertanya kepada Paman Sobirin, ada apa kok bisa nyasar ke sini, ke Universitasku. Apa jangan-jangan, Paman hendak mencariku, ya?" katanya.     

Besar kepala benar, pemuda jelek ini. Benar-benar ndhak tahu malu.     

"Ah, bukan... bukan. Saya—"     

"Oh, iya, kalau tidak salah, Manis juga dari Kemuning, kan? Apa jangan-jangan Paman Sobirin mau menjemput pulang Manis?" tebak pemuda itu lagi. Kemudian, dia langsung melihat ke arahku, sepertinya baru ingat sesuatu. Lihatlah wajah buruknya yang tampak semakin congkak itu, benar-benar membuatku muak. Rasanya ingin sekali kusumpal lubang hidungnya yang besar itu dengan jempol kakiku. Biar dia ndhak bisa napas sekalian.     

"Kenalkan, nih, Paman Sobirin. Abdi dalem kepercayaan Juragan tersohor senusantara. Kamu tidak akan kenal, kamu kan pengangguran," katanya kepadaku.     

Jujur, aku ingin sekali tertawa mendengar ucapannya itu. Ingin sekali kucekik lehernya sampai mati.     

Paklik Sobirin hendak menjelaskan, namun kuisyatkan dia untuk diam dulu. Aku ingin lihat, sejauh mana pemuda jelek itu akan bertingkah.     

"Oh ya, Paman Sobirin kenal dengan pemuda ini?" tanya Ucup lagi.     

Manis tampak melotot, sementara Paklik Sobirin tampak kebingungan. Harus menjawab pertanyaan Ucup seperti apa. Sementara aku masih memaksanya untuk tetap diam,     

"Lihatlah, Paman. Laki-laki setengah tua ini, beberapa hari ini selalu menganggu pemandangan. Lihat saja, caranya berpakaian itu. Benar-benar, ndeso dan kuno. Setiap hari memakai kemeja, kalau tidak memakai batik," celetuknya, setengah tertawa seolah ingin menegaskan kalau dia sedang mengejekku. Kayak gaya pakaiannya bagus saja. Kemeja warna-warni dengan motif bunga-bunga, rambut keriting dibiarkan gondrong. Persis seperti brokoli yang ada di kebun-kebun orang.     

Lagi pula, kurasa ndhak ada yang salah dengan penampilanku. Hanya saja, aku menyukai penampilanku seperti ini. Bagaimana kalau aku memakai surjan, lengkap dengan selop, dan perlengkapannya. Aku yakin, dia akan mengataiku sebagai tokoh dalam pewayangan.     

"Ada apa Paklik berada di sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tetap berada di Kemuning?" kataku pada akhirnya, mengabaikan ekspresi kebingungan Ucup.     

"Oh, maaf, Juragan—"     

"Juragan?" kata Ucup menyela ucapanku dengan Paklik Sobirin.     

Aku langsung membusungkan dadaku, sembari menebas pakaianku. Mengikat kedua tanganku di belakang punggung, sambil melihat ke arah Ucup dengan sinis.     

"Oh, maaf, Mas Ucup. Saya perkenalkan, pemuda yang Mas Ucup bilang seseorang ndeso, dan kuno, ini adalah Juragan Arjuna Hendarmoko. Putra dari Juragan Nathan Hendarmoko. Yang artinya adalah, beliau adalah calon Juragan Besar penerus bisnis yang menguasai tanah Jawa ini."     

"Apa?!" kata Ucup setengah memekik.     

"Paklik kenal dengan pemuda kurapan ini? Yang wajahnya, ndhak jauh beda dengan pantat wajan Bulik Amah ini?" kataku kemudian, Paklik Sobirin pun mengangguk.     

"Kenal, Juragan. Mas Ucup ini adalah anak dari Pak Darto, mandor yang memegang perkebunan Juragan di Jakarta," jelas Paklik Sobirin.     

Kulirik wajah Ucup berkali-kali sambil setengah meledek, dia langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan peluh yang menetes dengan begitu derasnya.     

"Oh, jadi hanya anak mandor, toh. Tapi, tingkahnya seperti anak si pemilik perkebunan," sindirku lagi.     

Dia hendak bersuara namun aku langsung mengangkat tanganku. Nanti, berdebat dengannya nanti saja. Aku penasaran dengan keberadaan Paklik Sobirin. Sebenarnya ada apa?     

"Oh, Maaf..."     

"Ada apa Paklik mencariku?" tanyaku mengabaikannya.     

"Tampaknya Puri sedang berbuat ulah, Juragan. Dia mengancam mau bunuh diri kalau ndhak dinikahkan dengan Juragan,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.