JURAGAN ARJUNA

BAB 75



BAB 75

0Setelah Paklik Sobirin mengatakan itu, aku langsung melirik ke arah Ucup. Masalahku dengan pemuda buruk rupa ini belum selesai. Jadi, aku harus menyelesaikan sekarang sebelum aku kembali ke Kemuning.     
0

"Lantas, apa yang hendak kamu ucapkan sekarang? Aku mau mendengarnya," kubilang. "Oh, tidak... tidak, aku ubah pertanyaanku. Lantas, cacian dan hinaan apa lagi yang hendak kamu katakan kepadaku? Aku mau mendengarnya,"     

"Juragan, aku—"     

"Kenapa? Apakah nyalimu tiba-tiba menciut seperti kerupuk yang terkena air hanya karena kamu tahu jika aku adalah seorang Juragan Besar di Kemuning? Atau bahkan, nyalimu kini menciut karena rupanya Romo kebangganmu itu ndhak lain hanyalah menjadi dari salah satu abdiku saja? Ck! Anak seperti ini sombongnya luar biasa. Mbok ya sebelum sombong lihat-lihat dulu, bagaimana jerih payah orangtuamu untuk menafkahimu," kataku lagi. "Lagi pula, selama kamu belum bisa menghasilkan uang sendiri, bikin malu kalau kamu sombong. Sombong kok ngandalin harta orangtua. Memangnya nanti kamu menikah, kamu kamu kasih makan dengan keringat orangtuamu, istri dan anakmu itu!"     

Ucup langsung bersimpuh di bawah kakiku, membuat orang-orang yang berlalu-lalang di sana melihat ke arah kami. Sedikit memalukan, memang. Namun, aku cukup senang bisa mengerjai pemuda jelek ini di sini.     

"Juragan, sudilah Juragan untuk tidak mengadukan ucapan-ucapan busukku sedari kemarin kepada Ayah? Sebab jika Ayah tahu, aku pasti akan dikuliti dan ditendang dari rumah," mohonnya. Matanya tampak berkaca-kaca, aku baru tahu ada pemuda secemen dia.     

"Oh, bagaimana bisa aku tidak memberitahu ayahmu? Kamu sudah menghinaku dengan kata-kata sangat menyakitkan, lho! Bahkan kamu bilang aku tidak sanggup kuliah di Jurusan Kedokteran karena kuliah di jurusan itu sangatlah mahal...," sindirku lagi, Ucup kembali menunduk, sambil terus memegangi kaki dengan kedua tangannya yang tampak bergetar. "Bahkan, aku bisa membiayai kuliahmu sampai sepuluh kali masuk sampai lulus kalau kamu mau,"     

"Juragan, aku mohon—"     

"Paklik Sobirin, ayo pulang. Aku sudah ndhak betah lama-lama di sini. Seperti ada bau bangkai, yang menusuk-nusuk indera penciumanku."     

Setelah aku mengatakan itu, Manis lantas memukul lenganku. Matanya melotot, seolah aku harus menjaga ucapanku.     

"Jangan keterlaluan, Arjuna. Sedari tadi, aku sudah diam tatkala kamu membalas perkataan pedas Abang Ucup. Tapi makin ke sini, perkataanmu benar-benar ndhak mengenakkan hati. Biar bagaimanapun, dia itu ndhak tahu, toh, kalau kamu ini seorang Juragan. Terlebih mungkin, merasa tersaingi karena dia ingin dekat dengan perempuanyang rupanya sudah memiliki kekasih hati. Bisa endhak kamu maklum untuk hal-hal seperti itu?" katanya memperingatiku.     

Aku hanya menghela napas panjang, kemudian berjalan mendahului dua perempuan itu. Masuk ke dalam mobil, lalu kami melesat pergi. Ucup yang sedari tadi berlutut pun tapak berdiri, sambil menyeka air matanya, memandang kepergian mobilku sampai mobilku berbelok. Melihatnya seperti itu, kenapa hatiku kasihan juga? Seharusnya aku itu tega, tega yang konsisten, bukan malah tega tapi setelah melihat kesakitan orang aku jadi lemah dan ndhak berdaya. Ah, dasar aku ini. Laki-laki macam apa!     

Sesampainya di rumah keadaan memang benar-benar kacau, bahkan aku ndhak sempat untuk sekadar berkata kepada Biung jika aku sudah pulang.     

Puri tampak menyebabkan banyak kebingungan, dan semua orang panik karena ulah yang telah ia perbuat sekarang.     

Menurut Bulik Sari, dan Amah, beberapa hari ini Puri mengurung diri di kamar. Dan mengancam semua orang jika ndhak mendatangkanku secepat mungkin, dan merayuku agar mau menikahinya dia akan bunuh diri.     

Kuembuskan napasku yang terasa berat. Ini benar-benar menyebalkan, andaikan aku orang miskin apakah Puri akan bertindak seperti ini juga? Ya, pasti saja endhak. Aku sudah cukup tahu jawabannya, untuk apa kubertanya lagi.     

Padahal sudah berapa kali dia berusaha merayu, berapa kali aku juga telah menolaknya. Apakah dia ndhak punya cukup akal, dan pikiran untuk sekadar pergi dengan harga dirinya sebagai perempuan? Kenapa dia sampai menghancurkan martabatnya sendiri dengan cara seperti ini. Apa dia ndhak merasa malu, toh? Apa dia ndhak merasa menjadi perempuan yang ndhak ada gunanya? Gusti, bahkan membayangkannya saja aku sudah merasa jijik sekali.     

Aku hendak melangkah masuk ke kamar Puri, tapi tangan Manis menggenggamku erat-erat. Tampak jelas dari sorot matanya Manis ketakutan, mungkin takut jika hatiku nanti lemah dan menyetujui ide gila Puri.     

"Kamu tenanglah, aku ndhak akan menikah dengan siapa pun kecuali denganmu," kubilang. Yang berhasil membuat senyum Manis terukir di wajah ayunya. Bahkan aku telah berjuang sampai sejauh ini untuk mendapatkanmu, apakah kamu ndhak merasa yakin jika jiwa dan ragaku ini seutuhnya hanya milikmu?     

"Apa Bulik Ella ndhak ke sini, Bulik Amah?" tanyaku pada Bulik Amah yang saat ini ia tengaah ketakutan luar biasa, sambil kugaruk tengkukku yang ndhak gatal.     

Aku ini seorang Juragan lho, seharusnya ya kesibukanku mengurusi masalah pekerjaan, perkebunan, dan para abdi dalemku. Kok tak rasa-rasa sekarang aku bak lakon dalam wayang, yang pekerjaannya mengurusi masalah percintaan. Mana percintaannya ruwet, bin rumit pula! Gusti... Gusti, dosa apa, toh aku ini?     

"Sepertinya sebentar lagi akan datang ke sini, Juragan. Sedang dijemput oleh Junet," jelas Bulik Amah.     

"Bulik, kamu saja yang bercakap dengan Puri. Aku ini laki-laki, ndhak paham apa yang harus kukatakan kepada perawan yang merajuk mau kawin. Lagi pula, ini adalah kamar perempuan, rasanya ndhak beradab benar aku masuk ke dalam kamar perempuan yang bukan kamar Biung, atau kamar Rianti,"     

"Duh Gusti, Juragan Arjuna ini bagaimana, toh. Kan Ndoro Puri itu gandrungnya sama Juragan, kok ya saya yang disuruh bicara itu, lho. Ya ndhak bisa, toh!" kata Bulik Amah ndhak sabaran, sepertinya Bulik Amah takut jika Puri telah berbuat nekat karena aku seolah berlama-lama untuk menuntaskan kasus ini. "Lagi pula, ini adalah urusan yang mendesak. Ini urusan gawat, terlambat sedikit bisa bahaya, lho! Jadi ini pengecualian, ndhak apa-apa Juragan ke sana, masuk ke dalam untuk menghentikan ini semua, toh! Ayo, toh, Juragan! Ayo, tolong Ndoro Puri yang ada di dalam itu!"     

"Lagi pula, ya, Juragan. Laki-laki itu harus tegas, kalau Juragan ndhak bisa menolak sekarang, kapan lagi? Keburu Ndoro Puri semakin ngelunjak, lho," tambah Bulik Sari.     

"Benar seperti itu?" kutanya. Kedua Bulik itu mengangguk kuat-kuat. "Tapi sudah berkali-kali aku menolaknya, lho. Dianya saja yang keras kepala ndhak mau pergi. Masak iya aku yang disalahkan, toh?!"     

"Juragan! Masuk ndhak, toh! Jangan banyak ucap dulu! Bicaranya nanti saja!" teriak Bulik Amah, dan Bulik Sari hampir bersamaan. Lho... lho, bagaimana ini, bagaimana bisa aku malah dibentak-bentak oleh mereka, toh? Bisa-bisanya seorang Juragan yang terhormat dibentak oleh para abdi dalem, ini, lho! Untung saja, mereka adalah abdi dalem sekaligus kawan baik Biung, coba kalau endhak, sudah gugantung lehernya di jemuran belakang rumah karena telah membuatku kesal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.