JURAGAN ARJUNA

BAB 78



BAB 78

0"Dari situ saya berpikir, jika saat itu telah ada sosok laki-laki lain selain Juragan Adrian yang mencintai biungmu. Namun demikian, itu bukanlah alasanku. Semuanya saya lakukan sesuai perintah dari Juragan Besar Hendarmoko. Dan benar saja, apa yang dikatakan Juragan Adrian. Saya mendapatkan kabar kematian Juragan Adrian, tapi ndhak mendapatkan kabar kematian dari istrinya. Yang saya dapatkan adalah, kabar bahwa istrinya telah dinikahi oleh adik dari Juragan Adrian, dalam kondisi hamil besar, terlebih dia... gila."     
0

Napasku tersengal mendengar penuturan dari Suwoto. Ini benar-benar gila! Tapi, aku sendiri ndhak tahu harus bagaimana mencerna semuanya. Aku benar-benar ndhak tahu harus kuawali dari mana untuk menghadapi kenyataan yang benar-benar ndhak jelas ini. Ini benar-benar terlalu berat, terlalu membingungkan. Bagaimana bisa saudara kandung jatuh hati kepada satu perempuan yang sama.     

"Tapi saya harap, apa yang saya tuturkan ini ndhak akan menjadi benih dendam yang akan Juragan siram setiap hari. Karena saya ndhak mau, dendam terus berantai sampai ndhak memiliki titik ujungnya. Saya berkata seperti ini hanya karena ingin menyampaikan sebuah kenyataan, yang sedari dulu saya coba simpan dan telaah. Saya pun penasaran dengan pikiran saya apa benar apa endhak. Tapi, yang lalu biarlah berlalu," putus Suwoto. Sembari menasehatiku sambil terus menepuk-nepuk bahuku. Wajah seramnya pun tersenyum simpul membuatku ikut tersenyum karenanya.     

"Aku ndhak akan menganggap ini menjadi kebencian, Suwoto. Biar bagaimana pun, kedua orang itu adalah romoku terlepas dari bagaimana mereka hidup dulu. Terlebih, memilih pergi adalah pilihan yang diambil oleh Romo Adrian sendiri tanpa campur tangan siapa pun. Jadi, bagaimana bisa aku menjatuhkan amarahku kepada orang lain. Aku tahu, sejatinya itu adalah pilihan sulit juga. Tapi kurasa aku sedikit bisa membaca situasinya, sedikit membaca bagaimana isi hati dari romoku itu. Dan sekarang pilihan romoku benar, Biung sudah sangat bahagia dengan Romo Nathan. Jadi, biarlah mereka bahagia. Dan ndhak jodoh lama, mungkin itu kata yang tepat untuk Romo Adrian, dan Biung."     

Ya, benar. Aku sekarang paham, jika saat dulu posisiku ada pada Romo Adrian pasti aku akan melakukan hal yang sama. Jika kematianku bisa untuk memutus rantai dendam, dan menghentikan perang darah, pastilah keputusan itu akan kulakukan. Meskipun pada saat itu posisi Romo sedang memiliki istri yang begitu ia cintai. Terlebih istrinya tersebut sedang hamil besar. Namun seendhaknya, tatkala dia tahu jika ada seseorang yang mungkin bisa lebih baik melindungi istrinya lebih dari dia, maka semuanya ndhak akan pernah menjadi sebuah penyesalan. Yang ada, semuanya menjadi sebuah pengorbanan yang patut untuk dilaksanakan.     

"Benar, Juragan."     

"Sekarang aku adalah tuanmu. Jadi, kamu bisa berjanji kepadaku atas satu hal?" tanyaku lagi kepada Suwoto. "Berhenti mengikuti perintah yang kiranya di luar nalar manusia. Jika suatu saat aku memintamu untuk membunuh orang-orang terdekatku, kuharap kamu bisa menolak dan memintaku memberikan alasan yang masuk akal untuk itu," kataku pada akhirnya. Aku hanya ndhak mau, darah Hendarmoko yang mengalir pada tubuhku suatu saat bisa menjadi hal yang sangat merugikan orang banyak. Membuatku brutal dan melupakan akal sehatku sendiri. Aku hanya ingin seendhaknya ada satu orang yang tahu, dan mampi memperingatkanku tentang semua hal buruk yang mungkin terjadi. Dan menyadarkanku untuk kembali menjadi seorang Arjuna, bukan seorang dari trah Hendarmoko yang keji dan menyeramkan. Sebab bagaimanapun, hanya sekadar membayangkan saja, aku merinding. Kenapa aku harus lahir dari darah binatang seperti Eyang Kakun? Gusti, ini benar-benar menjijikkan.     

"Baik, Juragan."     

"Sekarang pergilah. Temani Paklik Junet untuk memeriksa para mandor di Berjo. Sebab kurasa, dari pada kamu kembali ke Banyuwangi, lebih baik kamu tinggal di sini, bersamaku, di sisiku. Agar seendhaknya aku memiliki benteng kuat untuk mengatur strategiku dalam menghadapi orang-orang busuk yang sedang mengincar, dan berniat untuk menghancurkan keluargaku. Perkara perkebunan di Banyuwangi, kamu bisa mengutus kerabat, atau orang kepercayaanmu untuk mengurusnya. Barang sekali dua kali dalam sebulan, kamu boleh meninjau, dan untuk menemui keluargamu."     

Setelah kepergian Suwoto, aku memutuskan untuk menemui Romo, dan Biung. Setibanya aku di Kemuning, bahkan aku belum sempat bercakap banyak dengan mereka. Ningrum datang menghampiriku, dan memaksaku untuk menemaninya semalaman kemarin. Mungkin dia rindu kepada orangtuanya, jadi dilampiaskan kepadaku.     

"Jadi, bagaimana, Ndhuk?" suara Romo terdengar seperti merayu Biung. Membuatku yang mau masuk ke ruang kerjanya pun memilih bersandar di ambang pintu. Menyaksikan yang tua-tua sedang memadu kasih sayang yang tampak lucu itu.     

Kugaruk alisku, ndhak bersuara adalah hal terbaik yang harus kulakukan. Sebab, nanti yang ada bukan mereka yang akan malu. Malah aku yang malu sendiri karena keromantisan mereka ini.     

"Bagaimana apanya, toh, Kangmas?" tanya Biung. Sambil menunduk malu-malu.     

Lihatlah tingkah mereka itu, seperti anak muda saja. Melihat Romo merayu Biung, terlebih sambil mengenggam kedua tangannya erat itu adalah hal yang sangat lucu. Senyumku kembali mengembang melihat pemandangan itu, terlebih tatkala mengingat ucapan dari Suwoto. Gusti, Romo Nathan aku benar-benar ndhak pernah tahu. Andaikan Biung tahu alasan kenapa Romo Adrian memilih untuk mengakhiri hidupnya, akan jadi apa hubungan kalian ini? Apakah keromantisan kalian akan tetap terjaga sampai usia kalian senja nanti? Atau apakah Biung syok dan menjauhi Romo Nathan? Gusti, bagaimanapun, rahasia ini tetaplah menjadi rahasia. Ndhak boleh ada satu orang pun yang tahu perkara ini selain aku dan Suwoto. Terlebih, orang-orang yang dengki, semuanya harus ndhak boleh tahu. Aku ndhak mau melihat kebahagiaan orangtuaku terancam hancur karena perkara masa lalu, yang ndhak bisa diperbaiki. Karena sejatinya, masa lalu hanya untuk dikenang, dan yang bisa dijalani adalah saat ini.     

"Anak-anak kita, susah benar disuruh menikah. Itu artinya, keinginan kita untuk memiliki cucu akan sangat lama terkabul. Dari pada kita menunggu mereka yang endhak jelas, bukankah lebih baik kita membuatnya sendiri?"     

"Maksud, Kangmas?" tanya Biung tampak kebingungan, dai menggeser duduknya, mengambil beberapa buku Romo dan menatanya.     

"Ayo kita buat banyak anak. Dengan seperti itu rumah kita pasti akan dipenuhi oleh anak kecil,"     

Aku nyaris tertawa mendengar rayuan Romo itu. Apa-apaan, bagaimana bisa Romo punya ide memberikanku adik lagi. Memangnya berapa usia mereka saat ini? Dasar!     

"Tapi, Kangmas, kamu tahu, toh, usiaku sudah ndhak memungkinkan lagi untuk memiliki anak. Bagaimana bisa aku akan melahirkan nanti?"     

"Ndhak ada yang ndhak mungkin, Ndhuk. Percayalah sama Kangmasmu yang bagusnya ndhak ketulungan ini. Jika kamu hamil nanti, kita bisa bertanya kepada dokter bagaimana melahirkan yang aman untukmu," bujuk Romo lagi. Biung terdiam, sepertinya Biung sedang menimbang-nimbang rayuan maut romoku itu. "Jadi, bagaimana? Ayo kita lebih rajin membuat adik untuk Arjuna, dan Rianti."     

"Tapi, bukankah kita sudah sangat rajin membuat adiknya, Kangmas?"     

"Kurang rajin. Buktinya ndhak jadi-jadi."     

"Tapi—"     

"Eh ehm!"     

Romo, dan Biung pun langsung melonjak kaget. Kemudian wajah ketus Romo ditampakkan sangat nyata kepadaku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.