JURAGAN ARJUNA

BAB 79



BAB 79

0Aku terkekeh melihat ekspresi lucu itu. Kemudian Romo memeluk Biung dengan begitu agresif.     
0

"Lho, Arjuna? Ada apa?" tanya Biung.     

"Sudah, ndhak usah kamu urusi. Dia ke sini karena iri. Karena ndhak bisa sayang-sayangan sama pasangannya. Kasihan, perjaka tua. Ndhak kawin-kawin," ledek Romo Nathan kepadaku.     

Aku langsung berjalan dan memeluk mereka dengan sangat erat. Rasanya benar-benar sangat nyaman, berada di antara mereka. Rasanya benar-benar sangat aman, seolah aku pasti akan baik-baik saja bersama dengan mereka.     

"Romo, Biung... aku mencintai kalian."     

*****     

Pagi ini agaknya lebih istimewa dari biasanya, karena Manis akan bertandang ke sini untuk mengurus beberapa hal dengan Romo, dan Biung. Setelah peristiwa kemarin, Manis harus kehilangan simbahnya, namun aku sama sekali ndhak menyesal jika tua bangka itu harus mati. Dan berakhir, kini Manis menempati rumah mungilnya itu sendiri. Sudah kukirim dua abdi dalem untuk menjaganya, sebab aku takut jika lelembut Minto akan bangkit lagi dan menggoda Manis. Biar aman saja.     

Aku sengaja berdiri di depan pintu kamar tidurku, barangkali nanti Manis akan lewat sini. Dan rupanya, apa yang kutunggu benar adanya. Manis tampak dengan cepat berjalan ke arahku. Seketika kutarik tangannya, kupeluk dia erat-erat tapi dia berusaha keras untuk melepaskannya.     

"Arjuna, nanti ada yang lihat ini, lho!" marahnya kepadaku. Yang terus saja menolak saat kucoba cium bibirnya.     

"Sedikit saja, mumpung ndhak ada orang," kubilang. Tapi Manis masih berusaha untuk menolak.     

Menutup mulutku dengan tas yang ia bawa, kemudian menginjak kakiku kencang-kencang.     

"Dasar mesum!" marahnya.     

"Ada pekerjaan penting apa, toh? Kenapa sampai ndhak mau ngesun aku dulu?" kutanya.     

Manis menghela napas panjang, kemudian dia bersedekap. Setelah itu dia tersenyum lebar dengan mata berbinarnya itu.     

"Kamu tahu, Juna... pakaian batik yang ada motif bordir, dan manik-maniknya itu sekarang memiliki banyak peminat. Dan tentu kita harus bekerja lebih giat lagi untuk memenuhi permintaan pasar. Dan lagi, tahun ajaran baru tahun depan, akan dibuka sekolah dasar di salah satu kampung yang ada di Ngargoyoso, kemungkinan tempatnya dekat dengan Kemuning. Jadi, anak-anak kalau ingin bersekolah ndhak perlu jauh-jauh ke Kecamatan lagi. Dan lagi, dan lagi...," katanya penuh antusias, aku tersenyum saja melihat dia seperti ini. Sebab Manis yang penuh semangat seperti ini adalah yang aku suka. "Juragan Nathan menyetujui ideku untuk membuka sebuah koperasi simpan pinjam di kampung kita. Dan ini menjadi salah satu terobosan yang bagus untuk warga kampung. Jadi mereka bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan meminjam di koperasi, dan bisa mengembalikan saat panen datang. Duh Gusti, aku benar-benar sudah ndhak sabar untuk melihat semua itu menjadi nyata. Dan sekarang aku akan pergi ke kota bersama Ndoro Larasati, dan Rianti untuk membeli mesin jahit, mesin bordir, dan beberapa bahan kain lainnya. Kamu tahu, Juna... dengan semua ini, maka perempuan-perempuan kampung yang ndhak sekolah, yang saat ndhak memetik daun teh di kebun, mereka bisa mengisi waktu mereka dengan melakukan sesuatu bermanfaat. Terlebih, bisa menghasilkan uang untuk keluarganya juga."     

"Wah, wah... calon Bu Dokter ini hebat benar. Dua jempol untuk calon istriku. Lantas, jika kamu sudah cukup semangat dengan banyaknya kegiatan di kampung ini. Berarti kamu ndhak usah kembali ke Jakarta, toh?" tanyaku lagi.     

Tapi, Manis tampak menggeleng, seolah jawabannya akan membuatku sangat kecewa. Tapi, tampaknya dia cukup tahu tentang aku. Lihatlah bagaimana dia merengkuh pinggangku, kemudian memandangku dengan tatapan lembutnya itu.     

"Justru aku sangat ingin bersekolah menjadi seorang Dokter. Karena ada satu hal yang belum dimiliki oleh Kampung ini jika benar semua hal itu sudah terwujud."     

"Apa?" tanyaku dengan nada sok ketus.     

"Klinik kesehatan...," Manis bilang, dan itu berhasil membuatku terdiam. "Kamu tahu, Juna. Bagi warga kampung yang mayotitas ekonomi menengah ke bawah, kamu sempat memerhatikan, ndhak? Jika tatkala mereka sakit, mereka lebih memilih berdiam diri di rumah sampai sakitnya sembuh, atau kalau ndhak begitu, mereka akan memilih meminum jamu. Ndhak ada yang bisa memeriksakan diri mereka ke mantri atau bidan untuk mendapatkan perawatan. Karena bagi mereka, dari pada uang dibuang untuk periksa, lebih baik digunakan untuk makan. Jadi banyak sekali warga kampung yang bahkan ndhak paham dengan penyakit mereka sendiri. Mereka hanya pasrah, jika waktunya mati, mereka akan mati. Jadi, aku memiliki cita-cita ingin membuat sebuah klinik di kampung ini. Klinik gratis untuk warga kampung yang ndhak mampu. Agar mereka bisa mendapatkan perawatan kesehatan, di samping mereka mengandalkan jamu-jamuan, dukun pijat, dan lain sebagainya. Bukankah itu menjadi salah satu alternatif yang sangat bagus, Arjuna? Bisa membantu mereka yang membutuhkan kita."     

Kupeluk erat Manis, kemudian kucium puncak kepalanya. Dia benar-benar seperti Biung, memiliki pemikirannya sendiri untuk maju sebagai seorang perempuan.     

"Aku bangga denganmu, Ndhuk," kubilang.     

Manis tampak menangis, matanya yang berair itu memandangku dengan pandangan teduhnya itu.     

"Kamu tahu, Arjuna, aku ndhak ingin anak-anak kecil di kampung ini memiliki nasib yang sama sepertiku. Aku ingin seendhaknya, mereka bisa bahagia. Bisa makan tiga kali sehari, dan bisa menghabiskan masa kecilnya dengan suka cita. Kamu tahu, dulu waktu aku kecil, tatkala aku sedang diajak Simbah untuk mencari kayu bakar di hutan, aku saat itu tengah kelaparan. Sebab sedari sore Simbah ndhak memasak apa-apa. Karena aku terus merengek meminta makan, akhirnya aku diambilkan buah mengkudu yang masak, disuruh makan sampai perutku kenyang, untuk kemudian aku ketiduran di bawah pohon mengkudu itu. Jadi, aku ndhak mau mereka susah sepertiku. Aku ingin mereka, meski nasi gaplek, tapi mereka bisa makan dengan leluasa. Tanpa berpikir jika hari ini orangtuanya ndhak ada uang untuk membeli lauk, dan gaplek. Tanpa berpikir jika nanti siang mereka akan makan apa."     

"Aku doakan, semoga usaha dan cita-cita calon istriku ini terkabul, ya."     

"Terimakasih, Arjuna."     

Kukerutkan keningku tatkala ia memanggil namaku seperti itu. Dan itu berhasil membuatnya ikut mengerutkan kening. Saat dia hendak melepaskan pelukkannya, kutahan tubuhnya yang hendak mundur dengan tanganku.     

"Aku mau pergi menemui Ndoro Larasati."     

"Kamu tadi bilang apa?"     

"Apa?"     

"Sebelum ini."     

"Mau menemui Ndoro Larasati?"     

"Sebelumnya lagi."     

"Terimakasih, Arjuna?" katanya ragu-ragu.     

"Arjuna, kamu memanggilku Arjuna?" tanyaku, sambil menarik-turunkan alisku.     

"Lantas, harus kupanggil apa? Bagong? Petruk? Apa Semar?"     

Aku berdecak mendengar jawabannya yang benar-benar menyebalkan itu. Apa dia ndhak paham, toh, dengan apa yang kumaksudkan.     

Belum sempat aku marah, aku tertegun saat Manis mengecup bibirku. Setelah itu dia langsung menjauh dariku sambil setengah berlari.     

"Terimakasih, Sayang!" katanya, dengan tanpa mengeluarkan suara.     

Manis,awas saja, kamu telah berhasil menggodaku. Maka lain kali, aku ndhak akanpernah melepaskanmu lagi. Aku berjanji untuk itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.