JURAGAN ARJUNA

BAB 87



BAB 87

0"Jadi kamu akan segera menikahi Manis?" tanya Romo Nathan, dengan senyum yang dikulum seolah apa yang baru saja kukatakan adalah sesuatu yang lucu baginya. Setengah alisnya terangkat, menandakan jika dia tampak ragu-ragu denganku tatkala ia melayangkan pertanyaan itu.     
0

Aku mengangguk, sambil kukerutkan keningku. Memandang bagaimana mimik wajah Biung saat ini. Apakah dia bahagia mendengar berita anak laki-lakinya akan segera meminang seorang perempuan? Atau malah sebaiknya.     

Wajahnya tampak berseri, dan itu sudah sangat jelas untukku tahu jika Biung sangat bahagia mendengar berita ini. Biung, aku tahu karena dia adalah biungku. Terlebih, gestur tubuhnya yang kentara itu pasti dengan mudah ditebak oleh semua orang.     

"Oh salah, tapi Manis yang hendak menikahimu...," lanjut Romo, aku langsung melihat ke arahnya, kemudian dia tertawa dengan sangat kencang. "Duh Gusti, bikin malu sekali anak laki-lakiku ini. Bagaimana bisa anak kacrut ini dipinang oleh perempuan. Sungguh memalukan," Romo Nathan kembali tertawa, sepertinya mengolok-olokku adalah hal yang menyenangkan hatinya. "Aku benar-benar geli, sampai semua buluku berdiri semua ini, lho. Membayangkan betapa jengkelnya Manis, terlalu lama menunggu. Tapi yang ditunggu rupanya adalah pemuda dungu. Diam saja seperti orang bisu, ndhak ada sedikit pun pergerakan maju. Sampai-sampai, Manis harus mengorbankan harga dirinya yang terhormat sebagai seorang perempuan, dan rela mengambil keputusan untuk meminang pemuda yang ndhak ada urat malunya itu."     

Sudah kutebak, pasti laki-laki tua itu akan mengatakan hal semacam ini. Bahkan menjatuhkan anaknya, adalah hal yang sangat membahagiakan baginya. Menyebalkan benar. Untung dia romoku, kalau endhak sudah kupites-pites pasti. Ah, Romo... karena ucapanmu yang pedas itu, kini malah menurun ke anak-anakmu. Tanggung jawab sedikitlah, dan jangan menambah beban dengan menambah merica ke dalam perkataanmu yang sudah penuh dengan cabai itu.     

"Cinta itu bukan perkara siapa yang melamar duluan. Tapi, siap apa endhak keduanya menuju pelaminan. Dan aku siap untuk itu," ketusku. Lagi, Romo kembali tertawa. Sepertinya apa yang telah keluar dari mulutku itu adalahs sesuatu yang sangat lucu di telinganya.     

"Dan hanya laki-laki banci yang ndhak berani melamar kekasih hati menuju jenjang hubungan yang lebih serius lagi."     

"Romo---"     

"Sudah, sudah... kalian ini apa-apaan, toh? Ribut saja, lho kerjaannya...," Biung mencoba menengahi, agar kami ndhak debat lagi. "Lagi pula Kangmas ini bagaimana, toh, anak ndhak kawin-kawin diejek, anak mau kawin juga diejek. Senang benar ngajak ribut itu lho. Seharusnya Kangmas itu memberi selamat, ikut berbahagia karena sebentar lagi kita akan mantu."     

Nah, jadi orangtua itu mbok ya seperti Biung, toh. Bosa ngemong, bisa bersikap dewasa layaknya orangtua. Bukan seperti romoku ini, yang ndhak memberi semangat untukku maju. Malah seperti musuh bebuyutanku yang mengharapkan kekalahanku.     

"Nah setuju apa kata Biung. Romo ini benar-benar ndhak setia kawan," cibirku. "Kok ya ada, orangtua seperti Romo. Yang ndhak malah bahagia tatkala anaknya mau menikah, malah dihina-hina. Sepertinya, Romo ini punya dendam kesumat kepadaku, toh. Itu sebabnya dia begitu gemar meledekku."     

"Sini, Ndhuk... sini,"     

Aku lantas menoleh, tatkala Romo memanggil seseorang. Dan orang itu yang ia panggil adalah Manis. Manis malu-malu mendekat ke arah Romo, kemudian ia tampak duduk dengan sungkan.     

Aku curiga, jika Romo akan mengatakan hal yang bukan-bukan kepada Manis. Pasti itu, apa lagi kalau endhak mau meledekku lagi, di depan calon istriku sendiri!     

"Ada apa, Juragan?" tanyanya, berjalan masuk ke ruang kerja Romo. Mendekat ke arah kami. Kupandang dari ujung kaki sampai ujung kepala, aku senyum sendiri. Ini toh calon istriku. Dari sekian banyak perempuan yang pernah kutemui di seluruh hidupku, aku benar-benar ndhak nyangka jika jodohku adalah Manis. Lantas kenapa dulu aku harus berputar-putar dulu? Jika saja aku tahu kalau jodohku sedekat ini, pastilah sedari dulu sudah kulindungi. Benar memang, jika jodoh itu ndhak ada yang tahu. Bisa jadi yang tedekat dengan kita, atau malah kita ndhak kenal sama sekali sebelumnya. Bukankah, jodoh itu perkara yang sangat lucu?     

Aku mengerjap-kerjapkan mata tatkala Manis memiringkan wajahnya, melihat ke arahku yang sedari tadi tersenyum sambil memandangnya. Aku langsung membuang pandangan, kemudian pura-pura ndhak melihatnya sama sekali. Sambil kugaruk tengkukku yang mendadak gatal. Begini, toh rasanya malu itu. Terlebih kepergok memandangi orang yang begitu kita cinta. Gusti, jujur, rasanya malu. Tapi malu-malu yang membuat dadaku kembang-kempis dibuatnya.     

"Ndhak usah panggil Juragan...," kata Romo, mempersilakan Manis untuk duduk di samping Biung. "Panggil aku Romo, kamu, kan akan jadi mantuku," lanjutnya. Setuju! Sepertinya ini akan menjadi percakapan yang serius.     

"Iya...," kata Manis sempat menggantung. Sepertinya, suaranya tertahan di tenggorokan. "Romo," lanjutnya. Dengan gurat merah jambu yang tampak nyata di kedua pipinya. Lagi, hal itu membuatku ingin tertawa, rasanya ingin kupeluk saja dia, dan mengabaikan Romo, dan Biung yang saat ini tengah duduk di antara kami. Manis, aku sudah ndhak sabar untuk mencumbumu, aku benar-benar sudah ndhak sabar untuk itu. Terlebih melihat tingkah malu-malumu seperti ini. Sungguh, kamu telah membuatku jatuh hati berkali-kali.     

"Ohya, Ndhuk, perkara pernikahan. Apa kamu ndhak keberatan jika dilaksanakan lusa?" tanya Biung.     

"Lusa?" tanyaku. Lusa, berarti setelah besok? Apa ndhak terlalu cepat? Kok lusa itu, lho? Aku toh belum menyiapkan apa pun. Minggu depan, bulan depan, itu masih perkara wajar. Tapi kalau lusa? Gusti, aku benar-benar ndhak tahu apa yang harus aku lakukan. Antara bahagia, bingung, gugup, dan semuanya seolah bercampur menjadi satu. Dan semua rasa itu begitu mengharu-biru.     

"Lusa, Biung?" tanya Manis, yang tampaknya juga ikut bingung. Benar-benar orangtua ini, paling pandai memutuskan suatu perkara seenak jidatnya sendiri.     

Biung menggenggam kedua tangan Manis, kemudian dia tampak tersenyum, "iya, lusa. Ndhak apa-apa, toh? Sebenarnya, Romo, dan Biung telah mencari orang pinter dari sebulan yang lalu, untuk mencocokkan weton kalian, dan mencari hari yang tepat untuk melangsungkan pernikahan kalian. Dan lusa, adalah harinya. Kalau ndhak lusa, ada lagi pilihan yaitu tahun depan. Bagaimana, terserah kalian, lho, ini," kata Biung menerangkan, aku langsung menelan ludahku dengan susah, tatkala tahu jika pilihan lainnya adalah bulan depan. Walah, bahaya ini, bakal lebih lama. Lama-lama karatan juga pusakaku yang satu ini karena ndhak kawin-kawin.     

"Lusa saja!" jawabku, dan Manis bersamaan.     

Aku dan Manis langsung saling pandang, seolah kami tengah melakukan perdebatan batin. Ya, jawaban yang sama tanpa adanya kesepakatan antara kami berdua ini benar-benar di luar kebiasaan kami. Biasanya, dia akan membantah, memilih jawaban lain dariku. Atau malah jika dia setuju, yang dia lakukan adalah diam, atau menjawab dengan kata terserah. Aku tersenyum, sembari memandang ke arah Manis lekat-lekat, pandanganku terus melihat bola matanya yang tampak bulat, dan itu berhasil membuat Romo langsung memukul kepalaku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.