JURAGAN ARJUNA

BAB 88



BAB 88

0"Semangat benar bocah bedugul satu ini!" katanya, melotot ke arahku seolah-olah ia hendak memakanku hidup-hidup. "Apa manukmu itu sudah gatal ingin kelon, iya? Makanya ndhak sabar menunggu tahun depan?" lanjutnya.     
0

"Manukku bakal karatan, Romo!" gerutuku. "Lagi pula, apa Romo ndhak pingin, toh, cepat-cepat menimang cucu. Kok ya hobi benar itu, lho, membuat kesal anaknya sendiri. Apalagi, Manis juga sudah setuju kalau pernikahannya itu lusa,"     

"Tapi, apa boleh aku meminta sesuatu kepada kalian?" Manis kembali bersuara, sambil menebarkan pandangannya kepada kami. "Bisa ndhak kalau acaranya sederhana saja? Maksudku, hanya untuk keluarga saja? Bagaimana, ya, Romo, Biung... aku ini sudah ndhak punya siapa-siapa lagi, terlebih aku seorang janda. Libur kuliahku pun sangat singkat, jika acaranya dilakukan meriah, aku benar-benar khawatir dengan perkara yang lainnya,"     

"Kita akan lakukan acara pernikahan seperti kemauanmu, Ndhuk," kubilang. Aku tahu tentang apa yang dirisaukan perempuan manis ini. Terlebih, desas-desusnya di kampung baru saja surut. Biarlah pernikahan kami menjadi pernikahan yang sederhana, aku ndhak apa-apa. Yang terpenting berlangsung lancar, khidmat, dan sah! "Jadi bagaimana, apakah Romo, dan Biung setuju?" tanyaku kepada orangtuaku yang kini tampak terdiam, kemudian keduanya tersenyum, dan mengangguk. Pertanya jika mereka menyetujui ide kami.     

"Nanti pernikahan Rianti, buatlah semeriah, dan semewah yang kalian inginkan," imbuhku lagi. Iya, entah karena aku ini adalah laki-laki itu sebabnya aku selalu menginginkan sesuatu yang sederhana, dan praktis. Maka dari itu aku ndhak mau sesuatu yang terlalu ruwet. Yang penting sah, yang penting kami akhirnya menikah. Itu sudah lebih dari cukup dari pada harus melakukan ini itu yang ndhak perlu.     

Kurasa semua orangtua di dunia ini menginginkan seperti itu. Tatkala anak-anak mereka menikah, mereka bisa melakukan sesuatu untuk anaknya sebagai hadiah terakhir sebelum anak mereka menjadi seorang suami atau istri dari seseorang. Mengadakan sebuah resepsi pernikahan paling bagus, dan paling meriah yang pernah ada. Itu adalah kebanggan sendiri bagi orangtua. Apa aku benar untuk itu? Atau malah aku salah? Ohnya, kurasa satu lagi, pihak laki-laki memberikan yang terbaik untuk calon istrinya, kurasa itu adalah poin utama. Benar? Jika benar kalian hanya perlu menjawabnya dalam hati, pun jika ndhak benar. Lebih, lebih kalau kalian ingin mengutarakan pendapat kalian. Ndhak ada yang salah sama sekali, semuanya adalah sah!     

*****     

"Paklik Sobirin, Paklik Junet, boleh aku minta tolong?" kupanggil kedua Paklik itu yang tadi hampir ikut sibuk dengan beberapa persiapan karena orangtuaku.     

Katanya ini adalah sebuah acara yang sederhana, tapi lihat saja. Rupanya, Romo, dan Biung sudah menyiapkan semuanya. Semua peralatan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pernikahan, bahkan jajanan-jajanan segala rupa sudah ada hari ini. Dan sudah siap dikirim semua ke rumah Manis. Benar-benar, sejak kapan mereka menyiapkan itu? Kurasa setelah mereka mendapatkan hari baik, mereka telah secara diam-diam membeli, dan menyiapkan semuanya dan disembunyikan di gudang samping rumah. Dan lihatlah Biung, tampak bahagia benar. Bahkan dia sendiri yang harus repot-repot mengurus beberapa perkara apa saja yang harus disiapkan. Kurasa empat kereta kerbau ndhak akan cukup untuk mengangkut semua barang ini. Padahal Manis itu tinggal sendiri. Terus siapa yang disuruh untuk memakan semua makanan-makanan ini? Dan setelah menikah pun, Manis akan tinggal di sini. Lantas, siapa yang akan disuruh untuk memakai semua peralatan rumah beserta dipan, dan kasurnya ini? Dasar, Biung, dan Romo. Atau, nanti lelembut Simbah Manis yang akan mengenakan peralatan ini semua? Jika iya, lebih baik malam hari setelah pernikahan baiknya rumah Manis aku bakar saja, agar ndhak dipakai oleh lelembut dari Simbah Manis. Meski hanya lelembut, aku tetap ndhak rela jika apa yang telah orangtuaku belikan kepada Manis, dipakai juga oleh lelembut Simbah itu.     

"Juragan!" kata Paklik Sobirin dengan nada sedikit tinggi.     

Aku langsung kaget, lupa, jika tadi aku memanggilnya. "Ohya...," kubilang. "Kalian bisa bagikan sekarung gaplek, sekarung jagung, dan sekarung beras ke seluruh simbah, janda, dan anak yatim yang ada di Kemuning, dan Berjo?" pintaku.     

"Bisa, Juragan," jawab Paklik Sobirin.     

"Untuk apa, Jun? Banyak benar. Setiap orang dapat masing-masing sekarung. Apa kamu hendak hajatan?" tanya Paklik Junet tampak bingung.     

"Sebagai ganti atas perayaan pernikahanku yang gagal. Maka lebih baik, bukankah kubagi kebahagiaan dengan mereka dengan ini? Kalau hal semacam ini, kan, ndhak akan mubazir, mereka bisa menyimpan, dan memakannya sampai waktu paceklik tiba. Mereka ndhak akan kekurangan bahan pangan apa pun, toh. Ohya, Paklik Junet, bawa pulang juga beberapa karung beras untuk persediaan Simbah Romelah. Sekalian, jemput ke sini untuk membantu Biung. Sepertinya, biungku benar-benar sedang sibuk, sekarang."     

"Laksanakan, Juragan!" ledek Paklik Junet.     

Dasar mereka ini, sedari kemarin tampaknya bahagia benar mereka menggodaku. Atau malah mereka turut bahagia karena besok adalah hari bahagia untukku? Aku tersenyum melihat mereka semua. Seolah kebahagiaanku ini ikut dirasakan juga oleh mereka. Gusti, salah satu kebahagiaan memiliki seorang kawan baik ya seperti ini, mereka akan bahagia tatkala kita bahagia. Mereka seolah merasakan apa yang kita rasakan sekarang. Dan perlu diketahui lebih dari itu adalah, dalam mencari kawan sejati itu endhak akan mudah. Sebab kebanyakan, mereka berteman dengan kita tatkala ada maunya saja. Atau kalau ndhak begitu, mereka hanya bermanis-manis kepada kita di depan kita saja. Namun di belakang? Semua keburukan-keburukan kita diumbar dengan orang lain dengan begitu nyata. Apakah, kalian sering memiliki teman macam itu? Jadi, beruntunglah tatkala kalian memiliki kawan karib, sebab yang seperti itu, akan lebih mahal dari perhiasan apa pun di dunia ini.     

"Arjuna...," aku menoleh, melihat Romo sudah berdiri di ambang pintu. Seolah ingin menyuruhku untuk mendekat kepadanya. "Ikut Romo sebentar," titahnya.     

Kuikuti langkah pergi Romo, ternyata ia membawaku ke kamarnya. Aku pun masuk, pelan-pelan. Sungkan juga rupanya jika sebesar ini harus masuk ke kamar orangtua sendiri. Bahkan, aku sampai lupa kapan terakhir aku masuk ke sini. Oh, kira-kira waktu Biung sakit dulu.     

Di atas dipan sudah ada beberapa barang, yang diletakkan dengan sangat apik. Seolah-olah memang telah disiapkan oleh siempunya.     

"Ini, ambilah, untukmu," kata Romo. Sambil menunjuk seperangkat surjan, selop, beserta blangkonnya. Warnanya hitam pekat, dengan aksen naga berwarna emas di bagian dada kanan dan kirinya. Terlihat sangat mewah, dan aku baru tahu jika Romo memiliki benda semacam ini. Sementara bagian jariknya yang bermotifkan naga, ada jahitan-jahitan timbul berwarna keemasan, sangat indah, dan begitu mewah. Aku tebak, harga pakaian ini endhaklah murah. "Ini adalah milik Kangmas Adrian, benda berharga turun temurun yang sengaja ia siapkan untukmu. Putra semata wayangnya,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.