JURAGAN ARJUNA

BAB 89



BAB 89

0"Ini...." kataku terhenti, aku tergugu melihat apa yang ada di depanku. Aku mendekat, meraba benda-benda yang ada di sana. Seketika, bayangan sosok yang kulihat di pagar rumah waktu itu kembali lagi, dan sosok itu tampak masih sama. Tersenyum dengan begitu ramah ke arahku, seolah hendak mengucapkan selamat atas pernikahanku. Dan tanpa intruksi, air mataku hendak menetes begitu saja di pipi, aku sama sekali ndhak menyangka, bahkan hanya sekadar bayangan yang tertangkap tatkala mataku terpejam, akan menyentuh hatiku sampai sedalam ini, akan menghatkan hatiku sampai seperti ini. Hingga akhirnya, semua bayangan itu meyakinkanku bahwa, yang kulihat itu adalah, Romo. Ya, romoku. Romo Adrian Hendarmoko.     
0

"Iya, ini adalah surjan kebesarannya. Yang dulu sering ia gunakan saat menghadiri acara-acara besar. Kangmas Adrian sudah menyiapkan ini untuk putranya sedari lama. Dan syukurlah, dia benar-benar memiliki keturunan seorang putra. Sesuai dengan harapannya. Dan sekarang kuserahkan ini untukmu, pakai jika perlu, dan jagalah mereka baik-baik seperti halnya kamu menjaga nyawamu," jelas Romo Nathan, aku tersenyum simpul setelah mengusap ujung mataku, kemudian kuangkat surjan yang ada di sana, sembari kuamati dengan seksama. "Kamu tahu, siapa yang telah menjahit pakaian itu? Dan siapa yang telah menyulamnya? Bahkan, sulaman-sulaman itu adalah benar emas murni, yang sengaja dijadikan sebagai hiasan untuk memperindah dari surjan itu. Satu-satunya pakaian, yang ndhak ada duanya di tanah Jawa, satu-satunya pakaian yang dibuat oleh Eyang Putrimu dengan kedua tangannya sendiri, sebelum Eyang Putrimu dipasung, dan dituduh sebagai seorang perempuan yang ndhak waras. Di dalam surjan itu ada tanda cinta, ada tanda kasih, dan ada nyawa. Semuanya bercampur jadi satu, mungkin itulah yang membuat surjan itu tampak hidup, dan memiliki nyawanya sendiri. Jadi, simpanlah, simpanlah dengan baik, Arjuna. Untuk mengenang dua sosok yang sangat menyanyangimu yang kini sudah ndhak ada."     

"Iya, Romo. Sepertinya, Romo Adrian adalah laki-laki yang menyukai surjan," kataku, melihat jika ada satu lemari di kamar Biung, yang ndhak sengaja kubuka waktu dulu, dan lemari itu penuh sekali dengan berbagai macam surjan. Bahkan kemeja pun, hanya ada barang satu, atau dua saja. Benar-benar bisa dihitung dengan jari.     

Romo Nathan mengangguk, kemudian dia tersenyum tipis, "memang benar apa yang kamu bilang," katanya. "Malah-malah di dalam almarinya, hampir ndhak ada kemeja. Hanya beberapa. Kebanyakan ya surjan itu," jawabnya lagi. Benar, toh, tebakanku. Ndhak ada yang keliru.     

Aku tersenyum sendiri mendengar jawaban dari Romo Nathan. Iya aku tahu, jika Romo Adrian adalah jenis laki-laki zaman dahulu. Tapi kurasa, meski sekarang masih hidup pun akan sama. Sebab aku yakin, romoku itu memiliki sifat yang kolot perihal masalah budaya.     

"Jadilah suami yang baik, Arjuna. Setelah ini kamu bukan lagi anak dari seseorang. Malainkan suami dari seseorang. Terlebih, kamu juga telah memiliki Ningrum. Anak angkatmu. Tanggung jawabmu besar. Jadi, sekarang ubah pola pikirmu. Jangan tergantung dengan Romo, dan Biung lagi. Apa kamu paham?"     

"Paham, Romo," jawabku.     

Kemudian Romo Nathan memelukku, tubuhnya bergetar. Dan jujur, ini benar-benar membuat hatiku menjadi sentimentil. Suasana macam ini, adalah suasana yang benar-benar menggoyahkan ketegaranku sebagai seorang laki-laki, dan seolah membuatku dipaksa ditarik untuk menjadi seorang anak kecil, yang akan menangis meraung, tatkala diwejangi oleh orangtuanya.     

"Anak laki-laki Romo, ndhak terasa sudah dewasa. Ndhak terasa sudah akan menikah," katanya.     

Kuelus lembut punggung Romo Nathan. Rasanya benar-benar seperti akan berpisah jauh saja. Rasanya benar-benar membuatku terharu. Jika nanti Biung ingin berbicara denganku berdua, maka aku ndhak akan mau! Aku ndhak mau merasakan perasaan seperti ini dengan Biung. Sebab bagaimana pun, aku adalah anak laki-lakinya Biung.     

"Ah, laki-laki tua ini. Meskipun anak paling bagusmu sedunia ini telah menikah, telah memiliki banyak anak, bukankan dia masih akan tetap di sini? Bersamamu, dan menghabiskan sisah hidupnya denganmu? Bahkan, kalau putra tersayangmu nanti memiliki banyak anak, maka kamu akan mendapatkan banyak cucu, Romo. Rumah kita akan ramai, toh?" godaku. Meski pun aku tersenyum, entah kenapa air mata bodoh ini mengalir dengan cara yang ndhak sopan.     

"Dasar anak kurang ajar!" ujarnya. Memukul bahuku kemudian mengusap air matanya dengan lengan bajunya. "Ya sudah, pergi sana! Air mataku yang berharga ini harus jatuh sia-sia gara-gara anak ndhak tau diuntung sepertimu,"     

*****     

Malam ini adalah malam yang mendebarkan. Malam terakhirku sebagai seorang perjaka, dan kalau diingat-ingat itu adalah hal yang lucu sekali. Terlebih saat ini, bagaimana bisa aku sudah berada di sini. Berdiri di depan jendela kamar Manis. Seperti yang kulakukan dulu, saat pernikahannya dengan Minto waktu itu. Omong-omong soal Minto, kurang ajar benar. Bahkan aku emosi dengan orang yang sudah mati.     

"Arjuna?!" aku langsung menoleh, saat suara itu mengejutkanku. Manis memandangku dengan mata bundarnya itu. Hidung mungilnya tampak memerah, selaras dengan kedua daun telinganya. Angin sepoi malam ini memang agaknya sangat dingin, lebih dingin dari biasanya karena telah memasuki musim kemarau. "Sedang apa kamu di sini? Besok adalah hari pernikahan kita, dan kamu malah di sini!" marahnya kepadaku.     

Aku pun bertopang dagu, memandangnya yang sedang marah. Menikmati wajah cantiknya tatkala tampak kemerahan seperti itu.     

"Aku sedang ingin menangkap bintang untukmu. Makanya aku datang ke sini," kubilang. Masih sambil memandang wajahnya.     

"Di mana, toh? Di langit?" dia tanya.     

"Bukan," kubilang.     

"Lantas?"     

"Itu...," dia tampak mengerutkan keningnya, kemudian mencari-cari sesuatu. "Itu bintangnya ada di dalam matamu," godaku.     

Dia langsung mencibir, tapi mulut mungilnya tampak jelas menyunggingkan seulas senyum.     

"Dasar, pandai benar kamu merayu,"     

"Aku Arjuna, pangeran cinta! Mencintaimu saja aku mampu, apalagi hanya perkara merayu," percaya diriku.     

Lagi, dia tampak tersenyum. Kemudian dia duduk membelakangiku, sambil membelai-belai rambut panjangnya.     

"Besok kita akan menikah...," dia bilang, seulas senyum itu kembali tampak nyata, tatkala ia mencuri pandang ke arahku. "Aku masih ndhak menyangka," lanjutnya kemudian.     

"Besok kita akan menikah...," kataku kemudian, dia menarik sebelah alisnya. "Dan kurasa aku akan mati karena saking bahagianya,"     

Dia langsung menutup mulutku dengan jari telunjuknya, kemudian matanya melotot seolah memperingati.     

"Ndhak boleh bicara buruk di saat kita sedang menanti hari bahagia. Ndhak baik," marahnya.     

"Maaf, calon istrinya Arjuna,"     

Dia langsung menutup wajahku dengan tangan mungilnya, sepertinya dia ndhak ingin aku melihat saat wajahnya menjadi lebih merah dari sebelumnya.     

"Arjuna, jangan membuatku malu!"     

"Apa? I love you?"     

"Arjuna!"     

"Manis, kamu sedang apa? Cepatlah tidur, besok kamu harus bangun pagi, lho!" teriak seseorang yang aku ndhak tahu siapa. Tapi mampu membuatku, dan Manis menoleh ke asal suara.     

"Iya, Bulik!"     

"Bicara sama siapa, toh, kamu ini?" tanyanya, dan suara itu tampak semakin mendekat.     

"Endhak, Bulik! Ini, lho... kucing!" kata Manis lagi. Memaksaku untuk segera pergi, dan berusaha untuk menutup jendela kamarnya, tapi kutahan.     

"Meong!" cicitku. Manis kembali melotot.     

"Hust! Cing, pergi sana!" katanya, sambil mengulum senyum.     

"Meong, kucingnya minta sun!"     

"Arjuna!" kesalnya.     

Aku langsung menarik tubuhku, kemudian melihatnya melambaikan tangannya kepadaku. Begini saja, aku sudah bahagia, apalagi besok.     

"Dah! Calon suami!" katanya setengah berbisik.     

Dan hal itu berhasil membuatku kembali mendekat ke arahnya, membuka paksa jendela yang dia pegang hendak ditutup rapat-rapat. Kukecup sekilas bibir mungilnya, kemudian kubisikkan kalimat, "dah! Calon istriku. Aku mencintaimu."     

Dia tampak tediam dengan keterkejutannya itu. Aku pun memilih segera pergi dari sana, sebelum seorang Bulik muncul dari jendela itu. Ikut memandang arah pandang Manis. Setelah menegur Manis, jendela itu pun ditutup rapat-rapat dari dalam. Dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.     

Dadah, calon istriku! Tunggu besok, sampai kamu sah menjadi milikku. Milik Arjuna Hendarmoko yang seutuhnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.