JURAGAN ARJUNA

BAB 93



BAB 93

0"Apa ndhak bisa besok fajar saja, toh? Ini malam, lho! Lagi pula, Bibikmu Rianti mana? Dia cukup cerdas untuk mengerjakan tugasmu. Lebih... lebih, hari ini, kan hari pernikahan orangtuamu. Kamu bisa izin ndhak usah masuk sekolah sekalian besok," kataku mencari alasan sebaik mungkin yang kiranya bisa diterima oleh akal sehat Manis, dan Ningrum. Terlebih, Ningrum, ndhak enak juga aku membuatnya merasa ditolak olehku sendiri seperti ini.     
0

Ningum hanya merengut, kemudian dia mengikuti langkah Manis. Duduk di depan meja persegi panjang yang letaknya di samping dipan. Aku sudah ndhak bisa apa-apa lagi, tamat, tewas, usai, dan benar-benar pusakaku ini jadi lumutan sekarang. Kuhelakan napasku, sembari memandang keduanya yang tampaknya sudah melupakan keberadaanku. Dasar mereka berdua ini, untung sayang. Coba kalau endhak, sudah kumarahi keduanya dengan cara terang-terangan.     

"Hari ini aku sudah ndhak masuk sekolah, besok ada ulangan, Romo. Bibik Rianti ndhak bisa," rupanya, Ningrum baru membalasi ucapanku, setelah tadi kediamannya yang cukup lama.     

"Eyang Kakung, dan Eyang Putrimu lulusan sarjana. Mereka pinter-pinter," kataku lagi. "Bahkan keduanya selalu mendapatkan juara satu tatkala mereka sekolah dulu. Jadi Romo rasa, mereka akan jauh lebih jago kalau hanya sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan ini."     

"Katanya mereka sudah pikun. Sudah ndhak sanggup mikir pelajaran sekolah zaman dulu,"     

Kuembuskan napas beratku. Rupanya, mereka cukup licik dari yang aku bayangkan. Memperdayakan anakku untuk membuatku ndhak bisa merasakan indahnya malam pengantin dengan istriku tercinta. Ah, sudah... aku pasrah saja.     

"Sib... nasib," keluhku, kemudian memilih tidur dari pada merana sendirian.     

"Mana tugasnya, Ndhuk?" tanya Manis.     

"Ini lho, Biung."     

"Walah, sebanyak ini apa benar tugas sekolahmu yang harus dikumpulkan besok?" tanya Manis lagi. Aku segera mengambil posisi duduk, melihat rentetan pertanyaan yang benar-benar banyaknya ndhak masuk akal.     

Aku yakin, tiga orang tengik itu sudah merencanakannya sedari lama.     

"I... iya, Biung," jawab Ningrum dengan sungkan. Sejatinya Ningrum itu ndhak pandai bersandiwara, lihatlah bagaimana tingkah kakunya itu sangat kentara.     

"Ya sudah, ayo kita lihat bagaimana cara mengerjakannya?"     

Setelah berdiskusi berdua, mereka sudah sibuk dengan tugas ndhak jelas yang diberikan orang-orang ndhak jelas itu. Dan dari pada aku harus berdebat dengan semua orang, lebih baik aku tidur.     

"Romo...," suara itu membangunkanku. Ini jam berapa? Sudah berapa lama aku tertidur? Dan kenapa bisa Ningrum ikut tidur di sini? Di antara aku, dan Manis. "Maafkan aku, ya, Romo," ucapnya lagi.     

Kukerutkan keningku, tatkala melihat wajah bersalahnya itu. kemudian, aku tersenyum, dan merengkuh tubuhnya erat-erat.     

"Maaf untuk?" tanyaku. Dan itu kembali membuat Ningrum menunduk.     

"Karena sebenarnya tugas sekolahku ndhak sampai sebanyak itu. Dan sebenarnya aku bisa mengerjakannya sendiri. Tetapi...," kata Ningrum terhenti lagi, mata bulatnya memandangku takut-takut. "Tetapi, karena Eyang Kakung, Eyang Putri, dan Bibik Rianti ingin mengerjai Romo. Agar Romo ndhak bisa malam pengantin dengan Biung, itu sebabnya mereka menyuruhku melakukan ini. Romo... aku benar-benar minta maaf, toh."     

Lagi, mendengar pengakuannya yang lucu itu membuatku ndhak bisa berhenti tersenyum. Baru kali ini ada penjahat yang merasa sebersalah ini.     

"Kenapa Romo malah tersenyum selebar itu?" tanyanya, dengan alis yang diangkat sebelah. "Jangan-jangan Romo sudah tahu, toh?" selidiknya lagi.     

Aku mengangguk, dan dia langsung memukul dadaku kuat-kuat.     

"Memangnya siapa yang bakal percaya kamu seberani itu masuk ke kamarku saat aku, dan biungmu sedang malam pengantin, Ndhuk? Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu sudah perawan, dan kamu sudah paham betul dengan apa yang kamu lakukan. Dan kamu sebodoh itu mau diperdaya mereka."     

"Ya bagaimana lagi, toh, mereka minta tolong. Aku ndhak bisa menolak, Romo,"     

"Hmmm, ya sudah ndhak perlu dibahas. Tidurlah, kamu harus kerja keras karena tiga orang jahat yang ndhak tahu diri itu."     

"Aku mau ke kamarku saja, toh," katanya, setelah menggeleng lemah. "Sungkan, sudah besar kok menganggu," lanjutnya, yang berhasil membuatku tersenyum lagi.     

"Romo...," katanya lagi. Kupandang matanya yang kini memandangku lekat-lekat, aku ndhak tahu dia mau berkata apa. Tapi kurasa, ndhak berbeda dari lainnya. Yaitu sebuah wejangan dari seorang anak perempuanku yang ndhak terasa kini dia sudah perawan. "Jangan sakiti Biung," duh Gusti, memangnya aku sejahat itu apa, toh, sampai semua orang mengatakan hal seperti itu.     

"Siap," jawabku.     

"Biung adalah wanita yang sangat baik, Romo. Jangan pernah membuatnya menangis. Selamat sudah menjadi seorang suami, dan juga menjadi Romoku. Romo pasti sekarang tanggung jawabnya sangat besar lagi, selain mengurusi para abdi dalem Romo, para pekerja Romo, dan yang lainnya. Romo harus selalu sehat, selalu kuat, dan selalu tersenyum. Apa pun beban Romo, di sini ada aku, dan Biung yang akan menjadi rumah buat Romo kalau Romo lelah."     

"Siap, Ndoro," kataku lagi, sambil mengelus rambut lembutnya. "Jangan berkata-kata seperti itu. Romo terharu, malah pingin mengawinimu,"     

"Romo!" marahnya, kemudian dia mencubit pinggangku. Aku dan Ningrum langsung menoleh, tatkala Manis tampak tidur dengan ndhak tenang. Sepertinya, aku telah menganggu tidur istriku tercinta. "Ndhak boleh bercanda seperti itu, toh."     

"Kenapa?"     

"Karena aku ndhak mau menikahi Romo."     

"Kenapa?"     

"Karena Romo pasti cepat tua."     

"Romomu ini awet muda, wajah bagusnya abadi. Lantas apa yang membuatmu berkata seperti itu?"     

"Romo!"     

"Hahaha, iya... iya, Romo bercanda, toh. Ndhak usah marah," kubilang pada akhirnya, lihatlah wajahnya yang memerah itu. Aku suka menggodanya, saat dia terlihat jengkel, itu sangat lucu.     

"Aku ingin menikah dengan pemuda seusiaku. Titik!"     

"Kenapa seperti itu? Seendhaknya lima atau tujuh tahun yang lebih tua darimu, Ndhuk. Pemikiran mereka jauh lebih matang, dan mereka pasti bisa untuk memperlakukanmu dengan baik,"     

"Cih!" dengusnya, kutarik sebelah alisku melihat Ningrum tampak mencibir. "Lihatlah Romo, dan Biung. Usia Romo lebih tua dari Biung, tapi Biunglah yang malah lebih dewasa dari Romo. Ingat, Romo... usia bukan jaminan seseorang menjadi pribadi yang matang, dan dewasa. Pribadi itu dibentuk dari keluarga, lingkungan, dan bahkan dari pengalaman hidup. Aku pingin memiliki pasangan hidup yang seperti itu,"     

"Tapi tetap saja, Romo yang memiliki hak paten apa kamu bisa bersama dengan laki-laki yang katamu harus memiliki pengalaman hidup itu," sindirku. Ningrum tersenyum lagi.     

"Jelas, Romo, kan romoku. Aku menikah dengan siapa yang Romo izinkan. Kalau endhak aku ndhak akan melakukannya,"     

"Janji seperti itu?" kataku, sambil menyodorkan jari kelingkingku kepadanya. Ningrum tampak membalas, kemudian mengangguk kuat-kuat. "Jadilah perempuan yang mandiri. Perempuan pintar, jadilah pribadi yang kuat sampai ndhak ada satu manusia pun yang mempu untuk merendahkanmu. Apa kamu paham, Ndhuk?"     

"He'em," jawabnya, yang sudah memelukku semakin erat, dan menenggelamkan wajahnya di dadaku.     

Aku tahu sejatinya dia sedang rindu bapaknya—Muri. Tapi jujur, aku ndhak pernah menjadi seorang Romo. Jadi yang bisa kulakukan, memperlakukannya dengan sangat baik seperti keluargaku sendiri. Dan setiap kali aku mengingat itu, yang ada hanya air mata yang ndhak ingin Ningrum tahu, jika sampai detik ini aku terus menangisi nasibnya yang sangat tragis. Percayalah, sebahagia apa pun kamu dengan orang lain, meski susah, pasti lebih bahagia dengan orangtua kandung. Dan aku merasakan itu di hati putri kecilku.     

"Terimakasih, Romo," katanya, setelah mencium pipiku.     

Kukecup puncak kepalanya, kemudian kembali membenamkan kepalanya di dadaku. Mengelusnya dengan sayang. "Malam ini, tidurlah dengan Romo, dan Biung," kubilang.     

"Tapi, malam ini, kan...."     

"Biungmu saja tidur, bagaimana bisa Romo mau malam pengantin, toh? Memangnya bisa dengan guling?"     

"Oh, iya... ya sudah," katanya, kemudian dia memunggungiku, berganti memeluk biungnya erat-erat. Kulihat Manis pun memeluk Ningrum yang meringkuk dalam dekapannya. Benar-benar seperti layaknya seorang Biung—anak yang sejati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.