JURAGAN ARJUNA

BAB 98



BAB 98

0Sore ini aku sudah duduk di parkiran Universitas, rencananya aku ingin menjemput Manis, dan Rianti untuk kemudian kami akan jalan-jalan keliling Jakarta bersama orangtua kami. Ini semua karen Paklik Junet, karena dia ingin benar melihat monas. Dia ingin memegang monas, katanya. Karena seumur-umur dia ndhak pernah pergi ke Jakarta.     
0

"Juragan Arjuna!" suara itu tertangkap di telingaku, ternyata ada Ucup yang ada di sana, melambaikan tangannya tinggi-tinggi sembari berlari ke arahku.     

Ada apa pemuda jelek itu ada di sini? Menghampiriku lagi, apa dia hendak mengatakan sesuatu? Duh Gusti, malas benar aku bertemu dengannya.     

"Juragan Arjuna...," sapanya lagi, napasnya terengah naik-turun, kemudian dia tersenyum sangat lebar. Setelah kejadian dia kupermalukan dulu, sekarang dia jadi begitu manis terhadapku. "Juragan hendak menjemput Manis?" tanyanya. Sudah tahu aku ke sini mau apa, pakai tanya lagi. memangnya, aku mau apa ke sini selain mau menjemput istriku tercinta?     

"Sudah tahu kalau aku ke sini mau menjemput Manis. Masak iya aku ke sini karena rindu denganmu. Amit-amit!" ketusku. Dan Ucup malah tertawa dengan sangat lebar.     

"Juragan ini kok pintar sekali bercanda," katanya. "Manis masih ada di dalam sana, di taman, sedang ngobrol sama cewek. Sahabat dekatnya. Ohya, Rianti, adik dari Juragan Arjuna, kan?" katanya lagi.     

Aku tersenyum mendengar hal itu. Rupanya, Manis sedang bicara empat mata dengan Rianti. Pantas saja jika mereka sangat lama. Sudah, sabar saja. Aku pasti akan menunggu dengan sabar sampai perkcakapan mereka selesai.     

"Oh, jadi seperti itu."     

"Seperti apa, Juragan?" tanya Ucup yang agaknya ikut penasaran.     

"Tidak ada. Ohya, bukannya kamu mau pulang? Sudah sana, pulang! Ganggu pemandanganku saja," ketusku. Ucup lantas langsung permisi pergi, naik mobil hitamnya yang mentereng kemudian menghilang setelah belokan.     

Sementara aku masih di sini, berdiri sambil menyenderkan tubuhku di mobil. Terik mentari sudah mulai redup, menyaksikan sayu-sayup angin sepoi-sepoi yang teramat lembut. Sore, adalah waktu ternikmat untuk menikmati segarnya udara di bawah pohon rindang seperti ini.     

"Jadi, enaknya cewek sok kecakepan itu kita apain?"     

"Kita kerjai ramai-ramai, cewek kampungan yang sombong. Selalu berlagak seperti orang paling kaya. Apa dia bilang? Ndoro? Hahaha, dasar kampungan!"     

Aku langsung mengerutkan keningku tatkala mendengar kata Ndoro disebut. Siapa yang mereka maksud? Perempuan kampungan yang sombong? Duh Gusti, kenapa hatiku terasa ndhak enak sekali. Kenapa aku merasa jika yang mereka bicarakan itu adik perempuan kesayanganku—Rianti. Lantas jika iya, apa yang hendak mereka lakukan kepada adikku? Gusti, ada apa ini, toh?     

"Kangmas!"     

Aku nyaris melompat tatkala mendengar Manis memanggilku dengan nada tinggi, rupanya dia sudah ada di sini, sembari berkacak pinggang, dia melotot ke arahku.     

Apa dia sudah di sini lama? Apa dia marah karena aku ndhak mendengar panggilannya? Duh Gusti, kenapa aku gampang melamun belakangan ini.     

"Oh, ya, Sayang?" jawabku.     

"Kamu sedang melamun apa, toh, Kangmas?" selidiknya. Sepertinya dia telah mencurigai sesuatu, dan aku yakin akan hal itu.     

"Oh, ndhak ada. Aku hanya melihat para pemuda yang sedang berjalan ke sana," kubilang, sembari menunjuk gerombolan pemuda tadi dengan daguku. "Barangkali kamu kenal dengan mereka?" tanyaku lagi.     

Manis menggeleng, namun kemudian dia duduk di sebuah kursi yang ndhak jauh dari parkiran mobil. Aku mengikuti langkahnya, duduk di sampingnya.     

"Omong-omong, di mana Rianti?"     

"Dia ada di perpustakaan...," jawab Manis kepadaku. "Perkara pemuda tadi, aku juga ndhak tahu siapa, Kangmas. Kan dia lebih dulu kuliah di sini, aku mahasiswa baru. Tapi, aku sering melihat salah satu di antaranya berdebat alot dengan Rianti. Entah berdebat apa."     

"Yang mana?" tanyaku lagi, penasaran juga dengan siapa gerangan yang dimaksud oleh Manis. Sebab di sana, agaknya ada lima pemuda. Pemuda-pemuda kota, dengan gaya khasnya.     

"Itu, lho, Kangmas. Yang pakai kaus panjang berwarna hitam," kata Manis lagi, sembari menunjuk pemuda yang ada di tengah gerombolan itu dengan jari telunjuknya. "Yang tinggi sendiri, yang rambutnya cepak, itu, lho," katanya lagi. Maklum di sana ada dua pemuda yang memakai kaus lengan panjang warna hitam. "Yang putih, yang bagus (ganteng) sendiri itu, lho, Kangmas. Yang tasnya cokelat," imbuhnya lagi.     

Aku langsung paham tentang sosok yang dimaksud dengan Manis, seorang pemuda perawakan tinggi dempal (tinggi tegap), kulitnya putih bersih, wajahnya aku ndhak meragukan jika memang benar jika pemuda itu tampan. Tapi kurasa, pemuda itu jauh lebih muda dari Rianti. Dan dilihat dari gelagat dan gayanya juga, pemuda itu bukan dari kalangan sembarangan. Apa iya yang dimaksud oleh pemuda sok kemlinthi (keren) itu adalah adikku tadi? Jika iya, maka Rianti akan berada di dalam bahaya, toh? Duh Gusti, bagaimana caranya aku bisa memastikan tentang rasa penasaranku ini?     

"Jadi, bagaimana hasil percakapanmu dengan Rianti, Sayang?" tanyaku pada akhirnya. Menepis jauh-jauh pikiran buruk yang ada di otakku, sembari nanti kusuruh Suwoto atau Paklik Sobirin untuk memeriksa pemuda itu.     

"Dia ndhak marah kok sama kamu, Kangmas. Hanya saja, hatinya sedang ndhak enak, katanya. Jadi, dia jadi gampang tersinggung, dan emosi. Maklumlah, Kangmas, namanya juga perempuan. Ada kalanya mereka itu sangat sensitif, dan ndhak mereka ndhak butuh alasan karena itu. Yang mereka butuhkan adalah kawan yang baik, kawan yang selalu ada di sisinya. Saranku...," kata Manis lagi. "Kangmas ndhak usah lagi-lagi mengata-ngatainya sebagai perawan tua, dan lain sebagainya. Sebab biar bagaimanapun, Manis adalah seorang perempuan, Kangmas. Meski dia adalah adik Kangmas. Boleh saja di suatu saat dia menganggap itu guyonan, tapi ndhak menutup kemungkinan jika suatu saat pula dia menganggap itu sebuah keseriusan, toh? Kasihan, dia sudah cukup tertekan dengan tekanan dari Romo, dan Biung, lho, perkara calon. Masak Kangmas tega menambah beban pikirannya lagi."     

"Kamu kan kawannya, toh. Apa benar dia ndhak ada pemuda yang disuka sama sekali? Atau ndhak ada pemuda yang mendekatinya?" tanyaku lagi kepada Manis. Jujur, aku merasa bersalah karena ini. Hal yang dulunya adalah sebuah guyonan semata, tapi pada kenyataannya jika aku memikirkan berada di posisi Rianti. Ini adalah perkara yang sangat menyakitkan. Bayangkan saja, seorang seusia Rianti, meski lebih muda satu tahun dari Manis, tapi bagaimanapun dia sudah lebih dari cukup untuk membangun sebuah bahtera rumah tangga. Atau jika endhak, dia sudah memiliki kekasih hati pilihannya sendiri. Aku takut, jika dia terus begini, hal yang paling fatal adalah, titah Romo untuk menjodohkannya dengan salah satu anak dari kawannya. Sebab bagaimanapun, aku ndhak mau jika adikku menikah dengan orang yang benar-benar ndhak dia cinta. Aku ndhak mau adikku menikah hanya karena terpaksa.     

"Kalau perkara ada apa endhak pemuda yang mendekatinya, jawabannya adalah banyak. Bahkan, ndhak terhitung berapa jumlahnya, Kangmas. Hanya saja...," kata Manis kini tampak terhenti, seolah sungkan, ingin mengutarakan perkataannya kepadaku. "Rianti itu ndhak jauh beda dengan Romo, juga dirimu. Perkataannya yang cenderung pedas, dan tinggi, membuat para pemuda yang hendak mendekatinya mundur teratur. Nah, kalau ndhak salah itu, pemuda tadi itu, yang aku ndhak tahu namanya siapa itu, sering berdebat ya masalah ini. Bertengkar begitu lho, Kangmas."     

Duh Gusti, ternyata seperti itu. Apakah ini termasuk dari karmaku dan Romo, toh? Atau bagaimana. Gusti maafkan aku, jika dulu aku telah berlaku kasar kepada orang-orang. Sehingga, berbalik malah menyerang adikku. Adik tercintaku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.