JURAGAN ARJUNA

BAB 99



BAB 99

0"Monas! Monas lho, ini! Monas! Duh Gusti, akhirnya aku bisa melihat monas, lho!" teriak Paklik Junet. Sembari berlarian kesana-kesini seperti anak kecil.     
0

Aku nyaris tertawa, melihat tingkah lucu dari Paklik Junet. Sementara Romo, Biung, dan Manis sudah terbahak-bahak karena ulah lucunya.     

"Ini! Harus difoto ini! Mana kodaknya (kamera) aku mbok ya difoto, biar bisa kupamerkan kepada kawan-kawanku yang ada di kampung, terutama aku ingin memamerkanya di depan Simbah!" teriaknya lagi.     

Sementara Rianti, hanya berdiri di belakang, menyendiri. Sambil memeluk dirinya sendiri. Dia lebih pendiam dari biasanya, dan aku benar-benar penasaran dengan apa gerangan yang telah terjadi kepada adik perempuanku.     

Setelah aku memastikan jika yang lain sibuk dengan kegiatan mereka, aku pun mendekat ke arah Rianti. Berdiri tepat di sampingnya yang bahkan sampai detik ini dia ndhak sadar, atau malah dia ndhak peduli dengan keberadaanku yang sudah berdiri tepat di sampingnya.     

"Dingin?" tanyaku kepadanya. Tapi dia ndhak menjawab, selain menundukkan wajahnya. Duh Gusti, kenapa toh dengan adik perempuanku? Kenapa dia murung sekali? Jujur, dalam seluruh kehidupanku, baru kali ini aku melihat Rianti jadi diam, dan murung seperti ini.     

Kulepas jaket kulitku, kemudian kukenakan kepadanya. Dia pun masih sama, ndhak berkata apa-apa.     

"Maafkan Kangmas perkara yang kemarin, ya. Kangmas yang salah, Kangmas selalu berucap tanpa berpikir jika perkataan Kangmas akan menyakitimu. Sungguh, Dik, ndhak ada maksud Kangmas untuk menghina atau mengejekmu. Semua itu ndhak lebih dari sekadar guyonan semata, Kangmas—"     

"Ndhak apa-apa," kata Rianti pada akhirnya. sangat singkat dan dingin, membuatku malah semakin merasa bersalah ndhak karuan. "Jika ndhak ada yang mau kamu ucapkan, ke sana saja. Aku mau sendiri," ucapnya lagi.     

Tapi, aku masih berdiri di sini, ndhak pergi ke mana pun selain bersama dengan Rianti. Dia sedang sedih, aku tahu itu. Meski aku sendiri ndhak tahu alasan kesedihannya itu karena apa. Namun aku berjanji, jika aku ndhak akan pergi ke mana pun. Aku ndhak akan meninggalkannya selangkah pun. Karena aku ingin menjadi sosok Kangmas yang bisa berguna untuk adik perempuannya. Jika aku ingin menjadi sosok Kangmas, yang melindungi adiknya dari siapa pun yang mencoba menyakiti adik tercintanya.     

Melihat Rianti seperti ini, entah kenapa air mataku mendadak menetes begitu saja. Rasanya malah lebih sakit, dan frustasi melihatnya diam membisu memikul laranya sendiri. Tanpa aku berani, melangkah lebih dalam lagi. Terlebih, jika aku membahas pemuda tadi. Yang ada Rianti malah akan emosi kepadaku. Malah-malah membuatnya menjauh dan lari dariku.     

Aku terdiam, saat kepala Rianti disandarkan pada bahuku, punggungnya bergetar. Sepertinya dia sedang menangis sekarang. Manis yang melihat kami hendak mendekat pun, aku suruh untuk mengurungkan niatnya. Karena saat ini aku hanya ingin berdua saja dengan Rianti, karena saat ini aku ingin seendhaknya berguna untuk Rianti. Meski itu hanya sebagai sandaran tatkala adik perempuanku sedang hancur sekarang.     

"Ada kalanya kita butuh diam, dan waktu sendiri, untuk sekadar menenangkan hati. Melepas luapan-luapan penat yang menjejali otak, sampai rasa sesak itu pergi ndhak tersisa. Namun setelah itu, ndhak ada salahnya jika kamu meluapkan semua sesak yang ada di dalam hatimu dengan cerita ke seseorang. Sebab cerita, akan sedikit mengurangi beban yang ada di dadamu. Agar seendhaknya, ada orang yang bisa kamu ajak berbagi mendengar suara hatimu."     

Rianti masih saja diam, dia ndhak mengatakan apa pun. Namun punggungnya sekarang sudah ndhak bergetar lagi. Kuelus lembut rambut hitamnya, membuatnya jauh lebih tenang sekarang.     

"Kangmas tahu, aku mulai berpikir bahwa, semua pemuda yang ada di luar sana adalah pemuda yang jahat...," katanya pada akhirnya, dadaku rasanya sangat sesak tatala Rianti mengatakan hal itu. "Kenapa aku berpikir jika, laki-laki yang ada di dunia ini yang ndhak akan menyakitiku hanya Romo, dan Kangmas. Sementara yang lain sana, seperti harimau. Yang seolah ingin menerkamku hidup-hidup."     

Gusti, apa yang harus kukatakan untuk menjawab ucapan dari adik kecilku ini. Sebab sejatinya, aku ndhak ingin membuatnya sampai merasakan yang namanya trauma. Aku tahu sedari kecil jika adikku adalah gadis perempuan yang paling manja sedunia. Ndhak pernah aku, dan orangtuaku marahi sedikit pun. Dia sudah terbiasa dengan kasih sayang, dan selalu dijaga oleh banyak abdi dalem. Jadi, perasaannya sedikit lebih lembut dari perempuan di mana pun. Jadi, tatkala ada orang yang menyakiti hatinya, Rianti akan lebih gampang emosi, lebih gampang tersinggung juga lebih gampang marah. Itulah adikku, dan aku ndhak pernah bisa mau merubahnya. Dan namun jika apa yang sudah melekat kepada adik perempuanku ternyata membuat semua pemuda menjauhinya, ini juga adalah perkara yang ndhak bagus juga. Sebab sejatinya, aku merasa ikut bertanggung jawab dari apa yang terbentuk padanya sekarang.     

"Kamu tahu, setiap hubungan antar manusia itu memiliki caranya tersendiri untuk mengatasinya. Dan, ndhak ada barang satu pun hubungan yang ndhak menyakiti. Meskipun itu hubungan seperti Romo, dan Biung. Yang kita tahunya, hubungan mereka akan selalu baik-baik saja ndhak ada masalah apa pun. Kangmas pikir, kamu berpikir jika sosok laki-laki yang ndhak akan menyakitimu adalah Kangmas, dan Romo, Kangmas pun paham, Ndhuk. Sebab apa, bagaimanapun kita adalah keluarga. Namun lebih dari itu adalah, kita ndhak bisa untuk sekadar benar-benar ndhak peduli dengan hubungan di luar dengan cara apa pun. Sebab semua itu, akan kembali kepada diri kita sendiri. Bagaimana kita harus menyikapi orang-orang yang ndhak membuat hati kita bahagia. Iya, toh?" kubilang. Rianti lantas mengangkat kepalanya, matanya yang sembab memanangku dengan senyuman simpulnya itu. "Jika ada yang jahat sama kamu, ada Kangmas, yang siap menjadi tempatmu untuk mengadu. Yang siap menjadi tempatmu untuk melepaskan semua penat yang ada di dalam dadamu."     

Rianti langsung memeluk tubuhku, kemudian dia menepuk-nepuk punggungku dengan gemas. Senyumnya sudah kembali seperti sedia kala, membuatku seendhaknya terasa lega.     

"Terimakasih, Arjuna Hendarmoko," katanya.     

"Sama-sama, Rianti Hendarmoko," kubilang. "Ohya, tadi aku bertemu pemuda. Yang katanya ingin berlaku buruk kepada perempuan congkak yang sok menjadi Ndoro. Meski Kangmas ndhak paham siapa dia, tapi tetap hati-hati, ya, Ndhuk."     

"Siapa, Kangmas?"     

"Kangmas juga ndhak tahu, yang jelas pemuda itu perawakannya tinggi, dempal. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya lebih bagus (ganteng) dari pada kawan-kawannya," kubilang lagi.     

Riantai tampak kaget, untuk kemudian dia mengangguk. Tanpa mengatakan apa pun lagi. Sementara aku hanya diam, ndhak ada hak aku bertanya lebih jauh lagi. Yang jelas aku sudah memperingati Rianti. Dan semoga, ndhak ada apa-apa yang terjadi setelah aku kembali ke Kemuning nanti. Sebab jika terjadi sesuatu dengan adik perempuanku, maka aku ndhak akan memaafkan satu di antara pemuda-pemuda sialan tadi. Aku pasti akan membuat perhitungan sampai mereka merasa lebih baik mati, dari pada hidup tersiksa bagai di neraka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.