JURAGAN ARJUNA

BAB 100



BAB 100

0"Jadi, bagaimana, Kangmas? Apakah semuanya sudah baik-baik saja? Hubunganmu dengan Rianti?"     
0

Malam ini, kami sudah kembali ke rumah, setelah dari melihat monas. Semua orang sudah terlelap, mungkin. Sebab setelah keliling melihat monas, mereka lantas mengajak makan, terlebih Paklik Junet. Dia sangat semangat sekali, rupanya. Dan dia bersikeras untuk beli jajanan yang namanya kerak telur. Mungkin dia pikir, jajanan itu berbentuk apa. Tatkala dia tahu jadinya, dia malah berseru, "lha intip sego iki!" (kerak nasi yang dimasak bagian bawah yang biasanya gosong).     

Dan semua orang yang ada di sana kembali tertawa, tatkala Paklik Junet berseru seperti itu. Dia lantas marah-marah, katanya Simbah juga bisa memasak seperti itu. Lha salah sendiri, toh, siapa juga yang menyuruhnya untuk beli. Toh namanya kerak ya kalau bahasa Jawanya intip. Memang sudah seperti itu. Lagi pula, bagiku kerak telur itu nikmat benar. Apalagi dimakan pas dingin-dingin dengan pasangan, satu kerak telur dimakan berdua. Wah, mantab.     

Ini bukan berarti jika Paklik Junet ndhak menghargai perbedaan adat-istiadat atau makanan khas, ndhak... bukan sama sekali. Tapi kalian pasti juga pernah, toh, punya kawan yang awalnya ndhak pernah sama sekali ke suatu tempat, lantas tiba-tiba kamu mengajaknya ke tempat yang asing. Pasti, aku bisa jamin, perilaku dan ucapan kawan kalian pasti sama persis dengan Paklik Junet seperti ini. Terlebih tipikal orang-orang primitif seperti Paklik Junet. Ndhak malu saja kalian sudah syukur.     

"Kangmas!" kata Manis mengagetkanku. Aku langsung menoleh, memandangnya yang sudah cemburut. "Duh Gusti, gemar benar, toh, Kangmas ini. Kenapa Kangmas sekarang jadi sering melamun seperti ini?" tanyanya, sedikit emosi, mungkin. Sebab tanyanya kuabaikan. Ini karena Paklik Junet, karena tingkah yang sangat antik itu membuatku terus kepikiran kepadanya terus.     

"Oh, tadi masalah Rianti?" kutanya, Manis tampak mengangguk. "Kami sudah bicara dari hati ke hati, Sayang. Jadi, semuanya sudah baik-baik saja. Hanya saja aku perlu meminta bantuan denganmu," kubilang. Manis tampak mengerutkan keningnya, bingung.     

"Apa, Kangmas?"     

"Tolong kamu selidiki siapa gerangan pemuda yang kutanyakan kepadamu waktu di kampus tadi. Siapa namanya, dari jurusan mana dia, dan angkatan berapa. Setelah itu, biar aku yang mengurus hal-hal selanjutnya."     

Manis tampak mengerutkan kening, tatkala mendengar perkataanku itu. Aku tahu, seorang pintar seperti Manis ndhak akan pernah meloloskan pertanyaan anehku begitu saja.     

"Ada apa? Bisa Kangmas bercerita lebih detil kepadaku?" tanyanya kemudian, yang pasti sudah kutebak sebelumnya. "Ayo jujur kepadaku, Kangmas, sebab bagaimanapun, selain sekarang Rianti adalah adik iparku, dia juga adalah kawan baikku, Kangmas."     

Aku langsung memeluk Manis, yang sekarang kami sudah berbaring berdua. Rasanya sangat nyaman seperti ini, rupanya memiliki seorang istri adalah hal yang sangat menyenangkan di dunia. Terlebih tatkala sebelum tidur, kita bisa berbincang-bincang seperti ini, dari guyonan, saling cerita kegundahan hati, bercerita masalah ringan, sampai yang serius seperti ini.     

"Tadi aku ndhak sengaja melihat gelagat Rianti yang benar-benar berbeda...," jawabku pada akhirnya. "Wajahnya tampak murung, dan bersedih. Ndhak pernah dalam hidupku aku melihat adik kesayanganku memiliki mimik wajah seperti itu. Dan setelah kudekap dia, dia bilang jika laki-laki yang ndhak ada yang sayang dengannya kecuali aku dan Romo. Entahlah, dari bahasanya sepertinya dia sedang frutasi atau patah hati." Kuhirup udara sebanyak-banyak mungkin untuk kujejalkan ke paru-paruku agar seendhaknya hatiku bisa sedikit lebih nyaman, kemudian aku memandang Manis lebih dalam. "Dan saat itu aku hanya mengatakan kepadanya, perkara ucapan dari pemuda tadi. Dia tampak kaget, dan kemudian kembali tenang. Dari mimik wajahnya, sepertinya benar, jika mereka memiliki hubungan. Entah itu hubungan permusuhan, atau malah kawan, atau malah cinta bertepuk sebelah tangan. Ndhak ada yang tahu masalah itu. Hanya saja, ucapannya bener-bener membuatku ndhak enak hati. Jadi, aku harus menyelidikinya, aku harus tahu siapa pemuda sialan itu," kubilang.     

"Pemuda itu bicara apa, Kangmas?" selidik Manis lagi. Tampaknya dia makin penasaran.     

"Pemuda itu bilang dengan kawan-kawannya, dia bilang kalau dia hendak mengerjain perempuan yang kelakuannya congkak, sok Ndoro. Coba kamu pikir, di sana, siapa yang punya jabatan sebagai Ndoro? Nyaris ndhak ada, toh? Hanya Rianti, adikku. Dan aku ndhak mau adikku diapa-apain sama mereka."     

Mendengar penjelasanku, Manis langsung mengangguk-anggukkan kepalanya. Alisnya saling bertaut, kemudian dia memandangku dengan tatapan tajamnya itu.     

"Aku akan mencari tahu siapa dia, Kangmas. Tenang saja, ya," katanya kemudian.     

Aku langsung mengangguk, sembari memeluk tubuhnya dengan erat. Di saat dadaku yang bergemuruh hebat memikirkan perkara dengan Rianti. Ada Manis di sini yang selalu datang sebagai penenang. Dia benar-benar seperti obat yang sangat mujarab untukku. Datang dengan membawa ketenangan. Bahkan aku sendiri sampai ndhak tahu, kapan itu tepatnya, sampai kesaradan menghilang dari ragaku.     

Pagi ini tampaknya semua menu sarapan sudah lebih dari siap. Biung, Manis, dan Rianti, sudah sibuk sepagi tadi memasak untuk para laki-laki. Semtara kami, kaum laki-laki memilih duduk manis di balai tamu, sembari menikmati kopi—ini khusus untukku, dan Paklik Junet, dan teh hangat untuk Romo Nathan. Tahu sendiri, toh, jika Romo Nathan itu memiliki penyakit lambung yang teramat parah? Jadi ya dia harus menjaga makan, dan minum dengan sebaik mungkin. Yang meski, dia sering bandel, nyuri-nyuri makan pedas. Sebab kata Romo Nathan, makan kalau ndhak pedas itu ndhak nikmat. Meski setelah itu, dia selalu kesakitan perutnya karena makanan pedas itu.     

"Juadi, nanti jam berapa kita pulang ke Kemuning, Romo?" tanyaku membuka percakapan, dari Romo yang sudah sibuk membaca koran, sembari sesekali membenarkan letak tesmak (kacamatanya). Koran itu ditaruh jauh-jauh dengan kedua tangannya, sungguh khas cara membaca orangtua. Namun demikian, sampai detik ini dia ndhak mau disebut sebagai orangtua.     

"Nanti, siang-siang saja. Toh kamu mau mengantar Rianti, dan Manis ke Universitas, toh?" tanyanya kepadaku. Aku lantas mengangguk menjawabi ucapan itu. "Ndhak perlu yang dirisaukan masalah perkebunan di Ngargoyoso, semuanya sudah diurus oleh Suwoto serta Sobirin. Perkara hama tikus itu, kita juga ndhak bisa berbuat banyak. Selain memopang biaya hidup dari para petani kita, agar mereka ndhak kelaparan tatkala musim paceklik datang."     

"Aku setuju, Romo," kubilang. Aku yakin, itu adalah satu-satunya cara yang Romo akan ambil, cara termudah, dan mengamankan semua orang. Meski untuk kebutuhan rumah sendiri nanti harus irit-irit ndhak masalah, asal warganya bisa makmur. Itulah Romo Nathan, romoku yang sangat hebat layaknya seorang pahlawan.     

"Lagi pula, persediakan makanan di gudang masih lumayan, lho. Sisakan sedikit saja untuk keluarga. Yang penting cukup sampai masa panen datang, itu sudah syukur. Toh, kita masih bisa beli. Sementara mereka, penghasilannya dari kita, kalau uang saja ndhak punya, makan dengan apa, kalau bukan kita yang memberi, iya, toh?"     

"Setuju," kini Paklik Junet giliran bersuara. Sembari mengangkat kedua jempolnya tinggi-tinggi, dengan senyuman khasnya.     

"Ayo sarapan! Ini lho, sarapannya sudah siap!" dan seriuan itu, langsung membubarkan kami bertiga. Kami langsung menyerbu makanan yang dihidangkan dari ketika wanita paling hebat di rumah kami.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.