JURAGAN ARJUNA

BAB 40



BAB 40

0Kawanku Juragan Arjuna, sejujurnya aku sangat senang telah mengenalmu melalui sisi lain yang dulu ndhak pernah kuketahui. Kamu adalah Juragan yang rendah hati, yang telah sudi berkawan denganku yang miskin ini. Maaf, jika kemarin aku sempat salah paham. Sebab aku yakin, sejatinya kamu juga tahu jika aku adalah lelaki pencemburu ulung yang akan mencemburui siapa pun yang telah memiliki hati kepada istriku.     
0

Kamu tahu, Juragan. Aku bertemu dengannya berawal dari sebuah perjodohan orangtua. Arni, adalah anak angkat dari seorang Juragan di Jawa Timur. Orangtuanya telah meninggal lama. Kebetulan, orangtuaku berkawan baik dengan orangtua angkat Arni. Itu sebabnya, meski jarak usia kami lima belas tahun, aku bisa menikah dengannya. Juragan andai tahu, betapa takut Arni dulu kepadaku. Bahkan, dia sempat sakit keras karena ndhak mau menikah denganku. Namun syukur, Gusti Pangeran menunjukkan kuasanya. Waktu, telah membuat getaran cinta di hatinya. Getaran cintaku yang akhirnya terbalas dengan nyata, dan itu membuatku bahagia luar biasa.     

Aku akui, Juragan. Dulu, aku bukanlah laki-laki yang baik. Aku suka main perempuan. Namun, setelah menikah dengan Arni semuanya berubah. Dariku, semuanya telah kuberikan untuknya. Aku memang terlahir dari keluarga berada, namun sejatinya itu hanyalah milik orangtuaku. Itu sebabnya, aku bekerja di perkebunan orangtua ndhak meminta banyak. Hanya meminta upah sekadarnya, umumnya seorang pekerja kepada majikannya.     

Namun tampaknya, kengangguranku itu membuat Arni nelangsa. Dan membuatnya melakukan segala sesuatu tanpa persetujuanku. Seperti, menjadi pelayan di warung Mbah Marisah, misalnya. Aku benar-benar ndhak suka itu. Tapi dia ndhak mengerti. Tahukah Juragan jika selama ini aku sering mendapatkan aduan dan melihat sendiri jika banyak laki-laki yang sering menggodanya? Ya, itulah kenapa sebabnya aku menjadi ringan tangan, gampang marah. Meski dia pikir semua itu tanpa sebab, dia salah. Semuanya, adalah semata-mata karena aku ndhak mau dia seperti itu. Aku ndhak mau istriku dipandang rendah, dan mudah oleh laki-laki mana pun. Itu sebabnya aku marah, aku ringan tangan. Namun rupanya, Arni menganggapnya lain.     

Dan yang terakhir, kamu sendiri telah tahu semua itu, Juragan. Kamu, ada di sana, dan melihatnya dengan kedua matamu sendiri. Juragan sejatinya, aku adalah pecinta yang buruk. Aku ndhak mau membagi istriku dalam bentuk apa pun itu. Baik itu berupa sentuhan, atau pun pandangan. Lebih-lebih, lelaki kemarin telah datang ke rumah malam itu waktu aku ndhak ada. Meski Arni berontak dan menolak, aku lihat jelas jika laki-laki itu ingin meniduri istriku. Jadi, malam ini juga telah kuputuskan suatu hal. Yang mungkin akan ditentang oleh semua orang. Aku akan membawa pergi Arni dari dunia ini. Jika dengan itu dia ndhak akan digapai oleh laki-laki lain, maka akan kulakukan apa pun caranya. Aku akan menghabisi nyawa Arni, setelah itu aku akan bunuh diri. Juragan, sudilah kiranya kamu merawat anak-anakku. Dan besarkan mereka layaknya anak-anakmu sendiri. Maaf telah menjadi pengecut. Sebab bagiku, jika aku ndhak bisa memiliki Arni secara utuh, maka siapa pun ndhak akan bisa melakukannya juga. Maaf untuk keputusan yang egois ini.     

Aku benar-benar ndhak habis pikir dengan keputusan yang ngawur Muri ini. Bagaimana bisa dia melakukan hal sampai sejauh ini. Apa ndhak bisa dia bicarakan masalah ini baik-baik barang sebentar? Mereka masih bisa membicarakan masalah sepele ini, toh? Arni pasti akan paham jika suaminya adalah pencemburu ulung. Namun kenapa, bagaimana bisa Muri memilih jalan pintas seperti ini? Gusti... aku benar-benar ndhak tahu harus berbuat apa. Lantas, jika Muri memasrahkan kedua anaknya, lalu kenapa anak laki-lakinya jadi ikut mati? Apa sebenarnya yang terjadi?     

"Anak sulung Muri mencoba menengahi pertikaian antara orangtuanya. Dan dia berdiri tepat di tengah untuk menghadang Muri tatkala ingin menusuk dada Arni. Akibatnya, dialah yang tewas kala itu. Dan karena hal itulah membuat Muri semakin frustasi, karena tahu putranya telah mati karena ulahnya sendiri. Lalu kemudian, dia menebas leher istrinya, setelah dia tahu jika istrinya pun telah tiada, gantian dia yang mengakhiri hidupnya sendiri."     

Aku terbelalak kaget, tatkala Paklik Junet sudah berada di kamarku. Berdiri dengan senyuman lebar yang menyebalkannya itu, lalu dia bersedekap. Seolah-olah, dia paham betul apa yang menjadi pertanyaan dalam diriku. Benar-benar tengik orang satu ini.     

"Itu toh yang ada di otak kosongmu itu, Juna? Ah, Paklik sudah menebak-nebak sedari tadi. Dan mencari waktu yang tepat untuk masuk ke kamarmu dan mengatakan ini. Melihat ekspresi terkejutmu yang ndhak kerena itu, aku yakin, tebakanku itu benar sekali," katanya percaya diri.     

"Tahu dari mana Paklik jika kejadiannya seperti itu? Jika Paklik ada di tempat kejadian saat itu, kenapa ndhak Paklik lerai? Malah membiarkan mereka mati sia-sia seperti itu?" kutanya. Paklik Junet kini duduk di kursi yang berhadapan dengan dipanku, dia menyilangkan kakinya. Menyesap tehku yang baru saja dibuatkan oleh Bulik Sari, tadi.     

"Bukan aku, tapi kawanku... kamu kenal, toh, sama yang namanya Subroto? Rumahnya kan ada di belakang persis rumah Muri meski terpisah pohon bambu. Waktu itu Subroto ada janji denganku hendak bertemu untuk bercakap barang sebentar. Waktu dia lewat, dia melihat kejadian itu. Melihat Muri yang kesetanan sambil membawa parang takutlah Subroto jika dia akan dibunuh juga jika melerai. Akhirnya, dia lari terbirit-birit menemuiku dan menceritakan semuanya. Aku yang tahu, mengajak beberapa petinggi kampung untuk melerai. Namun sayang seribu sayang, setelah kami di sana semuanya sudah seperti itu. Tak pikir, kejadiannya benar-benar cepat. Seperti ndhak ada perlawanan dari Arni juga. Entahlah, Paklik juga ndhak paham. Yang jelas kejadian ini sudah terjadi, Arjuna. Perempuan yang kamu gilai itu sudah mati. Jadi, sekarang fokuslah dengan anaknya yang kamu bawa pulang itu. Aku benar-benar takut jika anak itu akan trauma berat seperti apa yang dialami oleh biungmu dulu."     

"Iya, Paklik, sejatinya aku juga paham betul dengan perkara itu. Terbunuhnya semua keluarga tepat di depan mata Ningrum adalah perkara yang benar-benar sangat menyakitkan. Terlebih, yang melakukannya adalah bapaknya sendiri. Pasti jiwanya tergoncang, dan aku takut jika batinnya ndhak terima, dia akan menjadi sangat depresi atau bahkan gila. Namun, menurut penuturan Rianti kondisi Ningrum baik-baik saja terlepas dari rasa terpukul yang teramat berat itu. Ningrum terus bercerita kepada Rianti perkara itu berulang-ulang, dia mengigau, dan demam beberapa hari ini. Namun pelan-pelan, setela Rianti memberinya pengertian, tampaknya Ningrum sudah mulai menerima dan paham. Bahkan pagi ini pun, dia sudah mau sarapan meski hanya beberapa suap. Dan semoga dia lekas kembali ceria, agar dia bisa melanjutkan hari-harinya kembali."     

"Omong-omong, Mbakyu Larasati pernah bercakap kepadaku, jika kamu punya niatan hendak mempersunting Ningrum. Apa itu benar?" tanya Paklik Junet yang berhasil membuatku tersedak dengan liurku sendiri. Sial benar orang ini, tahu banyak benar. Kenapa pula Biung bercerita perkara ini dengan si berengsek Junet?     

Ah, ndhak... ndhak mungkin Biung. Pastilah ini cerita Simbah Romelah yang ndhak sengaja didengar oleh bedebah ndhak waras ini.     

"Ck! Ck! Ck! Aku kasihan lho sama kamu, Juna. Sudah ditinggal mati Arni, ditinggal menikah Manis. Lantas karena rasa frustasimu yang teramat berat itu sampai-sampai membuatmu ingin menikahi Ningrum? Wah... wah... wah, kamu ini benar-benar...," katanya. Sambil memicing seolah telah menilah betapa rendah aku ini. "Apa kamu ndhak kasihan dengan Ningrum, anak sekecil itu mau kamu... kamu...," katanya lagi dengan senyuman yang menyebalkannya itu. "Mau perkosa dengan manuk raksasamu itu? Bisa sobek itu nanti, anak kecil. Kalau furtasi mboknya dipikir-pikir, pelacur itu sudah banyak menyebar di mana-mana, kalau ndhak mau pelacur janda juga banyak, atau perawan-perawan yang dengan mudah mau kamu perkosa. Kok ya milih anak kecil itu, lho, Juna... Juna."     

"Ralat, Paklik, frustasi bukan furtasi!" sentakku. "Lagi pula, kenapa Paklik yang repot kalau aku mau menikahi Ningrum? Toh, aku akan memperlakukannya dengan sangat baik jika benar itu akan terjadi. Lagi pula, Paklik, sudah dari zaman kerajaan zaman dulu, perempuan muda dinikahkan oleh keluarganya. Apa yang salah dengan itu."     

"Ya yang salah kamu, toh, manukmu itu. Ndhak cocok dengan perempuan pribumi!"     

"Manuk... manuk... manuk saja, Paklik, yang kamu bahas itu. Bilang saja kalau kamu iri. Karena yang kamu miliki hanya seekor cacing pita yang ndhak bisa memuaskan para perempuan. Tapi suka sesumbar kalau sudah meniduri banyak perempuan."     

"Asem orang ini!" marah Paklik Junet.     

"Paklik tahu pintunya, kan? Silakan keluar karena aku mau tidur!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.