JURAGAN ARJUNA

BAB 37



BAB 37

0Pagi ini aku harus bersiap, menemani Manis pergi ke kota untuk mencari beberapa kain untuk keperluan menikahnya. Rasanya, benar-benar sangat sulit. Namun bagaimana lagi, toh, aku ndhak mungkin untuk menolak permintaan Biung. Meski itu sakit.     
0

Kuhelakan napasku beberapa kali sambil memakai kaus abu-abuku. Namun, belum sempat kaus abu-abuku kupakai sempurna, pintu kamarku diketuk dengan ndhak sabaran.     

Sial benar, siapa kiranya yang kurang ajar berani mengetuk kamarku sampai seperti itu? Aku benar-benar ndhak suka. Bahkan Rianti pun ndhak berani melakukannya.     

"Sia—"     

"Selamat pagi, Kangmas Arjuna...." suara cempreng itu terdengar sangat menyakitkan telinga. Terlebih, wajah sok cantiknya yang kini sudah tersenyum lebar ke arahku. Puri, sepagi ini? Apa dia ndhak ada cita-cita lain selain menjadi ekorku kemana-mana? Menyebalkan benar.     

"Kenapa kamu ini seperti upil, sih, menempel kemana-mana dan bikin risih," dengusku. Dia malah tertawa.     

"Kok upil, toh, Kangmas. Mbok ya ibaratkan aku ini seperti sekar, begitu, lho."     

"Oh, iya, kamu seperti bunga. Tapi, bunga bangkai. Bagaimana, tuh?" kubilang. Dia langsung mencibir. "Ada apa toh kamu ke sini? Ndhak ada kerjaan apa ndhak tahu malu?" kutanya lagi.     

Sepertinya kebal benar dia dengan ucapan kecutku. Atau memang dia sudah terlatih sebagai perempuan yang sudah ndhak punya malu.     

"Aku diberitahu Ndoro Larasati, kalau Kangmas akan pergi ke kota bersama dengan Manis. Dan aku disuruh turut serta, sambil memperkenalkan Kangmas dengan orangtuaku, kawan lama Ndoro Larasati saat di Universitas dulu."     

"Aku ndhak minat, dan ndhak sudi mengajakmu," kubilang. Dia malah menarik-narik tanganku.     

"Bagaimana ndhak sudi, aku ini calon istrimu, lho, Kangmas!" katanya.     

Percaya diri benar perempuan ini. Apa yang telah dikatakan Biung sampai perempuan ini seperti ini? Bukankah Biung sendiri yang menyuruhku memilih istri yang benar-benar kucinta?     

"Jadi kamu ingin menjadi calon istriku, benar?" tanyaku. Dia mengangguk semangat. "Tapi, maaf, sebelumnya...," kataku lagi, sambil menilai model pakaiannya dari atas sampai bawah. "Aku ini seorang pemuda modern yang suka pergi ke luar negeri, lho. Bagaimana bisa aku memiliki istri yang tampilannya, kuno, ndeso, katrok sepertimu. Benar-benar ndhak pantas."     

"Lho, ndhak pantas bagaimana, toh, Kangmas? Aku ini seorang Ndoro, lho, ini!" katanya ndhak mau kalah.     

"Aku ndhak suka perempuan yang kemana-mana harus memakai kebaya, dan kaki indahnya harus terbungkus dengan jarik yang ketat seperti itu. Bahkan, untuk kubongceng motor pun akan susah. Lebih-lebih, dengan sanggul sebesar cobekmu itu, apa kamu ndhak merasa berat memakainya setiap waktu? Aku... aku tipikal pemuda bebas, Puri, jika aku ingin, pastilah susah benar membuka lembar demi lembar pakaianmu yang teramat berlapis-lapis itu. Terlebih, melepas sanggulmu. Mana aku bisa seperti itu," jelasku. Aku cukup penasaran, dengan reaksinya.     

"Jadi, Kangmas ingin denganku?" tanyanya semangat.     

"Ya... mungkin," kubilang.     

"Lalu, pakaian seperti apa yang kiranya bisa membuatku pantas bersanding dengan kangmas?" tanyanya. Lha, ini pertanyaan yang sedari tadi kutunggu. Lebih baik kukerjai saja dia biar tahu rasa.     

"Aku itu suka melihat perempuan memakai rok di atas lutut, rok itu memiliki belahan yang cukup tinggi. Kemudian, bagian dada dari rok itu, cukup rendah sampai menampilkan belahan dada yang sangat nyata. Sementara rambutnya, tergerai dengan begitu indah. Dan satu lagi, warna bibirnya, harus merah menggoda. Ya, aku menyukai perempuan seperti itu," jelasku.     

"Benar? Kangmas benar menyukai perempuan seperti itu?" tanyanya penasaran.     

Aku mengangguk. Dia hanya menginginkan hartaku, pastilah bukan merupakan hal yang sulit untuk memenuhi permintaanku meski itu mempermalukannya. Lagi pula, jika benar dia memiliki harga diri, bukankah seharusnya dia tetap berpegang teguh dengan apa yang ia kenakan sekarang? Atau malah, dia telah terbiasa memakai pakaian seperti itu.     

"Sudah sana, ganti pakaian kunomu itu!" kubilang.     

"Jangan tinggal, ya!" dia bilang. Setengah berlari menuju balai persinggahan yang letaknya berada tepat di seberang balai utama rumah ini. Balai itu dikhususkan untuk para tamu yang barangkali akan meningap. Itu kata Biung.     

"Arjuna...."     

"Hm?" kataku yang hendak masuk ke dalam kamar. Tapi rupanya, Manis sudah berjalan mendekat ke arahku, yang berhasil membuatku menarik sebelah alis. "Ada apa? Aku baru mau mengambil kunci mobil," kubilang.     

"Bukan itu, maksudku... aku hendak minta antar Paklik Junet saja. Kamu pasti sibuk, toh, hari ini," katanya.     

Aku bersedekap, sambil memandangnya yang telah tampak ayu mengenakan rok semata kaki berwarna abu-abu. Pas benar aku juga memakai kaus berwarna abu-abu.     

"Sebenarnya ndhak masalah juga. Lagi pula, aku disuruh mampir ke rumah orangtua Puri yang ada di kota," kubilang.     

Manis tampak memandangku, untuk sekian detik dia ndhak berkedip. Kemudian, dia memiringkan wajahnya sambil menghela napas kemudian tersenyum.     

"Aku ke sini hanya ingin meminta pendapatmu, kamu paling pandai memilihkan warna kain yang cocok untukku. Jadi, bagaimana, warna apa yang kiranya pantas untukku, Juna?"     

"Apa pun cocok untukmu, Manis. Kamu pasti akan sangat cantik saat di pelaminan nanti," kubilang. Manis tampak tersenyum.     

"Ya sudah, aku pergi dulu. Oh ya, jangan lupa nanti datanglah ke rumah, Juna. Banyak yang menanyakan kehadiranmu di rumah untuk sekadar duduk-duduk saja. Rasanya, ndhak enak benar kamu ndhak ada di sana,"     

"Untuk apa? Melihatku menangis patah hati melihat perempuan yang kucintai akan menikah dengan laki-laki lain? Ndhak, aku ndhak mau," kubilang. Manis kembali menunduk.     

"Ndoro Larasati sepertinya menaruh curiga, beliau terus saja menanyakan kebaradaanmu, menanyakan kenapa kamu ndhak ke rumahku, menanyakan ada apa dengan kita sampai kamu ndhak mau ke sana. Dan, alasan apa pun yang kuberikan dimentahkan begitu saja oleh beliau."     

"Oh, oke... nanti aku ke sana. Asal ndhak disiram dengan air panas oleh Simbahmu saja," kubilang.     

Manis malah tertawa. "Aku telah memenuhi keinginannya, mana berani dia menyakitimu, toh,"     

Oh, jadi itu juga salah satu sebab kenapa Manis mau dengan Minto. Agar simbahnya ndhak menyakitiku lagi?     

Manis tampak memalingkan tubuhnya, dia hendak pergi. Kemudian, kutarik tangannya dan kumasukkan dia ke dalam kamar. Kutatap wajah Manis yang memandangku dengan pandangan kagetnya itu.     

"Hijau lumut...," kubilang. "Aku ingin melihatmu memakai kebaya warna hijau lumut saat di pelaminan nanti. Pasti, kamu tampak sangat ayu. Pasti, semua mata akan tertuju dengan paras manismu, Manis."     

"Arjuna...."     

Kukecup bibir Manis yang sangat kurindukan ini. Nanti, pasti aku akan lebih merindukan lagi. Di saat aku ndhak lagi bisa mencumbi bibir penuh miliknya. Nanti, pasti aku ndhak tahu lagi bagaimana caranya untuk melupakan bagaimana rasa yang telah bergemuruh in. Gusti, berikan aku cara untuk melupakan Manis mulai sekarang. Sebab, apa pun yang kulakukan saat ini adalah salah, semua ini benar-benar melanggar etika seorang laki-laki dan perempuan. Di saat perempuan sebentar lagi akan kepelaminan. Apakah aku harus mati saja untuk mematikan rasa yang berkobar ini untuk Manis?     

"Arjuna, Manis!"     

Aku langsung menarik tubuhku dari Manis tatkala Biung masuk ke kamarku. Kutundukkan wajahku sementara Manis memalingkan wajahnya sebentar, kemudian Manis mendorong tubuhku untuk menjauh dari tubuhnya.     

"Apa yang kalian lakukan? Apa—"     

"Biung, aku... aku... aku hanya meniup mata Manis yang kelilipan," dustaku. Gusti, semoga saja Biung percaya, semoga saja Biung ndhak melihat kami ciuman tadi.     

"Juragan! Juragan Arjuna! Bahaya, Juragan!" teriak Paklik Sobirin yang berhasil membuat fokus Biung teralih. Dengan kaki pincangnya, Paklik Sobirin tampak terengah. Pupil matanya mengecil, dengan wajahnya yang benar-benar ketakutan.     

"Bahaya apa, toh, Paklik? Kalau berbicara mbok ya pelan-pelan," kataku. Mencoba menenangkannya.     

"Arni... Arni tewas, Juragan!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.