JURAGAN ARJUNA

BAB 101



BAB 101

0Sore ini, setelah perjalan kami yang cukup jauh dari Jakarta ke Kemuning. Aku langsung mengajak Paklik Junet pergi ke Berjo, melihat langsung bagaimana keadaan asli dari tumbuhan tembakau di sana.     
0

Dan rupanya, apa yang kubayangkan ndhak seburuk kenyataan. Faktanya, masih ada kurang-lebih separo dari tanaman tembakau yang masih bisa diselamatkan. Sykurlah, meski nanti mengalami banyak rugi, seendhaknya kita masih bisa panen. Meski itu bukan panen raya.     

"Jadi, mentimun, dan wortelnya bagaimana? Dimakan tikus-tikus juga atau endhak?" tanyaku kepada Suwoto, yang sedari tadi sudah menundukkan kepalanya dalam-dalam, tatkala aku bertandang ke sini.     

"Ndhak ada Juragan. Tepat setelah kami tahu kalau tikus-tikus menyerbu tanaman tembakau. Aku, dan Sobirin lantas memerintahkan beberapa mandor, dan pekerja kebun untuk memanen paksa beberapa mentimun, dan wortel yang kiranya sudah bisa dipanen, dan mengitari area perkebunan dengan jaring-jaring, dan beberapa jebakan tikus lainnya."     

Aku kembali bernapas lega, kemudian kueadarkan pandanganku pada para pekerja kebun, yang kini mereka sedang duduk. Napasnya terengah, dengan peluh yang bercucuran. Aku yakin mereka tampak lelah, karena tikus-tikus gunung yang ndhak tahu diuntung itu. Tapi, tumben benar tikus-tikus itu turun sampai ke lereng? Padahal biasanya, mereka cukup patuh untuk sekadar hidup di atas tanpa melakukan kerusakan apa pun.     

"Ini...," kataku sembari memberikan kantong plastik hitam kepada Paklik Sobirin. "Hitung total siapa pekerja perkebunan, dan mandor-mandornya. Kemudian, bagi rata ini kepada mereka. Anggap ini adalah bonus dari kerja keras mereka."     

Paklik Sobirin yang tampak menintip apa yang ada di kantong plastik warna hitam itu pun memekik, lantas dia memandangku seolah ndhak percaya.     

"Ini uang, Juragan?" tanyanya. "Sebanyak ini? Uang Juragan sendiri?" tanyanya lagi. Sepertinya dia ini ndhak percaya dengan kekayaan yang telah kukumpulkan sendiri. Atau dia pikir, uang yang ada di dalam sana adalah uang dariku mencuri dari Romo Nathan?     

Duh Gusti, pertanyaan Paklik Sobirin ini apa-apaan, toh? Kenapa tega benar dia bertanya hal seperti itu? Memangnya kalau bukan uangku sendiri, lantas uang-uang itu punya siapa? Oh iya, aku lupa. Itu bukan uangku, melainkan uang Gusti Pangeran yang dititipkan oleh Gusti Pangeran kepadaku, untuk kuberikan kepada mereka. Jadi, ini adalah rejekinya mereka.     

"Kalau ndhak uangku, lantas itu uang siapa? Uang dari hasil menjual kerbau-kerbaumu yang banyak itu?" sindirku. Paklik Sobirin langsung tersenyum malu-malu, sementara Paklik Junet, dan Suwoto tampak berebut untuk sekadar mengintip isi dari kantong plastik hitam itu. "Nanti, kalian bertiga juga ada bagiannya,"     

"Wah, berapa? Banyak pasti?" semangat Suwoto.     

Aku hanya meliriknnya sekilas, dengan pandangan sebalku. "Limar ratus rupiah," jawabku kemudian berjalan pergi.     

"Wah, Juragan! Ndhak adil ini! Ndhak adil!" teriaknya.     

"Masalah tikus, kalian ndhak usah cemas!" teriakku.     

Paklik Sobirin pun langsung berlari mendekat ke arahku, diikuti oleh Suwoto, dan Paklik Junet.     

Aku mengambil salah satu dari pohon tembakau yang ada di sana, memeriksanya dengan seksama. Kemudian pandanganku tertuju kepada mereka lagi.     

"Kalian tahu ada kepercayaan Jawa yang bilang, jika sejatinya hama tikus itu seperti lelembut, suruhan dari seseorang untuk menyerang petak-petak perkebunan agar perkebunan itu hancur?" kutanya. Mereka tampak menggeleng.     

"Yang saya tahu, di Jawa Timur punya keyakinan seperti ini. Ndhak akan ada satu kebun, dan tanah yang akan dimakan hama tikus, kecuali jika perkebunan itu hasil dari yang ndhak baik. Atau, orangnya ndhak pernah sedekah," jelas Suwoto.     

Aku juga pernah berpikir seperti itu juga. Atau bagiku lebih sederhananya. Para tikus itu kan hewan, mereka juga butuh makan tatkala ia lapar. Bisa jadi di gunung makanannya telah habis. Itu sebabnya mereka turun untuk mencari makanan lain. Jadi, bukankah seharusnya kita yang sesama makhluk hidup harus saling berbagai? Toh, kita ndhak akan mati tatkala memberikan makanan untuk mereka? Jika perut mereka sudah kenyang, dan persediaan makan mereka di gunung sudah ada. Aku yakin, mereka ndhak akan merusuh lagi di sini.     

"Pasti ini pertanda, Jika Juragan Arjuna ndhak boleh pelit-pelit sama kami," celetuk Paklik Sobirin.     

"Iya, toh, masak kami yang ndhak tidur, dan jatuh bangun mengurus perkebunan ini biar ndhak ada tikus yang masuk, malah cuma dikasih lima ratus rupiah, itu lho. Kejam benar," imbuh Suwoto.     

"Lantas kalian maunya apa?"     

"Satu ekor kerbau, Juragan!" kini giliran Paklik Sobirin yang menjawab dengan semangat.     

"Iya, aku kasih kalian bertiga masing-masing satu ekor kerbau. Tapi...," kubilang, sengaja kugantung, biar mereka mendengar dengan sabar dan penasaran. "Tapi, ambilnya dari kerbau Paklik Sobirin!"     

"Juragan!"     

"Hahaha!"     

"Awas, ya, Juragan, saya ndhak rela kalau kerbau-kerbauku Juragan curi!"     

Rasanya aku ingin tertawa tatkala mendengar hal itu keluar dari mulut Paklik Sobirin. Takut benar, toh, jika kerbau-kerbaunya yang hampir memenuhi kandanganya itu akan hilang. Aku benar-benar ndhak habis pikir, seorang abdi dalem seperti Paklik Sobirin ini berjasa apa kepada orangtuaku dulu. Kok ya sampai memiliki banyak sekali kerbau, itu, lho. Aku benar-benar ndhak mengerti. Bahkan, bisa dikatakan, dia ini sebenarnya bisa jadi penduduk kampung paling kaya di Kemuning. Tapi, kenapa dia malah masih setia menjadi abdi dalem keluargaku? Entahlah.     

"Arjuna...."     

Langkahku menuju warung Bulik Ngapemi terhenti, tatkala kutangkap suara sayup-sayup perempuan memanggil namaku. Tatkala aku menoleh, sosok itu sudah berdiri. Mengenakan dres semata kaki berwarna merah jambu, sembari menundukkan wajahnya dalam-dalam. Penampilannya, jauh... sangat jauh dari pada penampilannya yang dulu terakhir kali kami bertemu. Terlebih, malu-malu bukanlah gayanya setahuku.     

Namun, aku menghargai, apa pun perubahan dari sosok itu. Aku malah bersyukur, jika setelah jauh dariku dia bisa memperbaiki hidupnya menjadi seperti ini.     

Aku melangkah, sembari menelan ludahku dengan susah. Kumasukkan kedua tanganku ke saku celana, sembari menebarkan pandanganku kepada sekeliling perkebunan. Ndhak ada siapa-siapa, dia sendirian di sini. Berdiri dengan sangat bodoh seperti ini.     

"Tumben kamu pulang? Ada apa, Wangi?"     

Ya, Wangi adalah nama dari perempuan itu. Usianya sama dengan usiaku. Kami dulu kuliah di Universitas yang sama. Untuk kemudian dia memilih bekerja di kota Bandung sana. Setelah itu, aku nyaris ndhak tahu bagaimana ceritanya, dan kabarnya. Yang kutahu saat ini, dia sudah berada di depanku dengan banyak perbuahan. Asal kalian tahu, Wangi dulu adalah tipikal perempuan yang sama seperti perempuan-perempuan kota lainnya. Kalau ndhak memakai pakaian pendek, serta menggerai rambut, dan bersolek, dia merasa belum cukup menjadi cantik. Dan aku ndhak tahu, bagaian mana yang cantik dari berdandan seperti itu.     

"Boleh aku bicara denganmu? Rasanya sudah sangat lama, kita ndhak saling bicara,"     

Aku tersenyum mendengar tawarannya itu, kemudian aku mengangguk pelan. Memersilakan dia untuk kalan dulu, kemudian aku berjalan tepat di belakangnya. Jika diingat-ingat, dulu kami adalah kawan baik. Sebelum peristiwa naas itu terjadi. Ya, kami benar-benar kawan baik.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.