JURAGAN ARJUNA

BAB 102



BAB 102

0"Sudah lama, ya?" kata Wangi membuka suara.     
0

Iya, benar, sudah lama. Bahkan kira-kira sudah belasan tahu kami ndhak bertemu. Dan tampaknya, dia ndhak mengalami perubahan apa pun, selain gayanya itu. Dia tetap belia, sama seperti dahulu kala kita berkawan.     

"Iya," kubilang. "Kamu ke sini sendiri? Bagaimana kabar pekerjaanmu di Bandung?"     

"Baik. Tapi sepertinya aku lelah, jadi aku berpikir jika lebih baik aku belajar berkebun dari Romo, dan membuka usaha di sini," imbuhnya.     

Aku mengangguk saja, sebab otak seencer Wangi, pastilah mudah untuk mempelajari sesuatu dalam waktu singkat. Ndhak ada yang salah dari itu, dan itu malah perkara yang sangat bagus.     

"Arjuna," kata Wangi lagi, kali ini dia hendak menggenggam tanganku, tapi kutepis.     

"Kamu seharusnya menemuiku lebih awal. Aku pasti akan memberimu undangan,"     

"Undangan?" tanyanya bingung.     

"Undangan. Beberapa hari yang lalu aku telah menikah," jawabku mantab.     

Dan seketika, senyum manis di bibir Wangi pun pudar. Dia langsung memalingkan wajahnya dariku sembari menunduk. Aku ndhak tahu, apa yang ada di dalam pikiranya saat ini. Yang jelas bagiku, adalah perkara yang jahat kalau aku ndhak mengatakannya. Aku harus menjaga hati Manis. Dari perempuan siapa pun itu.     

"Maafkan aku, Arjuna. Bukankah seharusnya itu aku?" tanyanya. Aku masih diam, ndhak mengatakan apa pun. "Apa kamu marah karena kejadian itu, dan aku pergi dari hidupmu?" tanyanya lagi.     

Jujur aku sama sekali ndhak bisa lupa kejadian malam itu, namun demikian aku juga yakin jika perasaanku ndhak keliru. Saat itu, waktu kami masih kuliah di tempat yang sama. Ada satu hari kawan-kawan mengajak kami untuk pergi ke puncak yang ada di Jawa Barat. Dan Wangi adalah satu-satunya perempuan yang saat itu ikut.     

Awalnya semuanya baik-baik saja, tapi saat malam terakhir, ada sebuah permainan yang dipermainkan oleh kawan-kawanku. Mereka minum-minum, kehilangan kesadarannya, dan Wangi nyaris menjadi pelampiasan nafsu mereka. Aku baru tahu jika hal itu adalah perkara yang mereka sengaja, karena mereka terlalu jatuh hati dengan Wangi, tapi ndhak ada satu di antara mereka yang cintanya terbalas.     

Sampai akhirnya, aku dan Wangi berada dalam satu ruangan yang sama, dan saat itu Wangi telah mengalami kedinginan yang sangat hebat. Untuk membuat tubuh Wangi tetap hangat, aku dan dia melakukan cara yang sangat menjijikkan. Saling berpelukan di balik selimut yang sama, dengan tanpa mengenakan busana apa pun.     

Dan tepat pagi hari setelah kejadian itu, Wangi agaknya menjauhiku. Kemudian waktu kelulusan dia hanya berkata kalau dia mendapatkan tawaran pekerjaan di Bandung. Aku sama sekali ndhak merasa bersalah, toh bagiku aku hanya menolong Wangi. Terlebih aku sadar, dan berani menjamin, jika sekalipun aku ndhak menjamah tubuhnya. Kami hanya berpelukan yang hanya benar-benar berpelukan, tanpa melakukan apa pun selain itu. karena tujuannya, agar tubuh Wangi hangat. Itu saja, ndhak lebih dari itu.     

"Ndhak ada yang patut dijadikan kemarahan untuk kejadian yang telah lalu, Wangi. Toh bagaimanapun, di mataku, dari dulu sampai sekarang tetaplah sama. Kamu adalah kawan baikku," kubilang padanya. Wangi kembali tersenyum kecut, seolah apa yang kukatakan sekarang bukanlah sesuatu yang benar-benar dia harapkan. Untuk kemudian, dia menggeser duduknya, sampai jarak kami semakin sempit.     

"Kamu sudah menikah?" tanyaku. Sebab usianya saat ini, kurasa lebih dari cukup untuk sekadar memiliki anak 2 atau 3.     

"Pernah, tapi ndhak jadi," jawabnya.     

"Ndhak jadi maksudnya?"     

"Aku pernah menikah, tapi pernikahan itu ndhak bertahan lama. Kami akhirnya memutuskan untuk berpisah, dan tentu dengan menyakiti hatinya," dia bilang, aku diam, ndhak bertanya apa-apa lagi. Sebab kurasa, itu adalah urusan pribadi. Aku ndhak punya wewenang untuk banyak tanya, kemudian menjadi cerewet seperti Biung yang selalu penasaran dengan gosip-gosip orang sekitar. "Kamu ndhak tanya, kenapa aku sampai bercerai dengan suami-suamiku, Arjuna?"     

"Suami-suami?" tanyaku pada akhirnya, apa dia telah memiliki banyak suami sampai mengatakan hal itu? "Lantas kenapa kamu bercerai dengan mereka?"     

Wangi tersenyum simpul, lalu dia tersenyum semakin hangat. "Aku sudah tiga kali gagal menikah karenamu,"     

"Karenaku?" tanyaku yang semakin bingung. Apa hubungannya denganku? Aku sama sekali ndhak tahu perkara itu.     

"Ya, semuanya karenamu. Sebab tatkala malam-malam pengantin yang kulewati dengan mereka, rasanya benar-benar ndhaks ama dengan yang kurasakan denganmu. Meski kita ndhak melakukan apa-apa dulu. Hanya telanjang berdua di balik selimut itu, dan kamu mendekapku dengan erat, rasanya benar-benar luar biasa, Arjuna. Aku belum bisa merasakan yang itu dengan lelaki lain selainmu."     

Aku menghela napas panjang tatkala Wangi mengatakan itu. Bukankah itu sesuatu yang sedikit risih? Mengatakan hal-hal seperti ini kepada lawan jenis, dan di tempat yang terbuka pula.     

"Itu kan hanya pertolongan. Aku melakukannya karena kamu kawanku, dan aku ndhak mau kamu sampai mati kedinginan. Dan aku juga ndhak bisa meminta bantuan kawan-kawan karena saat itu mereka sedang mabuk. Kurasa, itu adalah hal paling masuk akal yang bisa kulakukan untuk membantumu."     

"Tapi aku tahu jika kamu saat itu juga mau, toh?" tanyanya setengah memaksa. "Aku tahu kalau ada yang menginginkan tubuhku lebih, tapi kamu hanya diam saja."     

"Manusiawi, sebagai laki-laki. Tapi aku ndhak mungkin mengotori kawanku sendiri," bantahku lagi.     

Aku segera mengedarkan pandanganku ke arah belakang, mencari barangkali ada Paklik Sobirin, atau Paklik Junet mencariku. Sebab, jika aku teruskan, ini benar-benar akan menjadi suatu yang bahaya.     

"Wangi, kurasa ini adalah percakapan yang paling menjijikkan yang pernah ada. Benar-benar ndhak pantas bagi seorang perempuan berpendidikan sepertimu membahas perkara ini denganku. Terlebih, ini adalah perkara lalu. Aku adalah seorang Juragan, Wangi. Benar-benar suatu kesalahan jika mengatakan hal-hal seperti ini."     

"Kenapa? Apa kamu malu tentang apa yang pernah kita lakukan dulu? Toh, di sini hanya ada kita berdua, Arjuna? Apa salahnya?"     

"Karena aku memiliki hati yang harus kujaga, yaitu hati istriku. Terlebih, aku sama sekali ndhak menganggap apa pun tentang kejadian waktu itu. Bahkan aku sudah melupakannya," terangku lagi.     

Wangi yang tadinya berwajah percaya diri pun langsung mundur, memandangku seolah ndhak percaya. Sebab jujur, jujur sekali aku sama sekali ndhak menganggap kejadian itu istimewa. Aku hanya menanggap jika benar-benar aku hendak menolongnya, ndhak lebih dari itu. Lagi pula apa salah, toh? Aku menolong kawanku sendiri? Lantas kenapa pertolonganku malah dianggap lain olehnya?     

Lagi pula, di hatiku ini hanya ada satu. Yang hanya cukup satu nama yang bertahta di sana. Manis, ndhak ada satu perempuan pun yang mampu menggeser namanya dari tahtanya.     

"Juragan, ayo pulang."     

Dadaku rasanya lega sekali mendengar suara Paklik Sobirin memanggilku. Setelah aku berdiri, aku pun berpamitan sekadarnya dengan Wangi. Kemudian aku mengajak Paklik Sobirin untuk cepat-cepat pergi.     

"Juragan, siapa gerangan perempuan ayu itu?"     

"Kawanku," kujawab.     

"Ndhak ada hubungan apa-apa, toh? Kasihan Ndoro Manis yang ada di Jakarta, lho, Juragan," kata Paklik Sobirin lagi mengingatkan. Namun aku ndhak menjawab pertanyaan itu selain diam. Apa lagi yang bisa kulakukan memang. Diam, adalah hal terbaik sekarang, terlebih malas menjelaskan kepada orang yang ndhak tahu menahu tentang perkara ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.