JURAGAN ARJUNA

BAB 103



BAB 103

0"Selamat pagi, Den Bagus...," kukerutkan keningku tatkala aku sedang berada di pelataran belakang rumah. Mendengar suara itu menyapaku. Dipanggil dengan sebutan Den Bagus seperti itu, benar-benar menggelitik rasa inginku tertawa. Dan aku tahu dengan jelas, siapa gerangan yang memanggilku itu. Perempuan yang entah bagaimana bisa, berada di sini sekarang. Seharusnya, dia masih berada di Jakarta untuk mentut ilmu. "Ih, kok ya ndhak dijawab, toh!" marahnya.     
0

Aku masih pura-pura ndhak mendengar, dan melihat keberadaannya. Dan sibuk sendiri dengan pohon pepaya yang ada di depanku. Buahnya teramat banyak, dan ada beberapa yang masak dan siap petik.     

Manis—sosok itu berjalan mendekat, sembari menarik-narik bagian belakang kausku dia pun kemudian memelukku dari belakang. Rasanya, indah sekali seperti ini. Jadi, apakah aku harus terus pura-pura mengabaikannya agar dia bersikap semanis ini kepadaku?     

"Ndhak rindu, toh, sama aku,"     

"Endhak...," kujawab. Pelukan itu langsung terlepas, kemudian aku membalikkan badanku, melihat ke arahnya yang wajahnya sudah masam itu. "Yang kurindu itu Manis. Bukan kamu,"     

"Kan aku Manis."     

"Kata siapa kamu Manis? Besar kepala sekali, kamu. Kamu, kan, jelek. Pesek, matanya selebar cobek, bibirnya seperti bibir sapi," ledekku lagi.     

Dia semakin melotot, kemudian bersedekap. Sepertinya, kali ini dia benar-benar marah denganku.     

"Kamu ini, ya!" nah, kan, dia benar-benar marah. "Masak kok istrinya jauh-jauh bali ke Kemuning, ndhak dirindu, ndhak dipeluk. Eh, malah dikata-katain jelek, mata secobek, hidung pesek. Kalau aku sejelek itu, lantas kenapa kamu harus menikahiku!"     

"Duh, duh... becanda, becanda, Sayang....," rayuku. Tapi, Manis sudah berlalu, sembari menepis tanganku. Berjalan terburu ke arah kamar. Sementara Paklik Sobirin yang ndhak sengaja melihat pun tampak terkekeh. Sepertinya, dimarahi Manis adalah perkara yang sangat lucu di matanya. "Apa, Paklik? Mau tak suruh Bulik Amah marahi juga!" sentakku.     

Paklik Sobirin langsung pergi, tanpa mengatakan apa pun. Segera aku masuk ke dalam kamar. Manis sudah duduk di sana, sambil memunggungiku.     

"Eh, ada Manis...," godaku lagi. Tapi, Manis benar-benar ndhak peduli. "Eh ada Manisnya Arjuna, lho, cantik benar, toh. Apalagi kalau sedang cemberut."     

"Oh, jadi aku cantiknya hanya kalau cemberut saja?!" marahnya lagi.     

Sepertinya, aku telah memancing perkara dengan ratu singa. Lihatlah, bagaimana garangnya perempuan satu itu. dan aku baru tahu ini, jikalau dia benar-benar perempuan yang galak sekali. Padahal kupikir, dia itu manis. Tatkala menjadi setengah laki-laki pun dia tampak Manis. Hanya usil, tapi ndhak galak. Ndhak galak sama sekali. Apa ini yang dimaksud sebuah peribahasa, jika hampir sebagian besar semua pekerjaan sehari-hari bisa dilakukan oleh para istri. Itu sebabnya, orang Jawa lebih memilih beristrikan satu. Sebab, satu saja repot, satu saja cerewet betul. Apalagi banyak. Betul, ndhak?     

"Cemberut saja cantik, apalagi senyum? Ah, malah berada jeduk-jeduk jantung ini tatkala melihatnya," rayuku padanya, sembari memeluk tubunya dari belakang. "Kenapa kamu pulang? Bukankah seharusnya ini hari-hari kamu semesteran? Ndhak apa-apa kamu pulang?"     

"Ndhak, ah... lusa aku baru kembali, Kangmas. Sekarang mumpung libur, jadi aku pulang sebentar. Mau melihat ini, lho, Den Bagus mengurusi perkebunan. Dan aku juga mau memantau barangkali ada perempuan sundal yang mau menggoda suamiku."     

Aku tersenyum saja mendengar hal itu. Rupanya cukup peka juga istriku ini perihal hati. Ada Wangi datang, dia pun langsung pulang. Apakah ini yang dinamakan ikatan batin?     

"Omong-omong, ada kawanku yang baru pulang dari Bandung. Takutnya nanti, kamu akan salah paham," kubilang pada akhirnya.     

Manis menarik sebelah alisnya, sembari memandangku dengan tatapan menyelidik. "Siapa? Perempuan?" tanyanya. Sejak kapan dia menjadi posesif seperti ini, toh? Biasanya juga dia ndhak peduli, aku berkawan dengan perempuan mana pun.     

"Wangi, yang dari Berjo itu. Kawan kampusku dulu. Yang masalahnya sempat kuceritakan kepadamu. Apa kamu ingat?" tanyaku lagi.     

Manis tampak menautkan kedua alisnya, sepertinya dia sedang mengingat-ingat tentang perempuan yang bernama Wangi.     

"Oh, yang katamu dulu, kamu menolongnya yang kedinginan berpelukan dengan ndhak pakai apa pun itu di puncak?" tanyanya mengingat.     

Aku lantas menjentikkan jariku, menandakan jika tebakan Manis adalah benar. Rupanya, memorinya cukup banyak juga. Sampai apa pun yang kuberitahu, dia begitu mengingatnya dengan sangat rinci. Apa karena perempuan itu makhluk pengingat paling tajam di dunia? Bahkan sekecil kesalahan kita di masa lalu pun, dia masih ingat, dan bahkan mengungkit-ungkit tatkala ada masalah.     

"Benar, itu!" kubilang. "Dan dia datang, sembari mengungkit-ungkit perkara itu lagi. Benar-benar, aku ndhak paham dengan apa yang dia inginkan," keluhku.     

Manis kemudian tersenyum, melihatku yang tampak bingung. Sepertinya, melihatku bingung adalah hal yang sangat lucu di matanya.     

"Makanya, toh, jadi laki-laki mbok ya ndhak usah sok kecentilan, sok jadi pahlawan. Ada banyak cara untuk menolong, kenapa pula harus berpelukan dengan ndhak memakai apa pun! Perempuan mana yang ndhak akan kepincut jika diperlakukan seperti itu. Iya, toh?"     

"Iya... iya, aku salah. Maaf, seharusnya aku taruh saja perempuan itu di atas panci, kemudian panci itu kuberi air mendidih. Jadi, perempuan itu ndhak akan kedinginan."     

"Terus perempuan itu ikut mendidih,"     

"Kulitnya melepuh,"     

"Matang, dong!"     

"Iya, dan mati."     

"Hahaha, tega benar, kamu, Kangmas!" katanya, sembari memukul lenganku dengan kuat.     

"Biung!"     

Aku, dan Manis langsung menoleh, rupanya Ningrum sudah berada di ambang pintu. Berteriak dengan girang, melihat biungnya sudah pulang. Kemudian dia berlari, sembari memeluk Manis erat-erat.     

"Duh Gusti, anak perawan Biung, sudah besar," kata Manis, sembari membalas pelukan Ningrum, dengan begitu hangat dan sayang.     

"Biung ini ke mana saja, toh. Aku ini lho, rindu. Ndhak Romo saja yang rindu Biung!" gerutunya. Sepertinya, Ningrum cemburu.     

Kemudian, aku duduk di samping Manis. Sembari ikut memeluk Manis, dan Ningrum. Rasanya, benar-benar seperti potret keluarga sempurna. Di mana ada orangtua, dan anak di dalamnya.     

"Kata siapa, toh, Biung ndhak rindu anak Biung yang paling manis ini? Tentu saja Biung rindu. Terlebih, kurang berapa tahun lagi putriku ini akan sekolah ke SMU. Biung selalu doakan dari jauh, agar kamu selalu dapat juara, dan masuk SMU dengan nilai yang membanggakan. Kita berjuang bersama-sama, kita belajar bersama-sama buat bangga Juragan Arjuna, ya,"     

Hanya dengan ucapan itu, hatiku terasa begitu hangat. Hanya dengan kedua wanita terhebat dalam hidupku, hatiku terasa bahagia. Keduanya kembali kupeluk erat-erat, ndhak tahu lagi, apa kata yang pantas untuk menggambarkan kebahagiaan ini. Kurasa untuk kali ini, Gusti Pangeran sangat sayang kepadaku. Karena telah mengirim dua malaikat yang menjadi penerang, serta penghangat dalam kehidupanku. Gusti, tolong jagalah mereka. Jangan pernah biarkan mereka bersedih, apalagi menangis. Dan yang lebih penting dari itu semua adalah, tolong... berikan aku waktu lebih lama untuk bisa berkumpul, dan berbahagia bersama dengan mereka. Amin!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.