JURAGAN ARJUNA

BAB 104



BAB 104

0Sore ini penduduk kampung Berjo sudah ramai memenuhi kediamanku. Karena Romo telah memberikan woro-woro untuk membagikan beberapa kebutuhan pokok untuk para pekerja, beserta mandor yang telah gagal panen karena tembakau-tembakaunya dirusak hama tikus. Sementara di kebun, sekarang tikus-tikus itu sudah mulai pergi. Syukur, rupanya apa yang kuperkirakan adalah benar adanya. Jika saat tikus-tikus gunung itu sudah merasa kenyang, dan persediaan makan mereka di gunung ada, maka mereka ndhak akan turun lagi. Untuk kali ini semua masalah terselesaikan, dan aku harus membuat antisipasi agar tikus-tikus itu ndhak merusak perkebunan lagi. Entah apa caranya, dan bagaimana, yang jelas akan kurundingkan ini kepada para warga nanti.     
0

"Kulanuwun...," suara dari luar. (permisi)     

Aku dan keluargaku menoleh, Wangi sudah berada di ambang pagar, dengan gaya sopannya itu. Malu-malu, kemudian dia mendekat ke arahku.     

Biung yang agaknya bingung, tampak bertanya kepada Manis. Kemudian, Manis membisikkan sesuatu membuat mimik wajah Biung berubah. Biung mengangguk, agaknya dia paham dengan penjelasan dari Manis.     

"Wangi, kawan dari Arjuna," kata Wangi memperkenalkan diri. "Rumahku di Berjo, Ndoro," lanjutnya.     

"Oh, kawan dari Arjuna, toh. Kawan sekolahnya dulu?" tanya Biung lagi. Wangi mengangguk kuat.     

"Iya, Ndoro."     

"Wah, aku baru tahu, lho, kalau Arjuna punya kawan perempuan. Tak pikir, kawan karibnya hanya Manis aja. Ini... yang sekarang jadi menantuku," Biung bilang pada akhirnya.     

"Oh...," gumam Wangi, sembari melirik ke arah Manis yang sudah dipeluk erat oleh Biung. Aku bisa melihat bagaimana tatapan sebal Wangi kepada Manis, untuk kemudian dia memaksakan sebuah senyum kaku. Bisa bahaya kalau Wangi terus-terusan memaksa melangkah lebih jauh dalam keluargaku. Aku ndhak mau, dia melakukan hal yang kiranya bisa membahayakan keluargaku. Terlebih Manis. "Wangi, kawannya Arjuna. Jangan salah paham, ya, Manis," katanya kemudian.     

"Manis," jawab istriku. Senyumnya masih sama, senyum tulus dan sangat lugu. "Aku ndhak akan salah paham kok. Aku percaya dengan suamiku. Lagi pula, kawan suamiku adalah kawanku juga, kan?" kata Manis dengan mantab.     

Selalu bersikap dan berpikiran dingin adalah Manis. Itu sebabnya dia jarang sekali terpancing oleh hal-hal yang kiranya dapat membuatnya marah, apalagi cemburu. Ya, karena saking pandainya dia melakukan itu, dulu sampai aku ndhak tahu, jika dia telah lama jatuh hati denganku. Dia, adalah tikus paling licik yang pernah aku temui.     

"Ohya, ini acara bagi-bagi sembakau. Semua orang sibuk. Jika berkenan, kamu boleh membantu," kata Biung.     

Kami akhirnya larut dalam kegiatan bagi—membagi ini. Sampai akhirnya, acara makan bersama diadakan. Aku tersenyum melihat pemandangan yang sangat jarang ini. sebab biasanya, Romo akan membagi sembakau atau apa pun itu di rumah warga kampung masing-masing. Bukan mengundang mereka seperti ini, kemudian mengajak mereka makan bersama.     

"Melihat ini, Biung jadi ingat kenangan manis waktu dulu...," kata Biung bersuara. Aku yang kebetulan berada di samping Biung pun menoleh, melihat Biung yang pandangannya sudah menerawang bebas pada masa lalu yang katanya manis itu. "Dulu kamu tahu, ndhak. Pertama kali Biung bertemu dengan romomu, adalah di saat seperti ini."     

"Seperti ini? Maksud Biung, Romo Adrian dulu juga pernah mengadakan acara makan bersama warga kampung seperti ini?" tanyaku. Biung pun mengangguk.     

"Iya, dulu, waktu pertama kali romomu pindah rumah dari Jawa Timur ke Kemuning ini, seluruh warga kampung diundang untuk acara makan bersama serta diberi beberapa keperluan makan pokok. Biung, dan Eyang Buyutmu dulu datang paling belakang. Biung mengantre menerima sembako, dan uang yang diberikan oleh romomu. Kemudian, hal-hal yang ada pada romomu seolah menjadi hal-hal yang paling mengagumkan. Tatapannya, senyumannya, suaranya, bahkan... wajahnya. Gusti, rasanya baru kemarin hal itu baru terjadi. Benar-benar ndhak terasa, kini orangnya sudah pergi,"     

Gusti, sampai kapan Biung akan terus mengingat kenangan-kenangan indah itu? seolah semuanya terpatri sempurna di relung sanubari biungku. Aku sama sekali ndhak pernah menyangka, jika ada pecinta yang sesempurna Biung. Bahkan bagian detil dari Romo, ndhak ada satu pun yang terlewatkan. Ndhak ada bagian satu pun yang buruk. Di mata Biung, Romo adalah sosok yang paling sempurna yang seolah tanpa cela.     

Jadi, bisa kutarik kesimpulan jika perkara malam ini adalah salah satu dari ide Biung. Dia ingin melakukan apa yang telah Romo Adrian lakukan dulu. Dia ingin sekadar mengingat kenangan-kenangan indahnya dulu dengan Romo. Terlebih kata Paklik Sobirin, semenjak kedatangan Romo Adrian, sampai aku sebesar ini, setiap inci dari bangunan ini sebisa mungkin ndhak diubah sedikitpun. Dan aku yakin, alasan kenapa Biung melakukannya. Itu semata-mata, demi menjaga, setiap jengkal kenangan-kenangan indahnya dengan Romo Adrian pada setiap sudut tempat ini akan terjaga indah di dalam relung hatinya.     

Biung, aku benar-benar sangat iri, pada pecinta yang sempurna sepertimu. Rasanya, aku juga sangat iri, pada pecinta seperti Romo Adrian. Lebih, lebih... pecinta seperti Romo Nathan. Aku ingin ndhak tergoyahkan, dan menggenggam cintaku kepada satu hati, mengabaikan siapa pun yang mencoba mendekati. Namun nyatanya, aku ndhak sebaik itu. Aku ndhak sejantan itu, sampai berkali-kali aku jatuh, dalam dekapan sebuah cinta semu, yang ditawarkan oleh manusia fana itu.     

Dan setelah itu, sosok yang kulihat adalah Romo Nathan, sang kesatria terhebat dalam perkara cinta. Dia tampak begitu gagah, dan sangat bijak sana. Bahkan, dia ikut duduk di plester, ikut makan di bawah bersama dengan warga kampung lainnya. Tanpa ada jarak, tanpa ada sekat di antara mereka.     

Gusti, siapa sebenarnya Romo Nathan ini? Apakah dia benar-benar manusia? Ataukah dia adalah salah satu dari Dewa yang kirimkan Gusti Pangeran ke bumi? Kenapa ada manusia sebaik Romo Nathan, Gusti? Kenapa?     

"Bagaimana, enak ndhak sayurnya? Ini istriku sendiri, lho, yang masak buat kalian. Spesial," sayup-sayup kudengar ucapan Romo Nathan, yang tampak membanggakan biungku dengan begitu nyata. Dan semakin aku mendengar perkara seperti itu, hatiku terasa ikut sakit. Aku benar-benar penasaran, bagaimana perasaan Romo Nathan tatkala Biung masih mengingat-ingat Romo Adrian, ya? Bagaimana?     

"Wah, pantas benar rasanya beda! Sayur ini, benar-benar nikmat sekali, Juragan!" seru salah satu pekerja kebun. Dia kemudian memakannya dengan sangat lahap. Membuat Romo Nathan tampak tertawa, menepuk-nepuk bahu pekerja itu dengan pelan.     

"Pelan-pelan, ndhak perlu seperti itu. Nanti jika kurang, kamu tinggal minta tambah pada abdi dalem, ya. Jangan sungkan-sungkan."     

"Duh Gusti Juragan Nathan, mulia benar, toh, panjenengan (Anda) ini? Baru kali ini aku melihat seorang Juragan, yang bahkan rela ikut makan bersama kami rakyat biasa di plesteran seperti ini. Dan bercengkerama tanpa memandang kasta seperti ini. Pantas saja jika warga Kemuning dan kampung-kampung lain segan kepada Juragan. Itu bukan karena mereka takut, akan tetapi kebaikan Juragan yang mampu menyentuh hati kami—rakyat kecillah yang telah membuat kami patuh, dan hormat kepada Juragan dengan tulus dan tanpa imbalan apa pun,"     

"Wah, aku terimakasih, jika kalian bersedia berlaku seperti itu. Sebab jika endhak, maka akan kupaksa!" guyon Romo Nathan.     

Lantas aku ikut duduk, di samping Romo Nathan berada. Membuatnya menoleh di sampingku.     

"Ada apa?"     

"Aku bangga punya Romo seperti Juragan Nathan Hendarmoko," bisikku kepadanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.