JURAGAN ARJUNA

BAB 105



BAB 105

0"Jadi, untuk apa kamu bertandang lagi ke sini?" tanya Biung pagi ini, yang acara sarapan keluarga kami harus tertunda, karena kehadian Wangi, lagi.     
0

Entah apa lagi yang hendak ia lakukan sampai dia terus-terusan berada di rumahku. Padahal, dia ndhak sedang dekat dengan siapa pun, tapi dia selalu datang dengan percaya dirinya. Aku rasa, mukanya cukup tebal untuk sekadar cari muka sampai di sini.     

"Uhm, begini, lho, Ndoro. Katanya, Ndoro Larasati ini memiliki rumah pintar yang didirikan di kampung-kampung. Berhubung aku memiliki niat untuk membuka usaha, dan ingin mengisi waktuku yang luang, aku ingin sekali jika diizinkan untuk sesekali berkunjung ke rumah pintar, dan sekadar membantu mengajar di sana,"     

"Wah, ide bagus itu, Mbakyu. Apalagi di Kemuning, ndhak hanya rumah pintar saja, tapi ada usaha desa yang khusus digunakan oleh perempuan-perempuan remaja yang kiranya ingin berkarya juga mendapatkan penghasilan. Mereka belajar menjahit, dan membantik, menganyam beberapa kerajinan, dan lain sebagainya. Hasil dari usaha mereka itu, kemudian dikirim ke kota untuk dijual, kemudian uangnya dibagi secara adil sebagai upah untuk mereka. Tentu, setelah dipotong sebagai tabungan untuk membeli kembali peralatan pokok yang hendak mereka gunakan," semangat Manis. Lihatlah, dia bahkan sudah lupa dengan lauk-pauk yang ada di depannya, padahal sedari pagi, dia sudah mengeluh kelaparan.     

"Oh, seperti itu, ya? Sepertinya menarik sekali. Jadi, Arjuna bisa, toh, kamu mengantarkanku untuk berkunjung ke rumah pintar yang ada di sini?"     

"Aku sibuk," tolakku mentah-mentah.     

"Oh, perkara itu kenapa harus diantar oleh Arjuna? Dia ndhak ada sangkut pautnya dengan pengurusan rumah pintar. Kalau kamu mau, kamu bisa diantarkan oleh menantuku yang paling cantik sedunia ini," kini giliran Biung berbicara.     

Mendengar jika Biung mengatakan hal itu, sepertinya aku mulai curiga. Sejak kapan Biung jadi sok ketus seperti Romo Nathan? Padahal toh biasanya, dia manusia yang paling ndhak peka dengan gelagat dan perasaan seseorang.     

"Baiklah, Ndoro."     

"Sini, Mbakyu, ikut sarapan dulu. Setelah ini aku akan mengantarkanmu ke rumah pintar."     

Tanpa ada percakapan lagi, Wangi pun langsung duduk di antara kami. Menikmati sarapan di keluarga ini dalam diam. Semuanya khidmat menikmati sarapan, dan sepertinya hanya aku yang selalu menggoda Manis, sampai sesekali dia mencubit pinggangku. Lihatlah, dia sudah pandai mencubit pinggang, rupanya. Belum tahu, dia, nanti malam akan kucubiti tubuhnya dengan bibirku ini.     

"Apa?" tanyanya yang tampak jengkel.     

"Aku sayang kamu," bisikku dengan senyum yang kubuat-buat.     

"Aku ndhak dengar."     

"Aku sayang Manis!" ucapku yang tambah keras. Kini, semua orang yang ada di balai ini pun tampak menoleh, membuat Manis langsung mencubir pinggangku lagi. Aku yakin, jika pinggangku sudah merah-merah, sekarang karena dicubit Manis berkali-kali.     

"Kalian ini, tahu tata krama makan, toh? Ndhak usah sok romantis-romantisan, begitu, lho. Sepet mata dan telingaku ini lihatnya," ketus Romo Nathan.     

"Ya sudah, ayo Mbakyu, kalau kamu hendak ke rumah pintar mari aku antar,"     

"Aku ndhak perlu mengantarmu?"     

"Perlu,"     

"Endhak."     

Ini bagaimana, toh, siapa yang istriku rupanya? Kenapa malah Wangi yang tampak semangat tatkala aku tawari untuk mengantar.     

"Yang istri siapa, yang kawan siapa, semangat benar minta diantar suami orang," celetuk Romo Nathan. Tatapannya dingin, dan tajam, seolah dia ingin segera menguliti Wangi saat ini juga.     

"Ndhak usah, katanya kamu ada urusan sama Romo. Lagi pula, nanti sore kamu harus mengantarku ke Jakarta, jadi aku ndhak mau kamu lelah, ya," kata Manis lagi. segera menarik tangan Wangi, berpamitan, kemudian keluar dari rumah.     

"Perempuan zaman sekarang kenapa berbeda benar dengan perempuan zaman dulu. Dulu, perempuan itu memiliki santun, pemalu, dan lemah-lembut. Kalau ndhak pemuda yang datang terlebih dulu, mereka pasti dengan sabar menunggu. Bahkan, tatkala dipersunting dengan pemuda yang ia cinta saja mereka masih malu-malu. Lha perempuan zaman sekarang? Duh Gusti, bikin ngelus dada," celetuk Biung setelah melihat Wangi pergi dari sini.     

"Dulu, banyak lho perempuan seperti Wangi itu. Aku juga sering menemuinya."     

"Ah, masak?"     

"Kamu kan tipikal manusia yang hatinya terbuat dari terumbu karang, mana paham hal yang begituan," sindir Romo. Aku nyaris tersedak mendengar sindiran yang benar-benar lucu itu. Ada ndhak sebutan lain yang pantas untuk Biung selain terumbu karang? Dasar, Romo ini. "Banyak, dulu aku juga seperti Arjuna. Banyak benar perempuan yang merayuku kesana-kesini karena ingin dipersunting olehku. Sampai bingung aku milihnya."     

"Ehm, masak? Kok aku ndhak percaya, ya? Kalau memang benar Kangmas banyak yang mempersunting, kok sampai perkara xalon istri saja harus dicarikan oleh Kangmas Adrian?"     

"Lha posisinya aku ndhak mau, aku ndhak minat sama mereka, bagaimana?" kata Romo ndhak mau kalah. "Urusan hati itu ndhak bisa dipaksa. Terlebih tatkala hati telah terpatri oleh satu nama."     

"Siapa?"     

"Kamu," jawab Romo Nathan dengan singkat, dan lugas. Seketika, raut wajah Biung memerah, dia menundukkan wajahnya malu-malu. Aku tahu, jika Biung sekarang tersipu karena penuturan lugas dari Romo Nathan itu. Percayalah, meski Romo Nathan adalah laki-laki yang ndhak bisa romantis. Tapi, perkataannya yang cenderung lugas, dan jujur mampu membuat Biung, dan bahkan semua perempuan di muka bumi ini akan langsung jatuh ke pelukannya tanpa ampun. "Masak hal segamblang itu masih ndhak tahu. Kamu ini benar-benar," gerutunya kemudian.     

"Lha wong kamu ndhak bilang kok sedari dulu."     

"Sedari dulu kapan? Bukannya kamu sibuk dengan Kangmas Adrian?"     

"Ya pas kita menikah itu, toh."     

"Kamu saja sibuk membenciku, bagaimana bisa aku mengatakan hal itu kepadamu."     

"Ya kan mungkin ceritanya akan beda," keras kepala Biung. Biung ini sebenarnya berharap, jika Romo akan merayu-rayunya. Terlebih dari itu adalah, Biung agaknya sedikit menyesal. Kenapa dulu dia ndhak peka dengan perasaan Romo Nathan yang sangat nyata. Makanya dia sampai sengotot ini sekarang. "Andai kamu bilang sedari dulu, aku kan pasti—"     

"Pasti apa? Kabur? Marah? Melempariku peralatan masak? Atau memukulku?"     

Biung langsung diam, tatkala Romo Nathan mengatakan itu. Sepertinya, dia merasa bersalah sekarang.     

"Maaf," kata Biung pada akhirnya. Rasanya, aku malah seperti melihat kisah cinta romansa dua insan yang usianya sudah senja, sekarang. Seperti halnya lakon-lakon dalam pewayangan yang sangat menjunjung tinggi cinta sejatinya. Seperti halnya Rama, dan Sinta.     

"Aku ndhak butuh permintaan maafmu," kata Romo masih ketus. Romo ini habis makan mercon atau apa, toh? Kenapa pedas benar ucapannya. Apakah karena semalam Biung terus mengenang Romo Adrian, dan Romo Nathan tahu akan hal itu? "Aku mau kamu bilang terimakasih," lanjutnya, yang berhasil membuatku juga Biung bingung.     

"Kenapa terimakasih?"     

"Terimakasih karena telah hanya mencintaimu, dan setia kepadamu sampai saat ini."     

Biung langsung memeluk Romo Nathan, kemudian mencium pipinya. Aku yang melihat itu, langsung menangis dibuatnya. Duh Gusti, manis benar dua orang ini. Sampai-sampai membuatku merasa terharu seperti ini.     

"Terimakasih atas cintamu yang luar biasa ini, Kangmas. Aku mencintaimu," kata Biung.     

Ah, sudah... sudah, sepertinya aku harus pergi dari sini sekarang. Terlebih, semua abdi dalem yang ada di sini tampaknya sudah undur diri. Aku ndhak mau merasa iri sendiri, lebih baik aku menyusul Manis. Sembari menunggu Romo, dan Biung melepas rasa cinta mereka yang membara itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.