JURAGAN ARJUNA

BAB 106



BAB 106

0"Hey, Juragan! Lama ndhak bertemu, ke mana saja?" sapa salah seorang kawanku di Kemuning. Yang tampaknya, mereka sedang minum kopi bersama kawan-kawannya, setelah pergi ke ladang.     
0

Kulambaikan tanganku kepadanya, kemudian kusambut ucapannya dengan senyum lebar. Aku, meski jarang kumpul dengan mereka—kawan-kawanku, tapi kami cukup dekat untuk sekadar tegur sapa sebagai kawan seperti ini.     

"Sibuk dengan kebun tembakau di Berjo!" jawabku, dengan nada tinggi, tentunya. Agar mereka mendengarnya.     

"Sini, mampir. Ngopi!" ajaknya lagi. Aku pun menggeleng, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dengan Romo. Sebelum aku istirahat sebentar kemudian pergi mengantar Manis kembali ke Jakarta.     

"Aku ke rumah pintar sebentar, ya. Silakan nikmati kopinya. Tinggalkan saja, nanti biar dibayar Paklik Junet!" kubilang lagi. Tatkala menangkap Paklik Junet, yang tampaknya berjalan ke arah warung itu.     

"Wah, terimakasih, Juragan! Sering-sering!" ujarnya.     

Aku langsung berjalan melewati mereka, menuju rumah pintar sembari berjalan kaki. Menikmati hijaunya pemandangan, hitung-hitung olahraga pagi. Sekadar akan makananku turun dengan segera ke lambung, tentunya.     

Aku melihat rumah pintar dari ujung mataku tampak sepi. Sepertinya, orang-orang yang bekerja di sana belum datang. Maklum saja, semua buruh, dan warga kampung yang muda-muda pasti masih sibuk dengan pekerjaan mereka.     

Biasanya, rumah pintar akan ramai pada jam 10.00 pagi, kemudian sepi pada siang hari. Dan sore setelah para perempuan memasak, dan beberes rumah di sana akan ramai kembali. Kadang pula sampai malam, atau malah sampai tengah malam. Itu tergantung dari seberapa banyak urusan pekerjaan yang harus disiapkan. Lebih-lebih, di sini akan ada wahana wisata. Wah, antusias perempuan-perempuan di sini, semangat benar. Bahkan ada yang hendak membuka warung makan, ada yang mau membuka toko oleh-oleh khas Kemuning, atau Ngargoyoso, dan lain sebagainya. Kalau aku, bagian yang setuju saja. Dan tatkala mereka kesulitan dana, aku siap dengan senang hati membantunya.     

"Dia adalah kawanku...," suara itu membuatku mengerutkan kening, dan berhasil membuatku yang hendak mendekat mengurungkan niat. "Arjuna, dia adalah kawan baikku," jelas Wangi.     

Aku memilih duduk di kursi luar ruang rumah pintar, sementara mereka berdua berada di dalam. Sembari menata buku-buku, juga beberapa hal yang ada di sana. Belum ada jawaban dari Manis, tapi aku cukup penasaran dengan apa yang hendak ia katakan sebagai jawaban atas itu.     

"Aku senang, jika Kangmas memiliki banyak kawan. Itu tandanya jika suamiku adalah orang yang baik," aku tersenyum mendengar jawaban Manis yang seperti itu. Tentu, jawabannya adalah hal yang sangat tenang. Seolah-olah, ia hendak menekankan jika memang kawanku itu banyak. Ndhak hanya Wangi.     

"Tapi kamu tahu, toh, jika Arjuna jarang sekali memiliki kawan perempuan, yang cenderung dekat?" tanya Wangi lagi. Kulirik Manis tampak mengangguk paham, kemudian dia memberikan sebuah buku kepada Wangi untuk di tata di bagian sebelah kanan deretan rak buku.     

"Iya, Mbakyu, aku juga tahu. Toh aku juga salah satu kawannya dulu, sebelum aku menjadi istrinya," jawabnya kemudian. "Dia banyak bicara, dan suka bercerita tentang siapa-siapa kawan baiknya. Termasuk Mbakyu Wangi ini,"     

"Lho, Arjuna cerita ke kamu tentang aku?" tanya Wangi yang agaknya kaget. Manis masih tersenyum, kemudian dia kembali mengangguk kuat. "Seberapa banyak?" selidik Wangi kemudian.     

"Semuanya, dia cerita semuanya," jawab Manis lagi.     

Kini Wangi tampak tersenyum kecut, matanya memandang aneh Manis yang tampak menunduk. Menekuni beberapa benda yang ada di tangannya. Aku ndhak bisa menebak, jenis senyuman macam apa yang ditampilkan oleh Wangi. Namun aku tahu, itu bukanlah senyuman yang baik. Sebab aku tahu, jika Wangi saat ini memiliki tabiat yang endhak baik.     

"Aku yakin, dia ndhak akan cerita semuanya. Paling-paling, hanya bagian luarnya saja. Sebenarnya, banyak benar hal-hal intim yang telah kami lakukan, berdua," ucap Wangi lagi.     

Manis tampak memandang Wangi kaget, dan itu membuat hatiku ndhak enak. Apakah istriku akan terpancing ucapan dari Wangi? Semoga, dia ndhak mempedulikannya. Sebab aku tahu Manis itu perempuan seperti apa.     

"Tahu...," jawab Manis lagi, senyumannya masih sama, begitu ramah. Mimik wajahnya masih sama, begitu tenang. Dan itulah yang aku harapkan tatkala dia menghadapi perempuan seperti Wangi. "Kalau saat kalian berlibur di Jawa Barat, saat Mbakyu kedinginan, dia menolongmu dengan memelukmu sambil kalian ndhak mengenakan sehelai kain pun, toh?"     

Aku bisa melihat, mimik wajah Wangi yang agaknya kaget luar biasa. Wajanya memerah, seolah apa yang telah diketahui oleh Manis adalah perkara yang melampaui batasnya.     

"Mbakyu, sebenarnya di dalam hidup Kangmas Arjuna banyak sekali perempuan-perempuan yang berlalu lalang. Dan aku, adalah kawannya yang mengenal dia bahkan tatkala ia kecil dulu. Jadi, aku tahu bagaimana dia, seluk-beluk dia, keburukannya dia, dan bagaimana dia ndhak paham tentang perasaannya, sampai-sampai mengira iba adalah cinta. Mbakyu tahu, dia malah pernah jatuh hati kepada seorang perempuan bersuami...," kata Manis menerangkan, kemudian dia tersenyum simpul. "Membuat kisruh biduk rumah tangga orang lain, dan membuat rumah tangga itu hampir terpecah belah. Dan Mbakyu tahu, apa saja yang telah mereka lakukan bahkan di depan mataku?" tanya Manis lagi, kini dia mencatat sesuatu yang ada di dalam sebuah buku. "Bahkan hal yang lebih, lebih... dari apa yang dia lakukan kepada Mbakyu dulu."     

"Aku baru tahu, kalau Arjuna bisa seperti itu," guman Wangi. Dan itu berhasil membuat Manis kembali tersenyum lagi.     

"Andai Mbakyu tahu bagaimana kisah cinta Romo Nathan, dan Biung Larasati. Pastilah Mbakyu akan iri sekali. Sikap Kangmas Arjuna, dan Romo Nathan itu jauh... jauh sekali. Bahkan, aku yang perempuan pun ndhak munafik, aku juga merasa mendamba dapat dicintai dengan gila dan seutuh itu oleh seorang pemuda. Namun, Mbakyu, pada hakikatnya seorang yang setia itu ndhak melulu dia yang selalu teguh pendirian dan ndhak bisa tergoyahkan dengan berbagai rayuan. Tapi, salah satu dari devinisi setia adalah, seberapa pun perempuan yang datang, dan sejauh mana pun dia pergi. Maka, dia akan tahu jalan untuk kembali. Bukankah seperti itu, Mbakyu?"     

Lagi, Wangi tampak diam membisu. Sepertinya, dia sudah ndhak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat Manis cemburu. Aku tahu, biar bagaimana pun Manis adalah Manis. Manis adalah perempuan istimewa yang benar-benar ndhak bisa digoyahkan dalam perkara cinta. Terbukti, jika cinta dalam diamnya saja mampu ia simpan selama itu, tanpa sepengetahuanku pula. Gusti, selalu jaga Manisku, jangan pernah engkau jauhkan dariku. Selalu berikan kepercayaannya kepadaku, sebab aku janji, aku ndhak akan pernah mengecewakannya jauh dari itu. Dulu, aku memang terlalu berengsek, muda tergoda dan mengartikan semuanya adalah rasa cinta. Namun sejatinya sekarang aku pun tahu, cinta bukanlah perkara yang akan datang dengan mudahnya. Cinta, ndhak semuda itu untuk pulang dan pergi. Sebab cinta, ibarat sebuah rumah. Sejauh mana pun kita melalang buana, rumah adalah akhir dari tujuan kita untuk menikmati masa-masa tua. Atau bahkan, rumah adalah tempat ternyaman untuk kita pulang. Manis, kamu adalah rumah ternyamanku. Dan aku ndhak akan pernah membiarkan orang lain menggantikan rumahku. Sebab kamu satu, dan satu-satunya dalam hidupku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.