JURAGAN ARJUNA

BAB 107



BAB 107

0Aku diam sejenak, masih enggan untuk menganggu mereka. Meski, suasana yang tercipta kini hanyalah hening semata. Manis tampak menunduk, masih dengan pikirannya yang berkecamuk, mungkin. Sementara Wangi, agaknya dia diam, sesekali memandang Manis tanpa mengedipkan mata.     
0

Sejatinya memang akan seperti itu, dari dulu, bahkan aku rasa sampai nanti dunia menjadi tua. Semua akan menjadi perkara yang sama. Perempuan akan mudah jatuh hati, bukan hanya kesempurnaan fisik laki-laki, sebab materi adalah pondasi utama untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik lagi. Bagi perempuan yang lelah dengan sulitnya hidup, ndhak menutup kemungkinan jika menikah dengan laki-laki mapan adalah jalan pintas yang akan ia lakukan. Bahkan kadang, mereka ndhak peduli kalau-kalau laki-laki itu sudah beristri. Merebut atau menjadi yang kedua pun menjadi hal yang sah-sah saja untuk mereka.     

"Manis, maafkanlah aku. Jika nyatanya aku telah keliru," suara itu terdengar sangat pelan, dengan nada yang bergetar. Kulirik lagi, Manis tampak menoleh. Untuk kemudian, dia mengelus lengan Wangi yang kini tengah menangis. "Dulu, aku pergi ndhak pernah bilang kepada Arjuna. Sebab aku merasa malu bukan main, sebagai seorang perempuan, di atas ranjang dengan kawan laki-lakinya, berpelukan dengan ndhak memakai pakaian. Dan entah kenapa, semenjak kejadian itu pikiranku terus tertuju kepada Arjuna. Lambat laun, tatkala Romo melihat aku ndhak kunjung memiliki kekasih hati, tawaran-tawaran perjodohan itu kian muncul dengan begitu sering. Sampai saatnya, aku sudah cukup lelah untuk menunggu. Barangkali Arjuna akan datang, terlebih terus-terusan didesak oleh Romo karena umurku yang semakin matang. Hingga akhirnya, pernikahanku pertama berjalan. Namun nyatanya, gagal di tengah jalan," lagi, Wangi kembali terisak. "Aku ndhak bisa, Manis. Aku ndhak bisa melayani suamiku dengan sepenuh hati. Aku melayaninya, tapi sosok yang kubayangkan tengah kulayani adalah Arjuna. Hingga akhirnya suamiku tahu, untuk kemudian dia memutuskan berpisah denganku. Dan sampailah kepada pernikahanku yang ketiga, yang bernasib hampir sama. Sayangnya, dia ndhak serta-merta melepaskanku begitu saja. Setelah puas mempermalukanku dengan cara menyuruhku melayaninya di depan kawan-kawannya, dia langsung meninggalkanku begitu saja. Itulah alasan kenapa aku kembali ke Ngargoyoso, karena aku berharap, barangkali aku masih memiliki harapan meski itu sedikit. Barangkali Arjuna juga menungguku di sini. Atau paling endhak... barangkali Arjuna memiliki sedikit saja perasaan yang sama seperti apa yang aku rasakan."     

"Mbakyu—"     

"Namun nyatanya aku telah keliru, kenyataannya memang bukan seperti itu. Pantas jika selama aku berkawan dengannya, selalu ada skat yang ndhak kasat mata. Dia memang mudah bergaul dengan perempuan siapa saja. Dia ramah, juga penyayang. Namun, tatkala hubungan itu akan berjalan lebih dekat dan dalam. Arjuna selalu bergerak mundur dan menjauh. Ndhak hanya sekali kurasa, tapi berkali-kali. Dan kawan-kawan perempuanku pun juga merasakan hal yang sama. Dulu, kami ndhak tahu penyebabnya apa. Bisa jadi karena Arjuna ingin dikejar layaknya Juragan yang memiliki ego tinggi atasnya. Namun, hari ini... selama bertahun-tahun baru kali ini aku tahu jawabannya, Manis. Kamu," lagi, Wangi tampak menghentikan ucapannya, dengan kasar dia mengusap air matanya, kemudian kedua tangannya mengenggam lengan Manis erat-erat. "Bisa jadi dulu memang Arjuna ndhak sadar dengan perasaannya. Itu sebabnya dia pun denganmu ndhak bisa memastikan jika dia telah jatuh hati kepadamu, toh. Karena dengan perempuan lain, dia tampak dekat, tapi sejatinya dia sangat jauh, dah dingin. Dia menutup pintu rapat-rapat. Bahkan denganku, yang sudah seintim itu, Manis. Dia seolah enggan menyentuhku. Dan sekarang aku tahu jawabannya, itu karenamu. Karena jauh di dalam hatinya telah ada kamu di sana."     

Manis tersenyum mendengar penuturan panjang lebar dari Wangi. Sepertinya, ucapan Wangi dianggap benar-benar ndhak masuk akal olehnya. Untuk kemudian, Manis menghela napas panjang. Kemudian dia memandang ke arah jendela, yang membuat aku seketika menunduk biar dia ndhak melihatku ada di sini.     

"Mbakyu berpikir terlalu jauh. Terlebih, pikiran itu tentang seorang yang bernama Arjuna Hendarmoko...," katanya membuka suara. "Dia itu bukan seperti itu, ndhak seperti itu. Malah kurasa, dia ini bodohnya ndhak ampun-ampun." Kurang ajar benar istriku satu itu, kenapa dia bisa menghina suaminya sebagai pemuda bodoh, toh! Mbok ya dibaik-baikin kalau di depan orang. Malah menghina bodoh. Ndhak jelas ini Manis. "Kalau sedari dulu hatinya hanya untukku, ndhak mungkin dia berkali-kali tergoda dengan perempuan lain, toh, Mbakyu. Andai saja dulu Mbakyu tahu, bagaimana keras kepalanya dia dengan perempuan yang sudah bersuami itu. Mbakyu yang secintanya ini dengan Arjuna sekarang, pasti lebih milih mundur sama sepertiku."     

"Jadi gimana, toh, itu, Manis?"     

"Ya seperti itu, dia dengan keras kepalanya bilang kalau telah menemukan perempuan yang dia cinta. Yaitu perempuan yang sudah bersuami. Hanya karena perempuan itu dalam ekonomi yang ndhak punya, terlebih disiksa suaminya. Malah, entah sudah tidur apa endhak itu sama perempuan itu. Sering aku lihat keduanya keluar dari kamar Simbah yang punya warung di tengah kebun teh itu, sambil merapikan baju,"     

"Lho, yang bener, toh, itu? Arjuna seperti itu?" tanya Wangi tampak keheranan.     

"Iya, bener. Bener-bener cap Juragan zaman dahulu, itu, lho. Yang mau enaknya saja sama perempuan. Ketika sudah mendapatkan langsung ditinggal begitu saja. Enak, toh, dia merasakan banyak tubuh perempuan," sindirnya lagi.     

"Aku ndhak begitu, lho! Aku ndhak tidur dengan Arni, demi Gusti Pangeran itu!" kataku. Yang langsung masuk ke dalam rumah pintar.     

Tapi, Manis dan Wangi malah tertawa. Seolah-olah pembelaanku adalah hal yang lucu bagi mereka. Ada apa, toh, ini? Apa mereka tengah mempermainkanku, sekarang? Atau malah mereka sebenarnya sudah tahu, kalau aku sedari tadi menguping?     

"Makanya, toh, mbok ya kalau ada sesama perempuan bicara serius itu ndhak usah nguping. Wibawamu sebagai Juragan itu lho, benar-benar hilang," ledeknya kemudian.     

Kutebas kemejaku kemudian aku melotot padanya, dasar istriku satu ini. Pandai benar dia meledekku, toh.     

"Kamu ini istriku atau bukan, toh, Manis? Kok tega benar kamu meledek suamimu sendiri seperti itu? Aku itu bukan menguping, asal kalian tahu itu!" seruku ndhak terima. Enak saja, tega-teganya dia bilang aku menguping. Terlebih Wangi, lihatlah tatapannya. Benar-benar menghancurkan harga diriku sebagai seorang Juragan saja.     

"Lantas, kalau kamu ndhak menguping, apa yang kamu lakukan sedari tadi di balik dinding itu, Juragan? Nyari capung? Nyari nyamuk? Atau... menghitung banyaknya semut yang merayap di dinding?" kini Wangi yang mengejekku.     

Dan lagi, keduanya tampak tertawa, sembari bertos ria. Seolah, membuatku malu adalah tujuan utama agar mereka bisa bahagia.     

Kuembuskan napasku berat, lebih baik aku pergi dari sini. Sebelum harga diriku diinjak-injak oleh dua perempuan ndhak waras ini. Ikut bersama dengan Romo ke Berjo, atau ke mana pun, rasanya lebih menyenangkan jika harus melihat wajah menyebalkannya mereka.     

"Istriku yang lucu, sepertinya nanti kamu ke Jakartanya diantar Paklik Sobirin saja. Aku masih ndhak enak hati sama kamu hari ini," ketusku.     

Manis langsung melotot, mulutnya pun ikut melongo. Biarkan dia kaget, dan berpikir jika benar aku ndhak mau mengantarkannya ke Jakarta. Rasakan saja!     

"Sudah ndhak usah cemas. Kalau Juragan lembek itu ndhak mau mengantarmu, aku akan mengantarmu. Sekalian, aku juga ingin mendengar cerita lebih banyak perkara Juragan lembek itu. Sepertinya kisah cintanya itu lumayan seru. Dan banyak pula, toh perempuan yang mau sama dia,"     

"Sepertinya, ndhak mau sama dia, Mbakyu. Tapi, sama pangkatnya saja"     

Aku langsung pergi tanpa mengatakan apa pun. Lebih baik pergi, dari pada kupingku panas mendengar ejekan mereka. Harga diriku sebagai laki-laki terutama Juragan, benar-benar telah dilecehkan karena mereka.     

"Juragan, hendak ke mana? Kok jalan kaki saja, toh," sapa Suwoto, kutarik sebelah alisku. Melihat Suwoto tampak membawa setumpuk kayu bakar. Aneh, benar-benar aneh. "oh, ini...," katanya, saat dia tahu aku melihat ke arah kayu bakar yang dia bawa. "Disuruh bantu abdi dalem, untuk membawakan kayu bakar. Semua abdi laki-laki ndhak ada di rumah. Jadi, mau ndhak mau aku yang disuruh," jelasnya kemudian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.