JURAGAN ARJUNA

BAB 108



BAB 108

0Dasar, mereka. Pintar benar memperdaya Suwoto. Mereka ndhak tahu, apa, toh, jika Suwoto ini adalah tangan kananku. Bagaimana bisa, ibaratnya saja, pembunuh, malah disuruh-suruh bawa kayu bakar seperti ini. Pasti, perempuan-perempuan berkebaya khas orang zaman dulu itu cekikikan, sembari melihat Suwoto kuwalahan membawa kayu bakar. Sebab jelas, tepat di belakang kebun Paklik Sobirin baru saja menebang pohon yang sudah tua, dan mungkin kayunya sudah layak untuk dibuat memasak.     
0

"Mungkin mereka jatuh hati kepadamu, itu sebabnya mereka suka cari perhatian. Ah, biasa... perempuan," kubilang.     

Suwoto berjalan, dan aku pun berjalan di sampingnya. Menikmati lalu-lalang orang-orang, sembari menghirup udara segar.     

"Ndhak apa-apa, Juragan. Saya malah senang," katanya lagi. Aku menoleh ke arah Suwoto keheranan. Bagaimana, toh, dia bisa senang, jika dipermainkan oleh para perempuan ndhak jelas itu. "Selama ini, semua orang yang kenal aku, semuanya takut. Ndhak pernah ada satu orang pun yang kiranya sudi berkawan denganku yang benar-benar berkawan tulus. Mereka dekat, mereka baik, karena mereka ndhak mau dan takut jika sewaktu-waktu aku sakiti mereka. Padahal, yang saya cari bukan itu," mendengar ucapan Suwoto, sekarang aku mulai paham. Sebab apa dia sangat bahagia disuruh-suruh seperti ini. "Namun di sini, saya merasa jika saya adalah manusia. Saya dianggap sebagai manusia oleh mereka, Juragan. Mereka menganggap saya layaknya kawan-kawan mereka pada umumnya. Ndhak ada pandangan takut, ndhak ada pandangan aneh-aneh lagi yang saya lihat dari orang-orang yang memandang saya. Saya merasa, saya seperti terlahir kembali. Dan di sinilah rumah saya,"     

Kutepuk bahu Suwoto, dia pun menoleh. Membuatku tersenyum ke arahnya. "Dasar kamu ini, memangnya kalau endhak manusia, lantas kamu ini siapa? Siluman? Lelembut?" ejekku.     

Suwoto hanya mencibir, dia ndhak membalas ucapanku selain berjalan berdampingan denganku. Suasana memang nikmat, terlebih jika berjalan santai seperti ini.     

"Walah, temanten baru jalan-jalan sendiri saja, toh? Mana ini istrinya? Katanya baru saja bali (pulang) ke Kemuning? Kok ya ndhak diajak jalan-jalan," sapa salah satu Budhe yang kebetulan berpapasan denganku.     

"Lho, aku jalan sama Suwoto ini, lho, Bulik. Berdua, ndhak sendiri," kujawab. Dan itu berhasil membuatnya tertawa.     

"Ndhak sopan benar, toh, Juragan. Di depan Juragan Besar kok tertawa selebar itu. Ndhak ada unggah-ungguhnya sama sekali," bisik Suwoto. Benar, memang, kalau mengingat perkara masalah unggah-ungguh, dan lain sebagainya. Jelas kalau Budhe ini benar-benar melanggar peraturan yang ketat itu. Namun begitu, bagiku pribadi, aku sama sekali ndhak keberatan dengan semua itu. Toh, ini zaman apa? Ini zaman sudah maju, terlebih aku bukan tipe orang yang menginginkan sebuah pengakuan. Biarkan, senyaman mereka saja berinteraksi denganku, terserah dengan gaya apa.     

"Maksud saya, itu, istrinya mana, toh, Juragan? Kan temanten baru. Seharusnya masih seneng-senengnya jalan berdua, toh," kata Budhe itu lagi. Aku tersenyum saja mendengarnya. Duh Gusti, ada-ada saja orangtua ini.     

"Kalau berdua, ya pas di dalam kamar, Budhe. Kalau di luar kamar, kan, sibuk dengan urusan masing-masing," jawabku seadanya.     

"Sering-sering di dalam kamar, Juragan. Mumpung masih muda, masih subur buat keturunan, lho. Katanya, banyak anak banyak rejeki, iya, toh?"     

"Amin, Budhe, doakan saja," putusku. Setelah basa-basi, aku pun mengajak Suwoto bergegas pergi. Lama-lama di sini, bisa-bisa membuatnya menjadi banyak bicara seperti perempuan.     

"Juragan rupanya terkenal di kalangan Budhe-Budhe, toh. Wah, keren sekali," celetuk Suwoto, sembari menahan senyumnya.     

"Lho, jelas. Siapa perempuan yang ndhak kenal aku? Bahkan, Simbah-Simbah pun mengidolakanku," kataku kemudian.     

Aku langsung berjalan mendahuluinya, sampai tawanya terdengar sangat nyata. Benar-benar abdi dalem satu ini, kurang ajar benar. Bagaimana, toh, kenapa aku ini merasa ndhak bisa seperti Romo Nathan. Kok ya sebagai Juragan, aku merasa ndhak ditakuti oleh semua orang itu, lho. Bahkan, abdi dalemku sendiri ndhak takut denganku. Apa toh yang salah denganku ini? Apa aku kurang berkarisma? Apa aku kurang berwibawa? Jika iya, maka, diam saja. Ndhak usah kalian ikut komentar.     

*****     

Malam ini aku, dan manis baru sampai di Jakarta. Dan sepanjang perjalanan, Manis terus bercerita perkara kedekatannya dengan Wangi. Bahkan keduanya, sudah merencanakan banyak sekali agenda untuk bisa berkumpul bersama. Aku heran dengan Manis ini, bagaimana bisa dia jadi sangat akrab, dan berkawan dengan perempuan-perempuan yang awalnya jatuh hati kepadaku? Kira-kira, jurus apa yang ia gunakan? Sampai-sampai perempuan-perempuan itu sadar diri dan berkawan baik dengannya? Sungguh, aku sangat salut dengan istriku ini.     

"Kangmas, kangmas, aku titipkan oleh-oleh untuk Mbakyu Wangi besok, ya," dia bilang.     

Lihatlah, bahkan sudah mau dibelikan oleh-oleh. Memangnya, dia pikir dia di Jakarta ini hendak liburan, toh? Kan dia datang ke sini untuk kuliah.     

"Ya, Kangmas?" ranyulah lagi.     

Kuhela napasku, kemudian mengangguk. Dia rupanya senang bukan kepalang. Dipeluklah aku erat-erat, kemudian dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, aku, dan Manis kaget. Melihat pemuda yang sedari beberapa waktu yang lalu di Universitas.     

"Bang," sapanya. Yang hendak keluar, aku pun lantas tersenyum menjawabi sapaannya.     

"Lho, sudah mau pulang?"     

"Iya, Bang."     

"Rianti ada di dalam?" tanyaku lagi. Kini pemuda itu tampak melirik ke belakang, kemudian tampak menahan napasnya dengan berat.     

"Ada, Bang. Lagi marah dia," jawabnya. "Pamit, Bang," jawabnya lagi. kemudian pergi, dengan mobil putih miliknya.     

Aku benar-benar ndhak tahu, aku benar-benar kaget. Sejak kapan Rianti memiliki tamu seorang pemuda? Apa ada hubungan antara keduanya?     

"Dasar berengsek! Tidak tahu diri! Kusumpahin istrimu nanti bekas orang tahu rasa, kamu!" teriak Rianti dari dalam. Sembari melempar sepatu dan mengenai mobil pemuda itu.     

"Sudah, tidak usah marah-marah. Wajah tuamu itu akan semakin keriput kalau marah,"     

"Kamu!"     

"Heh!" tegurku.     

Pemuda itu langsung pergi, meninggalkan Rianti yang sudah melotot hebat, sambil berkacak pinggang.     

"Siapa pemuda itu?" tanyaku, tapi Rianti ndhak menjawab. Selain membantu Manis membawa barang-barang yang dibawa Manis dari kampung. "Kawanmu?" tanyaku lagi, yang tadi sudah diabaikan oleh Rianti.     

"Kawanku? Dia itu? Duh Gusti, amit-amit. Lebih baik aku mati kesambar petir dari pada memiliki kawan seperti pemuda jelek itu," ketus Rianti kemudian. Aku semakin aneh, kalau ndhak kawan, kok ya bertandang ke sini?     

"Kalau bukan kawan, lantas kenapa dia berkunjung di sini?" selidikku, yang semakin menangkap aneh hubungan pemuda itu dengan Rianti.     

"Dia ke sini hanya karena ingin meminjam barang. Kalau endhak, untuk apa aku perbolehkan dia datang."     

"Tapi barang apa?" desakku.     

"Sudahlah, aku ngantuk, Kangmas. Tidur dulu," putusnya, mencium pipiku kemudian dia pergi ke dalam kamarnya.     

Dasar adik perempuan ini! Bisa ndhak kalau ditanya itu jawab dengan baik? Main pergi begitu saja. Di mana itu lho unggah-ungguhnya jadi adik dari Juragan. Jadi seorang Ndoro. Terlebih, dia adalah tipe perempuan yang selalu menjunjung tinggi jabatannya sebagai seorang Ndoro. Benar-benar ndhak selaras dengan kelakuannya terhadap kangmasnya.     

"Sudah, sudah... ayok masuk, sudah malam ini, lho."     

"Ndhak tahu aku. Bagaimana dia bisa seperti ini, toh," gumamku lagi.     

Aku langsung masuk bersama dengan Manis. Rasa kesalku dengan Rianti langsung lenyap begitu saja.     

"Sayang, ayo...." kubilang. Manis menarik sebelah alisnya, sembari memandang ke arahku.     

"Ayo apa?" dia tanya.     

"Ayo, program buat anak," setelah mengatakan itu, aku langsung membopong Manis untuk masuk ke dalam kamar. Biarkan Rianti emosi, yang jelas malam ini aku menikmati malamku yang indah dengan Manis. Ya, Manisku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.