JURAGAN ARJUNA

BAB 109



BAB 109

0Sore ini, aku sudah berada kembali ke Kemuning. Tentu, dengan membawa buah tangan khusus untuk Wangi. Yang sengaja istriku paling cantik menyibukkan diri, dengan repot-repot mencarikan buah tangan itu sendiri.     
0

"Jadi, mana buah tangan untukku?" seloroh Wangi, yang sudah berada di kediamanku. Sengaja benar perempuan ini sudah datang. Padahal rencananya, aku ingin memberikannya besok.     

"Ini," kubilang setengah hati.     

Dia langsung mengambilnya dengan semangat. Lihatlah, bagaimana kelakuan perempuan zaman sekarang. Dibelikan hadiah saja sudah sebahagia itu.     

"Istriku tercinta itu, bahkan sepagi tadi sudah memaksa mengajak mencarikanmu buah tangan. Sampai telat dia pergi kuliahnya," terangku kemudian.     

Wangi langsung tersenyum, hingga gigi putihnya tampak semua. Kemudian, dia menarik-narik ujung kemejaku.     

"Terimakasih, Arjuna. Nanti, kalau kamu mau kembali ke Jakarta, bilang, ya. Aku ada sesuatu untuk Manis," ucapnya kemudian.     

Benar-benar, dasar. Memangnya dia pikir, aku ini kurir pengantar pesanan apa, toh? Enak benar dia bilang untuk saling menitip pesanan. Mereka ini benar-benar ndhak ada hati.     

"Ndhak mau, kalau kamu ingin memberi Manis buah tangan. Ke Jakarta saja sendiri," kataku pada akhirnya. "Aku bukan kurir pengantar barang."     

Aku lantas pergi, setelah mengatakan hal itu. Kok aku ibarat burung merpati zaman dulu, toh. Yang menjadi pesuruh raja-raja untuk mengantar surat kepada para bawahannya.     

"Kamu itu kenapa? Baru pulang dari jakarta kok wajahmu sudah seperti bajuyang ndhak disetrika setahun. Kurang jatahmu?" seloroh Romo Nathan, saat aku duduk bersamanya di ruang kerja.     

Aku hanya mendengus, sembari minum kopi. Membaca beberapa buku sejarah yang baru saja datang. Bukunya lumayan bagus, sampul dan isinya dicetak dengan cara lebih modern. Nanti, pasti akan banyak sampul-sampul buku yang lebih modern dari ini. Sebab modern, sepertinya adalah tujuan yang akan diusung negeri ini.     

"Romo ini, bisa ndhak sehari saja ndhak bahas urusan ranjang? Urusan kita ini banyak lho. Besok aku berencana untuk membeli bibir tembakau di kota. Kabarnya, ada seorang petani yang memiliki bibit unggul di sana, Romo."     

Mendengar ucapanku, Romo Nathan diam sesaat. Masih fasih membaca buku sejarah kuno yang ada di tangannya. Untuk kemudian, dia mengelus dagunya yang berbulu itu.     

"Kamu sudah memikirkan masak-masak perkara ini?" tanya Romo Nathan kepadaku. Aku diam sejenak, sebab bagaimanapun, pendapat Romo Nathan yang sejatinya telah jauh berpengalaman dariku adalah yang utama. Meski bagi penduduk kampung pikir, pemuda muda yang memiliki pendidikan tinggi, kepandaiannya akan menjadi panutan bagi siapa saja. Ndhak peduli jika itu salah, atau benar. Sebab bagi mereka, pemuda berpendidikan itu pasti pintar. "Para pekerja di kebun, juga telah membuat bibit sedari dahulu kala. Sekarang kamu pikir, jika bibitnya kamu ambil dari kota. Lantas bagaimana nasib bibit-bibit dari penduduk? Dan yang lebih dari itu adalah, bagaimana nasib mereka? Salah satu penghasilan mereka telah kamu putus dengan cara sepihak. Hanya karena rasa egomu ingin mendapatkan suatu tanaman berkualitas, dan tahan musim. Tapi kamu juga harus tahu, kalau sejatinya yang dibutuhkan mereka adalah sebuah ilmu pengetahuan, untuk mendorong mereka menjadi lebih maju. Menciptakan sebuah bibit berkualitas tinggi yang ndhak kalah dengan bibit-bibit yang dibuat oleh orang-orang pintar, pun orang-orang kota yang ingin menjadi pesaing besar bagi para petani kampung. Lebih-lebih, tatkala kita bisa membuktikan kalau petani kita adalah petani yang bisa membanggakan nama kampungnya di depan penjuru negeri."     

Aku diam lagi mendengar ucapan Romo, sebab sejatinya, apa yang dia ucapkan adalah benar adanya. Salah besar jika aku bertindak egois, mengambil bibit dari kota dan membiarkan bibit yang telah disiapkan oleh para pekerja menjadi sia-sia. Aku kemudian menelaah ucapan-ucapan dari Romo. Jika sejatinya, solusi bukanlah satu pintu saja. Tapi, beberapa pintu-pintu penghubung lainnya.     

"Sepertinya, kita butuh seorang sarjana pertanian untuk membantu kita dalam upaya meneliti, dan mengembangkan pertanian kita. Memberikan pembelajaran bagi penduduk kampung agar mereka mengetahui sebuah teknik maju, dan berkembang untuk mengembangkan perkebunan kita."     

"Nah, kalau seperti itu, Romo setuju," kata Romo dengan senyuman simpulnya.     

Ya, sepertinya seorang sarjana pertanian adalah salah satu solusi. Sebab bagaimanapun, sekarang ilmu pengetahuan semakin maju. Sama halnya dengan teknik bercocok tanam. Aku ingin membuktikan kepada dunia, jika Kemuning adalah kampung halaman yang asri. Kampung halaman tempat untuk kembali. Dan lebih dari itu adalah, meski penduduknya di kaki gunung, tapi cara bercocok tanam mereka maju. Dan mampu memberikan sumbangsih sayur-mayur, dan hasil kebun lainnya dengan kualitas tinggi.     

"Sekarang, yang menjadi perkara ada satu, Romo,"     

"Apa?" tanya Romo kepadaku, menarik sebelah alisnya, seolah menungguku, untuk menjawab pertanyaannya.     

"Ya, mencari sarjana pertaniannya itu, toh, Romo. Apalagi, memang. Terlebih, sebentar lagi adalah musim tanam. Ndhak cukup waktu kita jika ndhak dengan segera mencarinya."     

Mendengar perkataanku itu, Romo tampak mengulum senyum. Kemudian, dia menutup buku yang sedari tadi ada di tangannya dengan mantab.     

"Sebenarnya, Romo ada kenalan. Salah satu dari kawan Romo punya seorang putra. Kabarnya, putranya itu dulu pernah sekolah di jurusan pertanian."     

"Pernah?" tanyaku bingung. Yang kucari saat ini adalah sarjana lulusan pertanian. Bukan yang pernah kuliah jurusan pertanian. Romo ini.     

"Iya, jadi dia sempat berapa semester kuliah jurusan pertanian. Kemudian, ganti jurusan kedokteran...," jelas Romo Nathan. "Kira-kira, seperti itu," lanjutnya.     

"Tapi, Romo—"     

"Oh, masalah kepandaiannya ndhak usah diragukan lagi. Bahkan kabarnya, meski dia ndhak lulus, kepandaiannya melebihi sarjana-sarjana di luar sana,"     

Aku harus bilang apa, kalau Romo Nathan sudah mengatakan hal itu. Selain menghormati keputusannya. Sebab bagaimanapun, aku juga tahu siapa Romo Nathan. Dia ndhak mungkin mengambil keputusan dengan gegabah. Tatkala dia mengatakan itu baik, pasti dia jauh lebih dulu tahu jika benar hal itu adalah baik.     

"Omong-omong, Romo, anak dari kawan Romo itu kuliah di mana, toh? Kok sampai pindah jurusan segala itu bagaimana?" tanya penasaran juga. Sebab aku sampai sebesar ini ndhak tahu, lho, dengan kawannya ini.     

"Kamu ndhak ingat, kamu masih kecil. Tapi kawan Romo itu orang Jakarta. Dia memiliki perusahaan di sana. Seorang pengusaha, kebetulan dulu dia adalah kawan Romo ketika ada di Jambi. Dan baru-baru ini kami bertemu. Kemudian saling bertukar kabar serta cerita perkara keluarga. Ya, seperti itu," jelas Romo. "Dan anaknya kabarnya juga bersekolah di Jakarta juga. Nanti, kalau kamu memang benar-benar butuh. Romo pasti akan segera mengubunginya. Tinggal tentukan saja, bulan berapa, tanggal berapa, hari apa kamu membutuhkan ilmu pengetahuannya."     

"Baik, Romo. Mengenai masalah ini, aku juga perlu untuk memusyawarahkan ini kepada para Mandor, sehingga mereka bisa menyiapkan para pekerja untuk menyambut kedatangan tamu agung kita."     

Romo pun mengangguk, dan kubalas ia dengan anggukan juga. Ah, ndhak sabar sekali, aku untuk mendapatkan tambahan pengalaman dari putra kawan Romo itu. Dan yang semakin membuatku ndhak sabar lagi adalah, aku ingin memperkenalkan jika ada sebuah kampung di lereng gunung, yang memiliki keindahan bak surga. Bahwa ada kampung di lereng gunung, yang para penduduknya sangat ramah, dan menyenangkan. Ya, kampung itu adalah... Kemuning.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.