JURAGAN ARJUNA

BAB 110



BAB 110

0Sudah seminggu aku, dan Romo sibuk menata beberapa hal yang berhubungan dengan perkebunan. Terlebih, karena ini kami malah mengabaikan perkebunan teh kami. Guna menyambut putra dari kawannya Romo kami harus mempersiapkan segala hal. Sebab kata Romo, seminggu lagi pemuda yang katanya berusia ndhak jauh dari Rianti itu akan bertandang, dan akan menetap di kediaman kami selama kurang lebih tiga bulan. Cukup lama, memang. Karena Romo pun bukan meminta pemuda tersebut dengan cuma-cuma. Ini merupakan hubungan timbal balik seperti penjual, dan pembeli. Di mana pemuda tersebut menjual jasa, dan kami yang membelinya. Oleh karena itu, pemuda yang sampai detik ini ndhak kuketahui namanya itu memutuskan untuk cuti kuliahnya dulu. Kabarnya, karena kerap berpindah-pindah jurusan, di usianya yang menurutku cukup dewasa ini masih berada di semester awal sebuah kejuruan. Tujuannya hanya simpel, kata Romo, karena dia ingin mencari pengalamana. Dan jujur, hal itu benar-benar di luar nalar. Aku baru tahu, ada jenis mencari pengalaman dengan hal seperti itu. Semacam dia hendak bermain-main dengan sekolahnya. Mungkin, karena orangtuanya kaya, itu sebabnya melakukan hal yang membuang uang, dan ndhak ada gunanya adalah sebagian dari hobi dia.     
0

"Jadi kira-kira, persiapan sebanyak ini hanya untuk seorang yang bahkan ndhak lulus sarjana pertanian apakah ndhak berlebihan, Romo? Dia bisa jadi mandiri, bekerja mulai awal sendiri. Kenapa kita harus mempersiapkan semuanya? Bahkan kurasa, dia bertandang ke sini bukan untuk bekerja, memberi ilmu pengetahuan kepada penduduk kampung. Melainkan, menjadi peserta suatu pelatihan juga," dengusku. Kurasa, benar-benar terlalu istimewa pemuda satu itu.     

"Bukan perkara apa-apa, Arjuna. Hanya saja, dia itu bukan seperti kita. Jenis penduduk kampung yang Bahasa Ibu adalah Jawa. Dan tentu, adat istiadat, kebiasaan jauh dari kita. Ibaratnya, pemuda itu adalah pemuda kota, metropolitan. Jadi, kita sebagai tuan rumah, bukankah sepantasnya memberi jamuan, dan fasilitas terbaik pula? Lagi pula, dengan seperti itu, dia akan merasa betah, menikmati tempat kita dengan suka cita. Dan akhirnya apa? Tatkala dia pulang, dia akan bercerita kepada keluarga, serta kawan-kawannya, jika tatkala dia bekerja di sebuah kampung yang letaknya di lereng gunung, kampung tersebut pemandangannya asri, lebih-lebih dengan penduduk yang sangat ramah, dan baik kepadanya...," kata Romo, dan rupanya, aku baru paham sekarang dengan apa yang hendak Romo sampaikan. "Terlebih, nanti, suatu saat Kemuning akan menjadi tempat wisata, yang dikunjungi oleh orang-orang dari luar penduduk, luar wilayah, ini merupakan salah satu dari cara kita untuk memperkenalkan Kemuning sebelum Kemuning membuka wisatanya."     

"Aku setuju dengan Romo, salah satu strategi pemasaran yang luar biasa. Yang ndhak hanya Romo pikirkan untuk saat ini, tapi sampai puluhan tahun ke depan. Aku setuju, Romo," kataku pada akhirnya.     

Brak!     

Aku terjingkat tatkala mendengar pintu ditutup dengan sangat keras, mataku menyipit menangkap sosok Rianti masuk ke dalam kamarnya.     

Tunggu.... Rianti? Hari ini? Pulang?     

Apa aku ndhak salah lihat, toh? Bagaimana bisa Rianti pulang ke Kemuning? Bukankah hari ini seharusnya ada ujuan akhir semester, toh? Menurut Manis seperti itu, waktu aku hendak pulang kemarin. Tapi, bagaimana bisa Rianti malah pulang? Apa yang kulihat bukan Rianti? Melainkan salah satu penunggu gunung atau candi yang ndhak sengaja berkunjung ke kediamanku?     

"Kamu ini, lho, lihat apa?" tanya Romo, yang berhasil membuatku bertambah heran.     

"Romo ndhak mendengar itu, tadi?" kutanya. Romo tampak mengerutkan keningnya. "Tadi, pintu kamar Rianti seperti dibanting, ada Rianti masuk ke dalam kamar," ucapku lagi.     

"Rianti hari ini bukannya ada ujian? Kok ya ada di rumah, itu lho. Mungkin salah satu abdi dalem, yang membersihkan kamar adikmu,"     

Ah, masak, toh? Masak dia abdi dalem? Sosok yang masuk ke kamar Rianti memakai rok berwarna biru. Dan aku tahu jika itu adalah rok milik Rianti, sebab aku yang membelikan untuknya waktu itu.     

"Aku mau memeriksanya dulu, Romo," putusku. Berdiri dari dudukku kemudian menuju arah kamar Rianti.     

Bulu kudukku merinding, terlebih tatkala mendengar suara isakan dari dalam kamar Rianti. Gusti, ini pasti lelembut. Lelembut yang menyerupai sosok adikku!     

Pelan, aku mengendap-endap, sembari memastikan di dalam sana ada orang apa endhak. Mataku menyipit, sembari pelan-pelan membuka pintu kamarnya yang ndhak tertutup dengan rapat.     

Dan seketika, jantungku seolah berhenti berdetak. Di sana, di atas ranjang itu, benar-benar ada sosok perempuan, yang sedang memakai rok berwarna biru. Jika dilihat dari belakang, sosok itu benar-benar menyerupai Rianti. Rianti yang sedang menangis.     

Duh Gusti, yang kulihat ini adikku apa endhak, toh? Jika iya, apa ndhak terasa aneh? Sekarang adalah ulangan semester buat dia, terlebih jika dia hendak pulang, bukankah seharusnya dia bisa ikut aku kemarin? Namun jika itu lelembut, kok ya sosoknya amat nyata sekali. Apakah benar itu lelembut dari gunung yang turun kemudian nyasar di sini? Sebab bagaimanapun, saat ini, di sini masih sangat kental dengan yang namanya mistis. Bahkan, ndhak hanya di gunung, di candi-candi pun masih terlalu kental mistisnya sampai sekarang.     

Tapi, apa benar dia lelembut?     

"Kamu melihat apa?" tanya Romo yang berhasil membuatku nyaris melompat. Romo Nathan lantas memukul-pukul dadaku, wajah memerah seolah menahan tawa.     

"Apa yang lucu, Romo?" tanyaku, dengan nada sedikit ketus. Kesal juga, rupanya, jika rasa penasaranku dengan sosok yang ada di dalam kamar Rianti ini malah menjadi bahan tawaan oleh Romo Nathan.     

"Kamu pikir dia itu lelembut?" tanya Romo, aku masih diam. Sebab sampai detik ini pun, aku masih bingung. Dia itu lelembut apa bukan? "Bagimana ceritanya, lelembut bisa meninggalkan tasnya di balai tamu seperti itu?" ucapnya lagi, sembari menunjuk koper besar milik Rianti, beserta tasnya, yang ditinggalkan begitu saja.     

Napasku kembali lega, dan aku kembali tenang. Setelah tahu jika yang ada di dalam kamar itu benar-benar Rianti, adik manisku. Namun kemudian, aku kembali melihat ke arah Romo.     

"Kok dia bali (pulang), Romo? Bukankah seharusnya dia menyelesaikan ulangan akhir semesternya sebelum pulang? Seharusnya, dia masih, dan wajib ada di Universitas, toh? Apalagi jikalau dia hendak pulang kemarin, bukankah seharusnya dia bisa pulang bersamaku? Kenapa dia pulang dengan cara tiba-tiba? Sendiri, pula, tanpa memberitahu keluarga?"     

Romo Nathan hanya diam, dia ndhak mengatakan apa pun lagi selain menghela napas dalam-dalam. Setelah dia menepuk bahuku, dia pun berkata, "ada kalanya perempuan memiliki caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah. Kemudian mereka membutuhkan suatu tempat privasi bagi dirinya untuk menangis sejadi-jadinya, sebelum ia kembali menjadi perempuan ramah, dan ceria seperti sedia kala."     

Aku diam, melihat Romo Nathan pergi. Sementara aku merasa begitu enggan, apa benar Rianti akan baik-baik saja jika kutinggal? Mendengar tangisannya, benar-benar membuatku ndhak tega. Aku ini kangmasnya, dan melihatnya menangis seperti ini benar-benar membuat hatiku hancur.     

"Pergi kamu, Kangmas, pergi! Aku ndhak mau kamu ada di sini!" teriak Rianti kesetanan, tatkala menangkap sosokku yang masih berdiri di depan kamarnya. Sembari melempar bantal, yang membuat pintu kamarnya kini tertutup sempurna.     

Aku tersenyum kecut mendengar ucapan dari Rianti itu, sepertinya benar apa kata Romo. Saat ini, membiarkan dia sendiri di sini adalah perkara yang baik. Untuk setelahnya aku pasti akan menanyainya tentang banyak hal, agar dia mau bercerita, agar seendhaknya aku bisa memberikan solusi atau menjadi kawannya untuk sekadar melepaskan rasa pena yang ada di dalam dada. Rianti, nanti, nanti Kangmas akan kembali. Untuk sekarang, aku hanya akan memberimu waktu untuk sendiri dulu. Memberimu ruang untukmu menumpahkan segala resak di dadamu. Rianti, jangan pernah merasa sendiri. Meski sampai detik ini Kangmas masih belum tahu perkara apa yang membuatmu sampai seperti inim tapi percayalah. Bagaimanapun, dan dengan cara apa pun, Kangmas akan mengangkat semua rasa sakit yang menumpuk di dadamu. Kangmas, ndhak akan pernah membiarkanmu menangis dan bersedih lagi. ini janji kangmasmu, Rianti. Yang akan Kangmas genggam erat sampai nanti. Ya... sampai nanti.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.