JURAGAN ARJUNA

BAB 111



BAB 111

0Dan sore harinya, lagi-lagi hal yang membuatku kaget pun datang. Manis tampak tergesa pulang ke rumah. Sungguh, ini perkara yang amat membingungkan. Setelah Rianti, kenapa Manis tiba-tiba menyusul pulang? Apakah ada suatu perkara yang sangat serius di Universitas? Ataukah memang perkuliahan mereka sengaja diliburkan oleh Universitas?     
0

"Kangmas, Rianti mana? Rianti sudah pulang, toh? Dia ada di sini, toh?" selidiknya. Wajah istriku benar-benar terlihat begitu panik, wajahnya kini tampak pucat pasi dan ndhak karuan.     

Aku langsung memeluknya, mendekapnya dengan begitu erat. Mencoba untuk menenangkannya. Jujur, aku sendiri ndhak tahu apa yang terjadi. Tapi melihat Rianti tadi, dan Manis saat ini, benar-benar bukanlah suatu perkara yang baik. Aku yakin, ada sesuatu yang terjadi di sini.     

"Dia sudah pulang, dia ada di kamarnya," kubilang.     

Manis langsung memelukku, kemudian dia menangis sejadi-jadinya. Bahkan aku bisa melihat jika kedua tangannya kini bergetar hebat.     

"Rianti... Rianti....," katanya putus-putus. Entah apa yang hendak dia katakan aku benar-benar ndhak tahu. Kulepas pelukannya, aku sedikit membungkuk sembari menggenggam erat pundaknya. "Kemarin malam... kemarin malam Rianti baru pulang dari acara bersama kawan-kawannya. Entah dari mana, sebab dia ndhak bercerita kepadaku. Tapi... tapi anehnya, setelah pulang dari acara itu dia marah-marah, sebuah barang yang ada di kamarnya dibuang, dia memukuli dirinya sendiri sembari menangis histeris. Katanya... katanya," lagi Manis menangis sambil terisak, membuat hatiku benar-benar ndhak karuan dibuatnya. "Katanya, apa yang telah terjadi kepadanya adalah karena karma dari Kangmas, adalah karma dari Biung yang terdahulu. Setelah itu dia bergegas pergi, aku mencoba untuk melarangnya tapi dia malah marah. Sembari mengemasi semua pakaiannya dia bilang kalau dia ndhak mau kuliah lagi di Jakarta. Aku bingung, Kangmas... aku benar-benar bingung. Aku ndhak tahu apa yang terjadi dengan Rianti kenapa dia sampai seperti ini. karena aku takut jikalau dia barang kali akan melakukan hal nekat, itu sebabnya setelah dari Universitas aku buru-buru pulang, sekadar memastikan jika Rianti kembali ke rumah dengan selamat. Agar seendhaknya hatiku bisa tenang."     

Apa yang terjadi dengan Rianti? Kenapa dia sampai kesetanan seperti itu? Memutuskan sepihak untuk berhenti kuliah, dan pulang-pulang dengan kondisi seperti itu? Sebagai Kangmas baru kali ini aku benar-benar ndhak tahu apa yang harus kulakukan, kepada adik perempuan kesayanganku itu.     

"Ndhak usah cemas, Sayang. Nanti, aku akan bertanya kepada Rianti, ya. Kamu istirahat dulu," putusku pada akhirnya.     

Manis yang sudah tampak lebih tenang pun mengangguk, kemudian dia masuk ke dalam kamar. Sementara aku masih berdiri di sini, memandang ujung lorong seraya memandang lekat-lekat ke arah kamar Rianti. Di sana, rupanya sudah ada Biung beserta Bulik Sari—yang sedang membawa nampan yang berisikan makanan. Kulihat Biung tampak mengetuk pintu, sembari berbicara sesuatu. Namun sayang, pintu kamar Rianti tampak tertutup rapat-rapat.     

Pelan aku mulai mendekat ke arah Biung, Biung yang melihat sosokku itu pun langsung memelukku dengan erat. Dia menangis, dan ini adalah kali kedua dia menangis karena anaknya. Setelah karena kesalahanku dulu. Hatiku benar-benar terasa ngilu, ndhak pernah terpikir dalam hidupku, kalau adik perempuanku, yang sangat penurut. Sampai bisa membuat biungku seperti ini.     

Pelan, kutuntun Biung sembari kudekap. Kuajak dia untuk duduk di balai tengah. Bulik Sari sudah kembali ke dapur, membuat kami sekarang hanya berdua saja. Lagi, Biung terdengar terisak, dan aku tahu jika dia teramat khawatir dengan keadaan Rianti saat ini.     

"Adikmu itu kenapa, toh, Arjuna. Biung benar-benar ndhak habis pikir...," kata Biung pada akhirnya, aku masih diam, sebab ndhak mau menyela ucapannya. Aku ingin Biung mengatakan apa pun yang hendak ia katakan. "Dari dia pulang, dia menangis, dan ndhak mau keluar dari kamar. Bahkan, sudah kali kedua dia kukirim makanan ke kamarnya, dia bahkan ndhak mau membuka pintu. Dia ndhak mau berbicara dengan Biung, Arjuna."     

"Mungkin Rianti masih butuh waktu sendiri, Biung. Namanya juga anak perempuan, iya, toh? Mereka kadang butuh waktu lebih lama saat sedang terluka, dari pada laki-laki. Itu sebabnya dia ingin sendiri dulu," kataku. Mencoba menenangkan pikiran Biung. Aku yakin, Biung pun agaknya tahu. Sebab dia adalah seorang perempuan, dengan ndhak memaksa adalah perkara yang baik sekarang dari pada harus membuatnya ndhak jelas semua. "Kalau begitu, Biung istirahat dulu. Biar aku yang bicara dengan Dik Rianti. Siapa tahu dia mau membukakan pintu," kubilang lagi.     

Biung tampak tersenyum, setelah ia mengangguk dia pun memutuskan untuk beristirahat. Sementara aku memandang kamar Rianti untuk sesaat. Sungguh, aku juga penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Memutuskan untuk bersikap seperti seperti ini. Sebab bagaimanapun, aku lebih tahu Rianti dari siapa pun.     

"Ndhuk, bisa kita bicara?" kataku, setelah kuketuk pintu kamarnya tiga kali. Tapi, ndhak ada suara apa pun di sana. Hening, dan tenang. Aku ndhak tahu apa yang dilakukan Rianti di dalam sendirian, dan sedari pagi. Sungguh, aku benar-benar ndhak tahu. Aku takut jika dia nekat melakukan sesuatu. "Ndhuk, boleh, toh, kangmasmu ini masuk?" kataku lagi. Dan lagi-lagi, ndhak ada balas dari dalam.     

Aku menunduk, tampaknya Rianti pun ndhak ingin menemuiku. Apakah dia marah denganku? Atau malah perubahan sikapnya ini ada hubungannya denganku. Apa secara ndhak sengaja aku telah menyakitinya?     

Puk!     

Aku langsung menoleh, tatkala pundakku ditepuk. Dan itu adalah Romo, raut wajah Romo ndhak seperti biasanya yang begitu tenang. Kini, ada gurat kesedihan tertera jelas di sana. Wajar saja, Romo siapa yang ndhak akan khawatir, jika putri satu-satunya sedang melakukan protes dengan cara seperti ini.     

"Romo...."     

"Biar Romo saja," ucapnya. Kemudian aku mundur, membiarkan Romo untuk maju di bibir pintu kamar Rianti. "Ndhuk, ini Romo. Boleh Romo masuk, Ndhuk?" kata Romo, setelah mengetuk pintu kamar Rianti.     

Ndhak lama setelah itu, aku mendengar suatu gerakan di dalam kamar Rianti. Untuk kemudian, pintu kamar perlahan terbuka. Tangan Rianti muncul dari balik pintu, tanpa menunjukkan tubuhnya. Menggenggam tangan Romo kemudian menariknya untuk masuk. Kenapa?     

Aku benar-benar sangat penasaran, sungguh. Oke, jika Rianti lebih dekat dengan Romo, dari padaku atau Biung, mungkin. Tapi untuk perkara hati seperti ini, bukankah perempuan lebih nyaman, dan tenang jika harus bercerita kepada biungnya, toh? Lantas kenapa, tatkala Biung meminta masuk, Rianti malah ndhak menggubris sama sekali? Terlebih... aku.     

Aku menunduk sambil tersenyum getir. Kemudian kubuang jauh-jauh pikiran-pikiran ndhak jelas dari otakku. Kemudian, aku memutuskan untuk kembali ke kamar, melihat Manis sedang apa sekarang. Dari pada aku terus memikirkan perkara Rianti, ndhak akan pernah ada ujungnya. Toh, aku juga ndhak bisa membantu apa pun juga.     

Lagi, dadaku terasa aneh. Terlebih, melihat amarahnya tadi pagi itu. Sangat jelas jika dia membenciku. Gusti, apa toh yang sebenarnya terjadi? Jujur, aku ndhak pernah menginginkan semua ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.