JURAGAN ARJUNA

BAB 112



BAB 112

0"Jadi, sebenarnya apa yang terjadi dengan Rianti, Romo? Kenapa dia pulang ke Kemuning, ndhak mau kuliah lagi. Terlebih, dia sangat emosional. Ndhak mau bertemu denganku pun dengan Biung?"     
0

Pagi ini, aku dengan Romo Nathan sedang minum kopi, tepat di depan rumah. Sembari melihat Paklik Sobirin, dan Paklik Junet mencuci mobil.     

Romo Nathan tampak masih diam, entah apa yang tengah dia pikirkan. Atau, entah apa yang ingin ia ucapkan kepadaku. Yang jelas, mungkin, dia sedang memilah-milah kata untuk diutarakan tentunya.     

"Ada apa, Romo? Apakah ada sesuatu yang rahasia yang ndhak boleh aku mengetahuinya?" tanyaku lagi. Sebab jujur, lebih baik jika seperti itu, dari pada aku penasaran seperti ini.     

"Ndhak... hanya saja...," kata Romo pada akhirnya. "Dia hanya kecewa dengan kita."     

"Maksudnya, Romo? Kecewa dengan kita? Lantas apa hubungannya dengan berhenti kuliah, Romo?"     

Mendengar hal itu, Romo pun kembali terdiam. Sepertinya, dia juga bingung, tentang beberapa hal. Atau malah Rianti ndhak cerita seluruhnya kepada Romo?     

"Kalau masalah itu, Romo juga ndhak tahu. Sebab, yang diucapkan hanyalah, dia bisa seperti ini karena kita."     

Aku diam, memandang Romo yang benar-benar tampak kalut. Biar bagaimanapun, Rianti adalah anak kandung satu-satunya Romo Nathan. Perempuan pula, wajar saja jika Romo akan berlaku seperti ini. Benar kata pepatah jika, anak perempuan paling dengan dengan ayahnya. Sementara anak laki-laki lebih dekat dengan ibunya.     

Kemudian aku tersenyum menanggapi ucapan Romo itu. Apalagi, memang. Lebih baik aku mencari cara agar bisa masuk ke kamar Rianti apa pun caranya. Omong-omong, Manis sudah kembali ke Jakarta jam tiga pagi tadi. Sebab dia hendak mengejar ujiannya karena ndhak mau ketinggalan.     

Aku pun ndhak jadi mengantarkannya, dia memilih berangkat diantar dengan Suwoto. Ndhak apa-apa, seendhaknya aku percaya kepadanya. Jika Manis, akan kembali ke Jakarta dalam keadaan baik-baik saja.     

Untuk kemudian, aku beranjak dari dudukku. Masuk ke dalam rumah sambil melihat kamar Rianti. Ada Bulik Sari yang berjalan sembari membawa sarapan. Kemudian, aku segera berjalan menyamai langkahnya.     

"Jura—"     

Aku menyuruhnya untuk diam, agar nanti Rianti ndhak tahu jika aku juga ada di sini bersama dengan Bulik Sari. Aku ingin lihat, jika Bulik Sari saja yang ke sini apakah dibukakan pintu? Atau malah, akan diperlakukan sama sepertiku, dan Biung belakangan ini.     

"Ndoro Rianti, boleh ndhak kalau Bulik Sari masuk? Ini sarapan untuk Ndoro, lho. Sedari kemarin Ndoro ini ndhak makan apa-apa," suara Bulik Sari tampak melengking, membuat indera pendengaran sedikit sakit.     

Tapi, ndhak lama dari itu. Ada suara ranjang berderit. Kemudian, pintu kamar dibuka. Benar! Jadi, yang dihindari oleh Rianti hanya aku, dan Biung. Dan aku sendiri ndhak tahu, apa alasan di balik semua itu.     

Rianti melihatku dengan tatapan sinis, kemudian dia hendak menutup pintunya. Namun, tangan kiriku mencegahnya. Untuk kemudian, kuambil makanan dari Bulik Sari, dan menyuruh Bulik Sari untuk pergi.     

"Aku ingin bicara berdua denganmu, Dik," tegasku.     

"Untuk apa, toh, kamu di sini? Pergi!" marahnya padaku.     

Mendengar hal itu, membuat emosiku terpancing. Rahangku seketika mengeras karena perilakunya. Dengan sedikit terpaksa, aku pun masuk ke dalam kamarnya. Sembari sedikit membanting makananya di atas meja.     

Rianti, langsung berjalan menjauh, memunggungiku. Seolah dia benar-benar ndhak sudi jika aku berada di sini.     

"Pergi kamu!"     

"Ndhuk...."     

"Pergi!" sentaknya lagi.     

Aku langsung duduk, ndhak mempedulikannya, sembari menata makanannya di atas meja. "Sini, ayo, Kangmas suapi. Ayo sarapan, Ndhuk," kataku kepadanya.     

Dia semakin tampak sengit, kemudian....     

Plak!!!     

Aku bergeming, tatkala Rianti menamparku. Dengan emosinya, dan dengan kemarahannya. Aku benar-benar ndhak tahu, apa salahku kepadanya. Sebab kurasa, sebelum ini hubungan kami baik-baik saja. Bagaimana bisa, adikku, adikku tercinta berlaku seperti ini kepadaku? Aku benar-benar ndhak mengerti akan hal itu.     

"Kangmas kamu bilang? Kangmas?" katanya, sembari menyeringai di depanku. "Aku ndhak sudi punya Kangmas kayak kamu! Perilakumu, tingkah laku bejatmu itu, benar-benar membuatku yang menerima getahnya, aku... aku yang menerima semua karmanya! Kamu juga Biung! Lagi pula, kamu itu bukan Kangmas kandungku, toh? Kamu bukan sedarah denganku, toh? Kamu bukan anak kandung dari Romoku! Kamu adalah anak Romo Besar Adrian, dan Biung, toh!"     

Deg!     

Jantungku terasa berhenti, tatkala mendengar hal itu keluar dari mulut Rianti. Bahkan, air mataku tiba-tiba tumpah begitu saja. Untuk pertama dalam seumur hidup, adikku sendiri. Ndhak... ndhak... anak dari Biung yang telah kuanggap sebagai adik kandungku sendiri, mengatakan hal ini kepadaku? Mengatakan jika aku bukanlah kangmasnya? Padahal, kami, aku—dan orangtuaku telah bersepakat untuk merahasiakan ini dari Rianti. Padahal, Rianti ndhak pernah tahu kalau aku bukanlah anak dari Romo Adrian. Gusti, apa karena ini dia tiba-tiba bertingkah seperti ini? Lantas, karma apa yang ia terima dari ulah busukku? Apa maksud dari semua ucapannya itu?     

"Dik...." kataku yang hendak menyentuh tangannya, tapi Rianti langsung menepisnya dengan kasar.     

"Jangan panggil aku Dik! Ndhak sudi aku punya Kangmas kayak kamu!" bentaknya lagi.     

Sakit? Iya, bahkan rasa nyerinya sampai tembus menusuk dada. Tapi, aku mencoba untuk paham, jika sejatinya Rianti saat ini sedang emosi. Aku ndhak mau terlihat kecewa, atau malah ndhak terima atas ucapannya. Aku harus tahu, masalah apa yang tengah ia hadapi. Sebab demikian, aku harus berada di sini, membujuknya, merayunya, tanpa ikut marah-marah sepertinya.     

"Lantas, jika kamu merasa kalau aku yang memberimu karma. Coba jelaskan kepadaku, karma apa yang telah membuatmu sampai sebenci ini kepadaku?"     

Rianti langsung memalingkan wajahnya, ndhak sudi benar dia melihatku. Seolah aku ini adalah kotoran yang lebih pantas untuk dihilangkan.     

"Aku sama sekali ndhak menyangka, jika dulu Biung adalah seorang simpanan dari Juragan Besar Adrian, yang ndhak lain adalah Kangmas dari romoku, dan yang ndhak lain juga adalah romomu," Rianti lantas berjalan menjauh, kemudian dia membalikkan badannya. "Aku ndhak pernah berpikir, jika Biung akan memilih menjadi seorang simpanan dari Juragan, lho. Benar-benar ndhak habis pikir, seorang Biung, sosok yang kuanggap wanita paling sempurna, wanita paling agung, dan mulia. Tapi nyatanya, Biung... Biung dulu adalah seorang simpanan dari Juragan!"     

"Jangan berkata seperti itu kepada Biung kita—"     

"Apa? Kamu juga sama saja, toh? Pantas benar, lha wong kamu ini anak haram dari luar nikah, toh?" dia tersenyum mengejek, kemudian dia bersedekap. "Kamu itu sama saja seperti Biung, lihat, toh. Kamu ini orang kampung, seorang Juragan yang berpendidikan. Namun nyatanya apa? Kamu selalu mengumbar nafsumu kemana-mana. Setelah kejadian dengan Arni, melakukan perbuatan yang benar-benar ndhak pantas sebagai seorang Juragan. Lalu, dengan Manis. Bahkan sampai Manis hamil di luar nikah, lho. Pikir... pikir, Arjuna, apa perbuatan bejatmu itu pantas? Sebagai manusia saja, perbuatanmu itu benar-benar menjijikkan, terlebih dengan statusmu sebagai seorang Juragan! Aku ndhak peduli jika orang-orang bodoh di luar sana melakukan ganti pasangan, selingkuh, tidur dengan siapa pun. Aku ndhak peduli! Tapi kamu seorang Juragan, lho! Bisa-bisanya kamu berbuat seperti itu, hah? Apa karena kamu ini anak haram lantas kamu berbuat seperti itu? iya? Karena kamu bukan anak dari romoku! Juragan Nathan Hendarmoko!"     

Plak!!!     

Aku terkejut, tatkapa pipi Rianti ditampar dengan sangat keras oleh Romo Nathan. Bahkan, aku bisa melihat dengan jelas, jika ujung bibir Rianti sampai berdarah. Pipi putihnya tampak begitu merah.     

"Jangan lancang, kamu! Siapa yang mengajarimu menjadi kurang ajar kepada orangtua seperti ini!" bentak Romo Nathan.     

Aku langsung menarik Romo Nathan yang hendak menampar Rianti lagi, sampai Romo Nathan mundur dengan setengah kupaksa. Sementara di belakang, aku bisa melihat dengan jelas. Biung berdiri di ambang pitu, dengan air mata yang sudah berderaian di wajahnya.     

Sejak kapan? Sejak kapan Biung ada di sana? Sejak kapan Biung mendengar ini semua? Sebab aku ndhak mau, ucapan Rianti tadi sampai melukai perasaan Biung. Aku ndhak peduli dunia berkata perbuatan Biung adalah kotor, aku ndhak peduli jika dunia bilang Biung perempuan kotor. Sebab bagiku, Biung adalah wanita yang paling hebat sedunia. Biung adalah sosok pahlawan yang ndhak akan pernah ada tandingannya. Ya, dia biungku. Biung Larasati.     

"Sekali lagi kamu menghina kangmasmu, sekali lagi kamu menghina biungmu, Romo sendiri yang akan membuatmu jera untuk mengatakan itu. Paham kamu!"     

"Lantas siapa yang akan membelaku! Romo terus membela dia, Romo selalu membela semua perliaku buruknya. Lantas siapa yang akan membela aku!"     

"Apa yang harus dibela dari anak kurang ajar sepertimu, hah!"     

Rianti langsung diam, matanya nanar setelah mendengar Romo Nathan membentaknya dengan cara seperti itu. Aku bisa melihat, jika dia sedang teramat kecewa dengan perlakuan Romo. Seolah dia menjadi anak tiri, karena Romo selalu membelaku.     

"Ndhuk... ayo duduk sama—"     

"Jangan sentuh aku, Arjuna! Karena kamu! Karena kamu aku sudah dinodai oleh pemuda jahanam!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.