JURAGAN ARJUNA

BAB 30



BAB 30

0Saat aku hendak mengambil ontel, kulihat Manis tampak tergopoh sambil membawa beberapa barang bawaan. Aku ndhak tahu apa, sepertinya lumayan berat. Bisa jadi itu barang-barang untuk persiapan pernikahannya, mengingat pernikahannya akan diselenggarakan kurang dari sebulan ini.     
0

"Mau tak bantu?" tawarku. Ndhak enak juga membiarkan seorang perempuan harus tergopoh-gopoh membawa barang sebanyak ini. Lagi pula, di mana abdi dalem laki-laki di sini? Kok ya ndhak tampak sama sekali.     

"Tapi ini berat, lho... aku harus membawanya ke rumah Simbah Romelah."     

"Untuk?" tanyaku. Bukankah Biung bisa menyuruhku dari pada menyuruh Manis membawa barang-barang sebrat ini?     

Kubantu Manis membawa beberapa, kemudian aku berjalan mengiringi langkahnya. Ternyata, untuk ke rumah Simbah aku harus jalan kaki, sekarang. Terlebih, sekarang aku jalan kaki bersama dengan Manis. Aku ndhak menyangka akan sesungkan ini. Terlebih, tatkala berpapasan dan dilihat oleh penduduk kampung. Gusti, rasanya ingin kumasukkan saja wajahku ke keranjang.     

"Kata Ndoro Larasati, kamu sudah ada di sana. Jadi, aku disuruh untuk menyusul dan menyuruhmu membawa beberapa bahan makanan untuk dibuat jajanan oleh Simbah Romelah. Tapi, kurasa ada beberapa barang yang bisa kubawa. Makanya kubawa saja," jelasnya.     

"Kebiasaan, sok kuat," kataku. Dia malah tertawa.     

"Ya bagaimana lagi, aku ya ndhak bisa dengan tangan kosong ke rumah Simbah Romelah, dan menyuruhmu membawa ini, toh? Lagi pula, yang lainnya telah dibawa oleh Paklik Junet, dan Paklik Sobirin tadi."     

"Mereka sudah di sana?" kutanya. Manis mengangguk.     

Ternyata semua orang sudah berada di rumah Simbah Romelah, toh. Jadi aku satu-satunya orang yang baru mau ke sana sendiri? Aku benar-benar merasa sangat malu.     

Kemudian, kami kembali diam, kulihat Manis curi-curi pandang ke arahku tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Ada apa? Aku sedikit penasaran.     

"Terimakasih, Arjuna...," katanya kemudian, aku menoleh, melihatnya tersenyum lebar ke arahku. "Terimakasih karena telah berhenti marah padaku. Terimakasih, karena telah mau bercakap denganku lagi. Rasanya, beban di dadaku benar-benar berkurang sekarang. Dan..."     

"Dan?" tanyaku. Dia kembali menatapku, menampilkan senyumnya lagi. Tapi kali ini senyumnya sedikit berbeda. Hatiku menghangat melihat senyumnya itu, tapi aku ndhak mau seperti manusia murahan di depannya. Yang akan langsung memaafkannya begitu saja.     

"Maafkan aku karena telah melukai perasaanmu. Bisa ndhak jika mulai sekarang hubungan kita kembali baik untuk menjadi seorang kawan? Kawan baik? Dan memulai semuanya sedari awal tanpa perlu menghapus kenangan-kenangan indah kita dulu?"     

Rasanya hatiku seperti ditusuk oleh jarum yang teramat tajam. Lukanya bahkan untuk kupernapaspun terasa begitu sesak. Manis mengatakan itu, dengan mata nanarnya, dengan bibir bergetarnya, dan dengan suara paraunya. Seolah-olah telah menahan semua rasa remuk redam di dadanya hanya untuk meluruskan ini semua kepadaku.     

Kuhelaan napasku mencoba untuk menekan semua rasa sesak yang ada di dalam dada. Bahkan jika bisa terlihat, mungkin dadaku ini telah berdarah-darah dan bernanah karenanya. Berdarah dengan cara murahan hanya karena rasa cinta. Aku baru tahu, jika perkara cinta akan menjadi hal serumit ini. Padahal kupikir, cinta hanya butuh dua orang yang saling cinta, maka mereka akan bahagia selamanya. Namun nyatanya, semuanya ndhak semudah yang kukira.     

Aku tersenyum hambar, sebelum aku mengangguk menjawabi ucapannya, kutengadahkan wajahku ke arah langit. Aku ndhak mau dia melihatku sakit, aku ndhak mau dia melihatku hancur lebur. Ini seperti kita melakukan hal yang sangat bodoh, saling tahu jika kita saling cinta, tapi kita malah memutuskan untuk ndhak bersama.     

"Nanti... nanti, jika Gusti Pangeran merestui, kisah bodoh ini biarkan diteruskan oleh anak-anak kita. Seendhaknya, nanti anakku telah menjadi yang pantas untuk anakmu kelak. Nanti biarkan anak keduaku menjadi salah satu menantumu, apa kamu setuju?"     

Mendengar hal itu, membuat egoku langsung membuncah. Kutarik tubub Manis sampai ia masuk dalam dekapanku, aku sudah ndhak peduli, jika nanti ada penduduk kampung yang melihat adegan konyol ini, pula dengan barang-barang yang sedari tadi kubawa. Aku ndhak peduli jika semuanya telah berantakan. Lama... cukup lama, kuhirup aroma tubuh Manis yang beberapa pekan ini begitu kurindukan. Aku harus menghafalkannya sekarang, sebab jika nanti aku rindu, aku bisa membayangkan bagaimana segar aroma tubuhnya.     

Manis, asal kamu tahu, memelukmu seperti ini adalah bagian dari mimpi-mimpi terindahku. Aku begitu ingin melakukannya setiap hari, saat aku rindu, saat aku sedang banyak pikiran, dan dalam keadaan apa pun, aku begitu ingin memeluk tubuh ini. Namun, jika itu adalah keputusan final untukmu, aku bisa apa? Bukankah melepaskan lebih baik, dari pada harus menggenggam erat seorang diri, yang bahkan aku sendiri ndhak tahu, jika yang kugenggam itu hanyalah sebatas debu.     

Kudorong pelan tubuh Manis agar menjauh dariku, kugenggam kedua pundaknya yang bergetar. Ternyata, dia telah menangis. Mungkin dia juga telah merasakan emosi yang sama denganku tadi. Kemudian, aku kembali mengulang perkataannya tadi di memori ingatanku. Tunggu....     

"Kenapa anak kedua? Kenapa bukan anak pertamamu?" tanyaku.     

Dia hanya tersenyum hambar tanpa menjawab pertanyaanku. Entah, apa maksudnya semua itu. Yang jelas, aku tahu jika Manis telah menyembunyikan sesuatu.     

Dia kemudian mengambil barang-barang yang sedari tadi jatuh berantakan, kemudian berjalan mendahuluiku.     

Aku diam, ndhak berani memaksanya untuk sekadar menjawab pertanyaanku itu. Tapi, melihatnya tersenyum simpul tentunya ada hal yang mengganjal.     

"Juragan, mau ke mana, toh? Kok jalan kaki saja?" sapa seorang warga kampung, yang berhasil mengalihkan fokusku dari Manis.     

"Oh, hendak ke rumah Simbah Romelah, Bulik. Persiapan pernikahan Manis," kujawab. Setelah bercakap barang sebentar dengan Bulik itu, aku melihat keberadaan Manis ndhak ada di mana pun. Pasti, dia sudah sampai duluan. Aku pun tersenyum sekadarnya, kemudian berpamitan dari Bulik itu. Kalau aku terus bercakap dengan Bulik ini, bisa-bisa subuh baru sampai rumah Simbah.     

"Juragan Arjuna!"     

Aku kembali berhenti, saat melihat Muri melambaikan tangannya padaku. Dia berjalan cukup cepat, kemudian menyamai langkahku. Melirik ke arah barang-barang yang kubawa, kemudian membantunya membawa sebagiannya.     

"Mau ke mana? Bawa barang sebanyak ini sendiri, memangnya abdi dalemmu ke mana semua?" selidik Muri.     

"Ke rumah Simbah. Namanya juga Juragan yang baik hati, ya harus membantu mereka," dustaku. Muri tampak tertawa, dia pasti tahu jika aku hanya berbohong kepadanya. "Ohya, bagaimana penataan rumah, dan tokonya? Sudah beres apa belum? Maaf, aku belum sempat ke sana. Sebab beberapa minggu ini benar-benar repot mengurus ini dan itu," kubilang.     

"Sudah hampir selesai, Juragan. Aku hendak membicarakan perkara itu tatkala melihatmu di sini...," Muri kemudian tersenyum ke arahku, jenis senyuman yang begitu ramah, dan hangat. "Terimakasih, kalau bukan karenamu, bagaimana dengan nasib rumah tangga beserta nasib anak-anakku? Mungkin sekarang aku telah bercerai dari Arni, mungkin aku telah membuat anak-anakku sedih. Dan sekarang, semuanya menjadi membaik. Benar-benar aku berterimakasih kepadamu."     

Kira-kira, apa yang hendak dibicarakan oleh Muri sampai ia jauh-jauh mencariku sampai ke sini? Sungguh, aku sangat penasaran tentang hal itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.