JURAGAN ARJUNA

BAB 113



BAB 113

0Suasana menjadi hening setelah mpenuturan Rianti seperti itu. Baik aku, Romo, dan juga Biung, ndhak ada satu pun dari kami yang bersuara. Bagaikan mendengar petir di siang hari tanpa adanya mendung, dan hujan. Bagaikan mendengar letusan dari gunung lawu yang sudah lama ndhak meletus. Kami, mencoba untuk ndhak percaya. Kami, benar-benar ndhak tahu harus berbuat apa.     
0

Di sana, di depan kami. Rianti masih menangis, bahkan raungannya terdengar sangat menyakitkan. Kedua tangannya menggenggam erat dadanya yang aku yakin, rasanya benar-benar terasa sesak sekarang. Aku ingin berjalan maju, menariknya untuk kudekap erat-erat. Namun, aku ndhak berani. Nyaliku, ndhak sebesar itu. Rasa bencinya, rasa sakit hatinya kepadaku, ditambah rasa hancurnya sekarang ini. Membuatku ndhak mau menambah penderitaannya lagi.     

Aku menunduk, sembari tersenyum getir. Melangkah mundur, dan membiarkan Romo Nathan yang menyelesaikan semuanya. Kurasa benar, dari pada aku yang kotor ini, dari pada Biung yang di mata Rianti saat ini juga sama. Bukankah lebih baik Romo Nathan yang menjadi kawannya sekarang? Seendhaknya itu yang dia inginkan, seendhaknya dia ndhak akan merasa semakin marah karena keberadaan kami.     

"Siapa yang telah memperkosamu? Katakan kepada Romo," kata Romo Nathan, mendekat ke arah Rianti lalu memeluknya. Rianti diam, dia ndhak mengatakan apa-apa, selain terus menangis. "Romo tahu kalau kamu sedang hancur, dan Romo murka kepada siapa pun yang telah berbuat ini kepadamu. Namun sejatinya kamu juga harus tahu, jikalau ini ndhak ada hubungannya sama sekali dengan Kangmas, dan Biungmu. Romo, benar-benar marah karena kamu melempar semua kesalahan atas apa yang menimpamu kepada Kangmas, dan Biungmu. Asal kamu tahu, Ndhuk. Dua orang yang mungkin saat ini kamu benci itu, adalah dua orang yang paling mencintai dan khawatir kepadamu lebih dari siapa pun,"     

Lagi, Rianti ndhak mengatakan apa-apa. Bahkan kulirik Biung pun ndhak berani mendekat ke arah Rianti. Aku tahu, Biung pasti sangat syok mendengar warta (berita) ini. Dan yang lebih membuatnya syok adalah, pemikiran putrinya sendiri yang ternyata sejauh itu kepadanya. Gusti, semoga Biung ndhak masukkan semua ini dalam hati. Semoga Biung paham, jika Rianti mengatakan itu hanya karena saat ini dia sedang hancur, dia sedang berada di titik terendahnya sebagai seorang perempuan.     

"Romo berjanji, akan membuat siapa pun yang melakukan ini kepadamu mati,"     

Setelah itu, aku sudah ndhak mendengar apa-apa lagi, apa yang mereka katakan, apa yang terjadi. Sebab, aku memilih untuk pergi, memberi ruang kepada anak dan Romo itu untuk sekadar melepas rasa sakit yang berkecamuk dalam hati. Sementara hatiku yang sudah bernanah ini, semakin sakit, berbalut dengan rasa bersalah yang telah semakin tinggi.     

Biung, berjalan tergontai, tepat di belakangku. Dia tampak ndhak menangis seperti tadi. Hanya diam, benar-benar diam dengan pandangan yang kosong.     

"Biung," sapaku. Kutepuk pundak Biung, dan ternyata dia langsung terjatuh tepat di pelukanku. Aku langsung membawanya masuk ke dalam kamar, tanpa mengatakan apa-apa. Aku ndhak mau, jika aku berteriak dan Romo Nathan tahu, pikirannya kembali pecah. "Biung... Biung ndhak apa-apa?" tanyaku. Sembari memberi minyak kayu putih, pada hidung, leher, juga keningnya.     

Perlahan Biung mulai bergerak, air matanya langsung lolos dari kedua mata indahnya. Hatiku benar-benar semakin sakit. Sakit sesakit-sakitnya.     

"Arjuna...," ucapnya lirih, kedua tangannya bergetar hebat, membuatku mengenggam tangannya erat-erat. "Adikmu, Arjuna... adikmu," suaranya kembali tercekat. "Adikmu telah dikotori orang, Arjuna!" kini tangis Biung langsung terpecah, dia menjerit, menangis meraung-raung di dalam pelukannku. Dan hal itu, membuatku ndhak bisa untuk ndhak menangis. Membuatku merasakan sakit, dan frustasi yang benar-benar luar biasa.     

"Benar kata adikmu, benar! Ini semua salah Biung! Ini semua karma dari apa yang telah Biung lakukan dulu! Seharusnya, dulu Biung ndhak menerima hati romomu. Seharusnya dulu Biung ndhak menjadi simpanan romomu, Arjuna! Biungmu... biungmu ini kotor! Biungmu lebih kotor dari siapa pun di dunia ini! Biungmu merusak pagar ayu! Merusak rumah tangga romomu, dengan kedua istrinya! Biungmu... biungmu...."     

"Biung, bukan seperti itu. Ndhak... ndhak... di mataku, Biung adalah perempuan paling hebat sedunia. Jadi Arjuna mohon, berhentilah menyalahkan diri Biung sendiri. Arjuna mohon, Biung."     

"Biung... Biung perempuan kotor, Arjuna. Biung telah dikangkangi oleh banyak pria. Romomu, orang-orang yang memperkosa Biung, Gusti... kenapa harus seperti ini, toh? Kenapa Engkau ndhak memberikan karma itu kepadaku? Kenapa harus kepada anak-anakku!"     

"Biung!" aku memekik, tatkala Biung langsung ndhak sadarkan diri. Aku benar-benar ndhak tahu, apalagi yang harus kulakukan untuk membuat Biung ndhak seperti ini. Hancur, dan yang lebih menyakitkan adalah, tatkala ia dipaksa untuk mengingat semua kejadian yang melucuti kewarasannya dulu. "Biung, bangun Biung! Bangun!"     

Bulik Sari, dan Bulik Amah, yang mungkin mendengar teriakanku pun mendekat. Keduanya langsung panik, melihat kondisi Biung seperti itu. Cepat-cepat mereka mengutus Paklik Sobirin untuk memanggil Mantri. Kemudian mereka kembali berdiri di sini, di belakangku, dengan perasaan was-was, pasti.     

"Ndoro, kenapa, toh Ndoro bisa seperti ini? Duh Gusti... sebenarnya apa yang terjadi, Juragan? Kenapa Ndoro kami sampai seperti ini?" tanya Bulik Sari. Dia terlihat sangat cemas, benar-benar cemas.     

"Jangan beritahu Romo, biarkan Romo menenangkan Rianti. Biar Biung kita saja yang mengurusnya."     

"Baik, Juragan."     

Gusti, di saat seperti ini aku benar-benar rindu Manis. Di saat seperti ini aku benar-benar butuh istriku. Andaikan Manis di sini, pasti seendhaknya dia selalu memberitahuku apa yang harus kulakukan. Di situasi seperti ini pasti dia akan selalu mengatakanku agar selalu untuk tenang. Tapi sekarang... semuanya menjadi benar-benar rancu seperti ini. Tanpa ada istriku berada di sini, di sisiku.     

Setelah mantri datang memeriksa Biung, mantri itu pun pulang. Biung sudah terlelap sekarang, sementara tangannya masih menggenggam tanganku erat-erat.     

"Bulik Sari bisa masakan bubur untuk Biung? Biar saat Biung bangun nanti tinggal makan bubur hangat-hangat," perintahku yang langsung dituruti oleh Bulik Sari.     

Sementara Bulik Amah sudah begitu telaten memijat kaki Biung, rasa cemas masih kentara menyelimuti raut wajahnya. Iya, aku tahu kalau dia sangat khawatir. Pun denganku yang khawatir juga.     

"Semuanya baik-baik saja, Bulik. Ndhak usah terlalu cemas," hiburku kemudian.     

"Juragan Nathan ada di mana, Juragan, kalau saya boleh tahu?"     

"Di kamar Rianti,"     

"Apa Juragan ndhak memberitahu Juragan Nathan jika Ndoro Larasati sedang sakit? Sebab jika Juragan Nathan tahu, pasti Juragan Nathan akan marah karena ndhak diberitahu sebelumnya."     

Aku diam sejenak untuk mencerna ucapan dari Bulik Amah. Benar, memang jika Romo ndhak diberitahu perkara Biung pasti akan marah. Namun demikian, saat ini yang paling membutuhkan Romo adalah Rianti. Aku ndhak mau egois, untuk sekadar memberikan semua beban itu kepada Romo seorang. Aku, seharusnya membantunya dalam mengurusi masalah seperti ini.     

"Ndhak usah, Bulik. Saat ini Rianti lebih butuh Romo. Perkara Biung, biar aku saja yang merawatnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.