JURAGAN ARJUNA

BAB 114



BAB 114

0Sudah hampir dua jam, aku duduk sambil sesekali ndhak sengaja memejamkan mata dengan posisi duduk karena Biung masih enggan membiarkanku pergi. Kulihat wajah pucat Biung yang berkeringat, tampaknya Biung sedang mimpi ndhak bagus sekarang. Ndhak apa-apa, aku hanya takut, jika batin Biung dipaksa mengingat hal mengerikan di masa lalu, mental Biung akan ndhak kuat. Dan berakibat Biung akan seperti dulu lagi, saat di mana dia kehilangan Romo Adrian.     
0

Pelan, kulepas genggaman tangan Biung. Hari sudah malam, dan kurasa aku harus menutup jendela kamar Biung. Aku melangkah menuju ke arah jendela, sembari memandang langit luas yang bertaburan bintang. Benar-benar begitu sangat menyakitkan.     

Romo Adrian, apakah kamu telah menjadi salah satu bintang yang ada di sana? Jika iya, aku yakin jika kamu telah melihat ini semua. Istrimu, istri yang kamu cintai kini sedang berduka. Lantas, apa yang bisa kamu lakukan untuk membantunya? Romo Adrian, andaikan waktu bisa diulang kembali, aku benar-benar ndhak ingin lahir di bumi ini. Sehingga ndhak ada satu orang pun, menjadikanku alasan untuk terus mengusik dan membuat Biung hancur. Aku... merasa seperti anak yang ndhak berguna, aku merasa seperti anak yang ndhak ubahnya lambang, atau perkara sebagai orang-orang untuk mengungkit kesalahan Biung waktu dulu. Romo Adrian, apa benar jika aku terlahir sehina itu? Apa benar aku adalah anak yang ndhak pantas disamakan dengan anak-anak yang lain? Aku ini anakmu, toh? Aku ini lahir dari cintamu, dan Biung, toh? Lantas kenapa, bukan hanya Simbah Manis, tapi kini adikku sendiri seolah memaksaku untuk berpikiran seperti ini. Aku salah, Romo... aku salah. Perkara apa yang kuperbuat kepada Manis sebelum kami menikah aku tahu jika aku salah. Lantas, apakah hukuman yang telah kami lalui dulu masih belum cukup? Sampai-sampai hal itu terus terungkit dengan cara menyakitkan.     

Aku menunduk, sembari mengusap kasar air mataku. Untuk kemudian kupandang pelataran samping rumah. Di sana, samar-samar kulihat sosok berdiri tepat di dekat pagar. Sosok itu memakai surjan, dengan seorang abdinya.     

Aku kembali menangis, sebab sekarang aku telah tahu siapa sosok yang kini tersenyum itu. Dia adalah Romo... romoku.     

"Romo...." kataku, dengan suara bergetar dan air mata yang telah jatuh dengan cara lancang. "Romo...."     

Seharusnya dulu aku ndhak lahir, seharusnya dulu aku ikut Romo saja. Agar ndhak menjadi beban kepada setiap orang. Romo... aku juga ingin seperti anak-anak yang lainnya, tumbuh dengan Romo kandungku sendiri bersama dengan Biungnya. Namun kenapa, Romo takdirku harus seperti ini? Lahir dengan cara salah seperti ini. Apakah dulu aku pendosa sampai di kehidupan sekarang Gusti Pangeran menngukumku dengan cara mengerikan seperti ini.     

"Arjuna,"     

Deg!     

Aku langsung menoleh, saat Romo Nathan menepuk pundaku. Aku segera memalingkan wajahku, kemudian mengusap air mataku dengan kasar. Lagi, Romo menggenggam pundakku. Aku tahu, jika dia telah tahu kalau saat ini aku menangis.     

"Kamu ndhak apa-apa, toh? Apa yang dikatakan adikmu, Romo harap kamu ndhak memasukkannya ke dalam hati," ujarnya lagi. "Omong-omong, kamu sedang melihat apa? Sedari tadi Romo perhatikan, kamu terus memandang pada titik itu,"     

Aku hanya tersenyum, ndhak menjawab. Kemudian aku duduk di samping ranjang Biung.     

"Kamu tahu, titik yang kamu lihat tadi. Dulu, ada dipannya di sana. Dan romomu senang duduk di sana, sembari melihat biungmu berjalan mengantarkan susu ke sini. Di setiap pagi."     

Lagi, dadaku kembali sakit. Semakin Romo Nathan memberitahuku kenangan manis Biung, dan Romo Adrian, semakin sakit hatiku karenanya. Aku, benar-benar ndhak ingin mendengar itu. sebab aku tahu, ada satu sosok yang akan terluka. Dan terlepas dari itu semua adalah, Biung yang akan mendapatkan imbasnya.     

"Maafkan adikmu, Arjuna... maaskan adikmu," kini Romo Nathan langsung memelukku. Membuat ketegaran yang sudah sedari tadi kubentengi hancur begitu saja. Jangan seperti ini, jangan seperti ini kepadaku, Romo. "Adikmu telah keliru, maafkanlah adikmu."     

"Ndhak ada yang salah dari ucapan Rianti, Romo. Apa yang diucapkan Rianti adalah benar adanya. Aku memang salah, aku akui itu. Sebagai seorang pemuda yang berpendidikan, terlebih seorang Juragan apa yang kulakukan benar-benar perbuatan yang ndhak pantas. Meski dulu, sampai detik ini pun, banyak benar Juragan-Juragan berlaku seperti itu. Memiliki simpanan di mana-mana, memaksa perempuan yang bahkan ndhak mereka cinta untuk memenuhi nafsu bejatnya. Dan ya, aku menganggap jika aku adalah bagian dari mereka. Aku adalah pemuda yang salah kaprah dalam menilik arti dari sebuah pergaulan."     

"Arjuna—"     

"Tapi yang kusesalkan dari Rianti, kenapa dia harus membawa-bawa Biung, Romo? Tahu dari mana dia tentang semua ini? Kenapa dia bisa sampai tahu, dan membuat Biung sampai berduka seperti ini...," aku diam sejenak, mencoba menetralkan sesak yang ada di dalam dadaku. "Dan yang lebih dari itu semua adalah, siapa pemuda bajingan yang telah merusak kehormatan adikku? Sampai kapan pun aku ndhak akan pernah memaafkan perkara ini. Aku harus menguliti siapa pun yang telah merusak kehormatan adikku."     

Romo Nathan kembali terdiam, kemudian dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Bisa kulihat, raut hancur dari Romo Nathan tampak begitu nyata. Dan aku baru tahu, jika romoku bisa sehancur ini. Aku maklum, siapa yang ndhak akan hancur, toh, mengetahui putri satu-satunya martabatnya telah dirusak oleh seseorang. Bahkan aku pun juga marah, kecewa, dan ndhak terima.     

"Adikmu ndhak mau mengatakan apa pun perkara itu. Dia hanya bilang, dia ndhak mau mengingat-ingat itu lagi. Dia ndhak mau kembali kuliah, padahal sebentar lagi dia sudah mau skripsi. Dia mau di sini saja, dan mencoba melupakan kenangan buruk yang telah ia alami."     

"Kenapa dia ndhak mau cerita, Romo? Apakah dia ndhak mau melihat pemuda keparat itu mendapatkan balasan yang setimpal karena telah menyentuhnya? Apakah—"     

"Karena setiap kali dia berusaha mengingat itu, yang ada hal-hal menjijikkan itu kembali teringat lagi...," potong Romo Nathan. Dia kembali menepuk bahuku, kemudian duduk di sampingku. Menggenggam erat tangan Biung, kemudian menciumnya dengan sayang. "Dia telah dewasa, ini adalah keputusannya. Bagaimanapun Romo berusaha membuat cara untuk membalaskan pemuda keparat itu. Jadi, untuk saat ini biarkan saja adikmu seperti itu. Biar waktu yang akan menenangkannya. Terlebih, agar dia bisa merenungi, jika apa yang telah ia ucapkan kepadamu dan biungnya adalah hal yang sangat kasar, egois, dan menyakitkan." Romo Nathan mengelus pipi Biung, aku tersenyum melihat itu semua. Sesayang itu Romo Nathan kepada biungku, ndhak peduli bagaimanapun masa lalu biungku. "Larasati, kita sudah bisa melalui semuanya sampai di titik ini. Aku harap kali ini kita bisa melaluinya lagi. Sekarang kamu melaluinya ndhak hanya sendiri, tapi ada aku, juga putra kita. Selama kita masih bergandengan tangan dengan erat, aku yakin, selama itu kita bisa melalui apa pun yang mencoba merusak kebahagiaan keluarga kita. Dan tenanglah, anak perempuanmu pasti akan baik-baik saja. Dia pasti baik-baik saja. Karena, dia adalah putrimu. Putri dari wanita kuat, putri dari Srikandinya Nathan. Larasati, aku mencintaimu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.