JURAGAN ARJUNA

BAB 115



BAB 115

0Sudah tiga hari keadaan rumah seperti rumah duka. Bagaimana endhak, toh. Biung masih sakit, sementara Rianti masih mengurung diri di kamar. Dan Romo Nathan lebih sering mengurung diri sendiri di ruang kerjanya. Diam-diam menangis, atau bahkan terlelap sambil memeluk foto Biung.     
0

Ini adalah pemandangan yang sangat menyakitkan. Di saat aku ndhak bisa melakukan apa pun, terlebih itu untuk keluargaku sendiri.     

Apa yang harus kuperbuat untuk Rianti? Agar senyumnya kembali? Apa yang harus kuperbuat untuk Biung, agar dia bisa seperti dulu lagi? Aku benar-benar telah merasa buntu dengan semua itu.     

"Juragan, masalah itu ndhak akan pernah selesai jika hanya didiami. Mereka akan menemukan jawabannya, tatkala kita berusaha untuk menyelesaikannya,"     

Kulihat, Paklik Sobirin mendekat, dia kemudian duduk di bawah kakiku, sembari memijatnya. Aku masih diam, untuk sesaat merenungkan apa yang Paklik Sobirin katakan. Benar, memang. Semua ini, jika ndhak ada salah satu yang bergerak maju, semuanya akan percuma. Bahkan aku sama sekali ndhak tahu, kapan penyelesaian itu akan datang menghampiriku.     

"Dulu, tatkala Juragan Adrian, dan Paklik Marji masih hidup, aku sering benar mendengar petuah-petuah penting perkara kehidupan dengan mereka. Entah sebagaimana sulit hidup itu, semua akan ada jawabannya jika kita mau berusaha. Entah jawaban yang bagus, atau buruk. Tapi jawaban itu, adalah yang terbaik untuk kita menurut Gusti Pangeran. Saya dulu juga lama mengabdi kepada Juragan Adrian di Jawa Timur, Juragan. Mengurus beberapa kepentingan Ndoro Putri. Eyang Putri Juragan Arjuna."     

"Entahlah, Paklik. Otakku –benar ndhak bisa berfungsi sekarang. Masalah ini benar-benar membuat nyaliku ciut. Bahkan, sekadar untuk mendekat ke arah Rianti. Bagaimanapun aku salah, dan aku ndhak tahu harus apa. Sebab menurutnya, apa yang telah dia alami adalah karena karma. Karma atas kesalahanku."     

Paklik Sobirin kembali tersenyum, dia kemudian menghela napas panjang. Padahal, aku yang sedang memikirkan banyak hal. Tapi sepertinya, dia yang tampak kesusahan.     

"Takdir seseorang itu ndhak ada hubungannya dengan orang lain. Jadi, bagaimana bisa, toh, karma dari seseorang bisa menimpa orang lain. Bisa jadi Juragan Arjuna waktu itu melakukan kesalahan yang benar-benar melanggar norma susila. Melakukan hubungan suami—istri dengan Manis tanpa ada ikatan sebelumnya. Namun, bukankah Juragan sendiri sudah mendapatkan karmanya? Berlipat-lipat, malah."     

"Itu kan pendapatmu. Tapi pendapat Rianti beda, Paklik. Andai dia bisa berpikiran seperti itu. Pasti aku akan menjelaskan semuanya dengan sangat mudah. Namun pada kenyataannya. Apa yang selalu kucoba ucapkan selalu dimentahkan. Yang aku heran, tahu dari mana dia tentang kisah yang lalu. Yang bahkan kami sekeluarga sepakat untuk ndhak menceritakan ini kepada Rianti? Aku benar-benar penasaran, Paklik."     

"Jadi, apakah sekarang Juragan butuh bantuanku?" Suwoto lantas mendekat, dengan senyuman yang aneh itu. Kemudian dia ikut duduk di bawah, berjejer dengan Paklik Sobirin. "Selain membunuh orang, salah satu keahlianku adalah untuk menyelidiki siapa gerangan pembuat onar, lho, Juragan. Biar jelek-jelek seperti ini, aku ini keturunan dari patih paling berkuasa di tanah Jawa. Perkara seperti ini, benar-benar ndhak ada sulit-sulitnya."     

"Jika benar kamu bisa mengetahui perkara yang sulit ditebak. Maka, carilah tahu siapa yang telah melakukan perbuatan biadab kepada adikku. Sebab, aku ndhak akan segan-segan untuk mengulitinya."     

"Mau saya bunuh, Juragan?"     

"Jangan!" kali ini, aku, dan Paklik Sobirin menjawab secara bersamaan.     

Dasar Suwoto ini, memangnya membunuh manusia itu seenteng membunuh tikus, apa toh? Kok ya setiap dia mendengarku ada masalah, pikiranya selalu saja ingin membunuh. Apa dia pikir, membunuh itu adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan? Gusti, mendengar dia menawarkan itu saja hatiku sudah ngeri.     

"Ndhak perlu kamu apa-apakan, cukup identitasnya saja, beritahu aku secepatnya."     

"Apa ada salah satu petunjuk, Juragan?" tanyanya kemudian.     

Aku terdiam beberapa saat, mencoba memikirkan sebuah petunjuk. Petunjuk? Apa, ya? Aku juga ndhak begitu paham.     

"Kata istriku, perubahan sikap Rianti berubah dari kepulangannya mengadakan acara bersama kawan-kawan Universitas. Jadi kemungkinan, pelakunya ada di Jakarta sekarang, dan bisa jadi juga kalau pelakunya salah satu orang yang ada di Universitas. Atau malah, yang ikut dalam acara itu," jelasku kepada Suwoto. Hanya itu yang kutahu dari Manis. Semoga sedikit informasi itu sekiranya dapat membantu. Agar aku bisa menemukan siapa kira-kira pemuda biadab yang telah merenggut mahkota dari adik kesayanganku.     

"Baik, Juragan. Kalau begitu, nanti sore saya akan berangkat ke Jakarta untuk menyelesaikan misi ini."     

Suwoto pun pamitan, membuatku memutuskan untuk beranjak dari tempatku duduk. Kemudian melangkah, mengitari rumah. Kulihat jendela kamar Rianti tampak terbuka. Pelan-pelan aku mendekat. Rianti bertopang dagu, dengan tatapan kosongnya, matanya sembab, benar-benar sangat sembab. Sementara wajahnya tampak begitu kusut. Baru kali ini aku melihat adikku seberantakan ini. Padahal biasanya, dia paling gemar untuk tampil rapi, bersih, dan wangi.     

Aku segera mengedarkan pandanganku, kepada tanaman yang kini semuanya tengah berbunga. Ada banyak macam jenisnya, membuatku semangat untuk memetiknya kemudian kurangkai jadi dua.     

Setelah selesai, satu bunga kumasukkan ke kantung celanaku, dan bunga satunya kugenggam kuat-kuat. Sambil berjongkok aku mendekat ke arah Rianti, kemudian kutunjukkan bunga itu tepat di hadapannya. Rianti tampak kaget, melihat seikat bunga tiba-tiba muncul di depannya. Untuk kemudian aku berdiri, dengan senyuman lebarku. Berharap, dia menyukai kejutan kecilku.     

"Bunga cantik untuk adikku yang cantik. Biar bisa kembali tersenyum, dan wajah cantiknya kembali bersinar seperti sedia kala," kubilang.     

Tapi, apa yang kulakukan rupanya berimbas sangat buruk. Rianti lantas merebut bunga yang kubawa kemudian menginjak-injaknya dengan cara yang teramat sangat kasar.     

"Sudah kubilang, aku itu ndhak mau bertemu dengan kamu, Arjuna! Setiap kali aku melihatmu maka semakin bertambah jijik aku dengan semua tingkah lakumu itu! Pergi! Pergi kamu dari hadapanku!"     

Masih sama, dia masih marah sama seperti kemarin. Bahkan amarahnya itu ndhak pernah mereda. Aku kembali tersenyum getir, kemudian memutuskan untuk pergi. Aku ndhak mau memaksanya. Aku ndhak mau dia histeris karenaku. Lebih baik aku mundur, lebih baik aku menjauh dulu. Meski hatiku selalu tercabik-cabik tatkala Rianti berlaku seperti itu.     

Aku berjongkok tepat di pinggir jendela Rianti, kuliat seikat bunga yang baru saja kupetik itu dibuang begitu saja. Dia lalu berteriak kesetanan, seolah melihatku adalah perkara yang amat sangat hina.     

Lagi, aku berjalan menuju kamar Biung. Melihat Biung duduk sembari disuapi oleh Romo Nathan. Biung melihatku, mungkin bahkan menangkap mimik wajahku yang lesu. Matanya kembali berkaca-kaca kemudian raut wajahnya tampak ndhak biasa.     

"Putraku, kamu kenapa, Nak? Kenapa wajahmu tampak sedih? Apa ada orang yang menyakitimu?" tanyanya penuh selidik. Romo Nathan melambaikan tangannya, menyuruhku duduk.     

"Endhak, kok. Kata siapa Arjuna sedih? Nih, Arjuna mengsem (senyum)," kubilang, sembari tersenyum selebar mungkin ke arah Biung, dan Romo. "Arjuna sengaja datang ke sini, untuk menjenguk bidadari paling cantik di dunia. Apakah bidadari Arjuna sekarang kondisinya sudah baikan? Ini...," kataku menyerahkan seikat bunga kepada Biung. "Bunga cantik untik bidadari cantik seperti Biung,"     

Biung lantas tersenyum, malu-malu dia meraih bunga yang kuberikan itu. kemudian dia memelukku dengan sayang. Romo Nathan tampaknya ikut bahagia, lihatlah betapa kecil matanya yang tampak semakin kecil tatkala dia tertawa.     

"Terimakasih, Sayang. Terimakasih atas perhatiannya."     

"Terimakasih putra Romo," imbuh Romo Nathan.     

"Kalau kalian terus bilang terimakasih, bisa-bisa besar ini kepalaku, lho. Meletus, nanti."     

"Memangnya kepalamu itu balon atau apa, toh."     

"Endhak, Biung, tapi meriam."     

"Arjuna!"     

"Apa Biungku Sayang? Rindu?"     

"Endhak!"     

"Ah, rindu, toh? Ayo ngaku!"     

"Endhak."     

"Arjuna!"     

"Cie Romo cemburu!"     

"Arjuna!" kini keduanya tampak memanggil namaku dengan kesal, untuk kemudian kami tertawa bertiga. Entah tawa yang benar-benar tawa, atau malah tawa untuk menutupi luka. Karena sejatinya, rasa campur aduk begitu terasa sangat kentara.     

Rianti, boleh saja hari ini kamu masih menolakku. Tapi, aku ndhak akan peduli. Aku ndhak akan pernah menyerah. Asal kamu tahu, kangmasmu ini memiliki seribu satu cara untuk membuatmu kembali seperti dulu. Tunggu, dan lihat saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.