JURAGAN ARJUNA

BAB 116



BAB 116

0Pagi ini, Biung sudah bisa sekadar berjalan-jalan pelan mengitari rumah. Dan bahkan setelah dia mandi pun, dia langsung masuk ke kamar Rianti. Berpura-pura ndhak mendengar apa pun yang dikatakan Rianti waktu itu. kemudian dia memposisikan diri menjadi seorang Biung yang sempurna di dunia. Dia mengabaikan rasa sakitnya, dia mengabaikan rasa kecewanya. Rasa hancur yang telah diperlakukan seperti itu oleh putrinya sendiri. Namun sejatinya, aku juga paham. Jika apa yang diucapkan Rianti karena dia sedang emosi. Rianti juga sedang hancur. Yang ia butuhkan bukanlah kecaman dan hukuman dari apa yang telah diucapkan. Melainkan dukungan penuh dari keluarganya agar dia bisa bangkit.     
0

"Kenapa kamu ndhak menemui adikmu?" tanya Romo Nathan, yang tahu jika aku memilih berdiri di depan pintu utama kediaman kami.     

Aku hanya menolehnya sekilas, kemudian menghela napas panjang. Cari perkara jika aku masuk ke dalam kamar Rianti sekarang. Bukan malah membuatnya terharu, yang ada malah membuatnya ingin membunuhku. Lebih baik, aku hindari dulu. Kudekati dia dengan caraku sendiri.     

"Nanti saja, biarkan Biung dulu yang bicara dari hati ke hati dengan Dik Rianti. Sekarang ini yang dibutuhkan adalah Biung, bukan aku, Romo,"     

Romo Nathan tersenyum simpul, kemudian dia mengelus pundakku dengan lembut. Duduk di dipan depan pelataran depan, sambil menyilangkan kakinya.     

"Omong-omong, pemuda anak dari kawan dekat Romo itu, jadi kapan ke sininya, Romo?" tanyanyaku mengalihkan pembicaraan. Kepalaku beberapa hari ini pusing dengan perkara Rianti, aku ingin sejenak memikirkan hal-hal lain selain itu. Bahkan, aku sampai ndhak sempat memikirkan Manis. Ya, Manisku.     

"Oh, Bima...," kata Romo terhenti. Jadi, pemuda kota itu namanya Bima, toh. Tak pikir siapa. "Lusa dia akan bertandang ke sini. Dia mau menyelesaikan ujian semesternya dulu, sebelum mengambil cuti kuliah."     

Kukerutkan keningku tatkala Romo mengatakan hal itu. Kok aku mendadak ingat Universitas Manis, ya? Apa mungkin Bima itu juga kuliah di sana juga? Jika benar Bima kuliah di sana, bukankah itu artinya jika Bima satu jurusan dengan Rianti dan Manis? Atau aku yang salah tentang itu?     

"Arjuna,"     

"Eh, ya, Romo?" kataku. Rupanya, Romo Nathan sedari tadi telah memanggil namaku. Tapi, aku malah sibuk dengan pikiranku sendiri.     

"Kamu itu, lho. Habis menikah kok ya gemar benar melamun. Kenapa? Ndhak enak, ya, jauh dari istri?" tanya Romo Nathan, aku tersenyum saja. Iya, benar, ndhak enak. Andai saja ada Manis di sini, pastilah aku akan mengatakan banyak hal. Aku ada tempat untuk mengungkapkan semua rasa keluh-kesah yang saat ini terpaksa harus kusimpan sendiri.     

"Aku mau ke kebun dulu, Romo. Ingin melihat bagaimana keadaan daun-daun teh yang ada di sana," pamitku kemudian.     

Aku segera mengambil motorku, kemudian mengendarainya pelan-pelan. Kusapa beberapa penduduk kampung yang tampak berjalan kaki, berlalu-lalang sambil membawa barang-barang mereka.     

"Juragan! Mau ke mana?" sapa salah seorang Paklik yang kebetulan lewat. Dia membawa beberapa tumpuk rumput, dan ditaruh di atas kepalanya.     

Aku pun berhenti, melihat itu. Paklik ini sudah tua benar, apa ndhak capek, toh, membawa rumput sebanyak itu di atas kepalanya. Dan aku yakin, ini adalah kegiatan hariannya, dan ndhak hanya Paklik itu, semua penduduk kampung yang memiliki hewan ternak juga.     

"Untuk dibuat makan kambing, toh, Paklik?" kutanya. Paklik itu tampak tersenyum kemudian mengangguk.     

"Iya, Juragan. Kambing-kambing sekarang itu, pemilih. Sukanya rumput yang masih hijau segar seperti ini. Jadi saya harus naik ke atas untuk mencari rumput-rumput segar ini."     

Aku melihat ke atas, jalannya lumayan susah dan tinggi. Pasti, dengan membawa berat seperti ini akan semakin sulit.     

"Sini, Paklik, taruh sini...," kataku. Sembari membawa rumput yang ia bawa oleh Paklik itu.     

"Juragan, ndhak usah repot-repot, lho. Merepotkan sekali ini, Juragan."     

"Ndhak apa-apa, ndhak masalah, Paklik. Aku benar-benar ndhak merasa direpoti. Ayo, ya... tak taruh ke mana ini? Ke rumah Paklik?" tanyaku sedikit memaksa.     

Paklik itu kembali mengangguk, wajahnya tampak sumringah luar biasa. "Iya, Juragan... di ujung sana. Rumah yang ada pagar kayu berwarna hijau itu, lho, Juragan. Taruh di luar sana," jelas Paklik itu. Aku ndhak begitu hapal namanya, tapi sekali dua kali aku tahu jika Paklik yang mempunyai tanda lahir di kening itu, mengantar susu segar ke rumah.     

Aku pun langsung berangkat, sembari mengendarai motor pelan, kemudian berhenti di depan rumah yang ditunjuk oleh Paklik tadi. Kuhentikan motorku kemudian kuangkat rumput itu sendiri. Gusti, rupanya berat benar rumput ini? Hanya setumpuk rumput saja kenapa bisa sampai seberat ini, toh?     

"Lho, Juragan ndhak kuat mengangkat rumputnya?" tanya Paklik itu sedikit keras, maklum dia masih berada di posisi agak jauh dariku. Rasanya, malu bukan main kalau aku sampai ndhak bisa mengangkat rumput ndhak tahu diri ini. "Ndhak biasa angkat berat, Juragan? Sudah... biar saya saja, saya ndhak mau merpotkan Juragan," katanya lagi.     

Tapi, aku ndhak terima. Enak saja aku diremehkan seperti itu. Dengan sekuat tenaga, aku mengangkat tumpukan rumput itu, sempoyongan membawanya masuk ke dalam pagar.     

"Duh Gusti, Juragan Arjuna, toh ini?" Bulik, istri dari Paklik tadi tampak kaget, melihatku membawa rumput. Bahkan sampai bajuku kotor karenanya.     

"Oh, iya, Bulik. Kebetulan aku melihat Paklik membawa rumput seberat ini sendirian, lho," jawabku.     

Bulik itu agaknya masih keheranan melihatku berada di rumahnya. Aku yakin, dia pasti kaget. Padahal kurasa, itu biasa saja, lho.     

"Seorang Juragan sudi membantu orang kecil seperti kami. Duh Gusti, baik benar hati Juragan Arjuna ini,�� katanya kemudian.     

"Wah, sepertinya Bulik ini terlalu melebih-lebihkan, jadi ndhak enak hati ini aku," kubilang. Niat hati membantu malah diperlakukan bak raja seperti ini. Jelas sungkan sekali.     

"Sini, Juragan. Mampirlah dulu. Kebetulan saya sedang membuat singkong rebus. Sudilah kiranya Juragan untuk mencicipi barang sedikit saja. Ya, Juragan?" bujuk Bulik itu lagi.     

Aku langsung melirik ke arah Paklik yang sedari tadi sudah tersenyum ramah. Kemudian, menuntunku untuk duduk di dipan teras rumahnya.     

"Sungkan lho aku, Paklik. Cuma membantu seperti ini saja, diperlakukan istimewa sekali," kubilang.     

"Ndhak usah sungkan, toh, Juragan. Juragan memang istimewa. Juragan itu raja di kampung ini. Dan kami adalah para penduduk Juragan. Jadi, jika Juragan sudi membantu saja, itu adalah perkara yang luar biasa. Seperti ketiban bintang jatuh, Juragan."     

Aku nyaris tertawa dengan perumpamaannya itu. Bagaimana, toh, kok ya ketiban bintang jatuh. "Paklik, bintang itu seperti bola api, lho. Panas. Kalau Paklik ketiban nanti bisa gosong," celetukku. Paklik itu malah tertawa.     

"Ya sudah, diganti ketiban durian runtuh, Juragan," katanya meralat ucapannya.     

"Durian itu kulitnya penuh duri, apa Paklik ndhak merasa sakit?" godaku lagi.     

Paklik itu kembali terpingkal-pingkal. "Duh, Gusti, Juragan ini benar juga, toh. Iya, ya, kenapa ada perumpamaan ketiban durian runtuh? Bisa-bisa ndhak malah dapat rejeki malah mati karena badannya punya banyak luka. Iya, toh, Juragan?"     

"Nah, betul itu, Paklik!" seruku.     

Ndhak berapa lama Bulik itu pun keluar, sambil membawa sebakul singkong rebus, lengkap dengan kopinya.     

"Wah, rejeki benar, ini. Pas sekali. Pagi-pagi yang dingin seperti ini, bisa makan singkon rebus anget-anget,"     

Aku langsung mengambil satu, kemudian menikmatinya. Bulik, dan Paklik itu malah ndhak ikut makan denganku. Keduanya masih berdiri, sambil mengikat kedua tangannya di depan, memandangku yang sedang duduk dengan menunduk.     

"Lho, kalian ndhak makan? Sini, lho, duduk. Kok ya berdiri terus apa kaki kalian ndhak lelah?" tanyaku lagi.     

"Tapi, Juragan... ndhak sopan kalau kami duduk dan makan dengan Juragan."     

"Siapa yang bilang ndhak sopan?" tanyaku bingung. "Duh, duduklah. Ini perintah. Duduk dan makan sama-sama. Ndhak enak, ini, menikmati singkong anget-anget sendirian," paksaku lagi.     

Takut-takut keduanya langsung duduk, kemudian mengambil singkong itu. memakannya dalam diam, sembari sedikit senyum.     

"Enak lho, singkong buatan Bulik. Bulik bisa kasih resep, biar nanti aku suruh Bulik Sari buatkan kapan-kapan," kubilang, mengajak mereka bergurau.     

"Juragan kalau pengen, bisa saya buatkan dan antar ke kediaman Juragan," jawabnya kemudian. Kami kembali tertawa, dan sedikit bercakap ringan bersama.     

Sampai akhirnya, ada Paklik Junet, setengah berlari menuju ke arahku. Ada apa gerangan orangtua itu? Kok seperti adalah masalah penting.     

"Ada apa?" kutanya, Paklik mendekat. Menuangkan kopi di salah satu cangkir itu, kemudian menyesapnya dengan nikmat.     

"Kopinya enak, lho, Mbakyu."     

"Paklik!" kataku.     

"Oh, aku disuruh ke sini Kangmas Nathan. Tamu dari kota itu sudah datang. Kamu disuruh untuk menemaninya, dan menyambutnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.