JURAGAN ARJUNA

BAB 117



BAB 117

0"Oh, aku disuruh ke sini Kangmas Nathan. Tamu dari kota itu sudah datang. Kamu disuruh untuk menemaninya, dan menyambutnya."     
0

Mendengar itu aku pun mengerti, rupanya di luar dari dugaan. Padahal, katanya lusa putra dari kawan Romo itu akan berkunjung. Tapi rupanya, pagi ini.     

Aku pun langsung berpamitan dengan Paklik, dan Bulik. Kemudian kembali ke rumah bersama dengan Paklik Junet.     

"Berapa orang, Paklik?" tanyaku, sembari dibonceng Paklik Junet menuju perjalan pulang.     

"Dua, Jun. Yang satu itu supirnya, bawa mobil bagus. Membawanya ke sini. Tapi, sore katanya supirnya itu mau pulang," jelas Paklik. "Anak orang kaya, ya? Pakaiannya, dan gerak-geriknya itu keren, lho. Ya persis itu seperti anak-anak kota. Anak-anak kaya, kayak yang di tipi itu, lho," jelas Paklik Junet lagi.     

"Ya, namanya juga orang kota, Paklik, beda sama kita yang orang kampung seperti ini," kataku kemudian. "Lagi pula, menurut Romo, kawannya itu memiliki perusahaan. Jadi, ya, ndhak heran kalau anaknya mentereng. Anak gedongan,"     

Ndhak berapa lama, akhirnya kami pun sampai. Di sana sudah ada mobil yang kulihat memang harganya paling mahal, jenis mobil keluaran terbaru. Seorang berpakaian seragam berdiri sambil mengelap-elap mobil itu. Bisa kutebak, itu pasti supir Bima.     

"Tuh, mobilnya bagus. Kamu harus beli satu yang seperti itu," celetuk Paklik Junet.     

"Halah, lha wong di kampung saja, lho. Kenapa harus pakai mobil sebagus itu? Kena debu, kena pasir, kena kerikil. Rusak, nanti, Paklik."     

"Halah, orang kaya peritungan ya kamu ini, Jun... Jun," cerocos Paklik Junet.     

Aku lantas ndhak mempedulikan Paklik Junet, setelah motor yang ia kendarai berhenti. Aku langsung masuk. Kulihat ada sosok tinggi, berperawakan tegap sedang bercakap dengan Romo. Sosok itu, meski aku melihatnya dari belakang, entah kenapa tampak ndhak asing sama sekali. Seperti aku ini pernah melihat, namun di mana? Aku lupa.     

"Lho, itu, anak pertamaku. Namanya Arjuna, dia yang nanti akan menjadi kawanmu selama kamu ada di sini. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu minta tolong sama dia, ndhak usah sungkan,"     

Pemuda bernama Bima itu menoleh, memandangku dengan tatapan kagetnya itu. Sama halnya aku, yang kaget juga tatkala melihatnya.     

"Lho, kamu?"     

"Kamu, Bang?"     

Ucap kami hampir bersamaan. Duh Gusti, kebetulan macam apa, ini? Bukankah dia adalah pemuda yang kutemui di Universitas beberapa waktu lalu? Bukankah dia adalah pemuda yang keluar dari rumah di Jakarta Rianti, dan mereka tampak bertengkar hebat? Duh Gusti, apa-apaan ini?     

"Bang, kok kamu ada di sini?" tanya Bima agaknya bingung. "Abang kan yang ada di—" ucapnya lagi langsung terputus. Saat kulihat ada sosok Rianti keluar, sembari membawa ember. Menarik lengan Bima sampai pemuda itu membalikkan badannya. Lalu kemudian....     

Byur!!     

Aku, Romo, dan yang pasti Bima juga kaget. Saat Rianti menyiram Bima dengan air bekas cucian piring dari Budhe Atun dari dapur belakang. Wajah bagus (tampannya) basah kuyup, pun dengan pakaian kerennya itu.     

"Kamu...." geramnya, memandang Rianti seolah hendak memukul. Tapi lagi-lagi, ulah Rianti benar-benar di luar nalar. Dia menampar Bima sampai membuat Romo memekik.     

"Kenapa kamu ada di sini? Pergi!" histerisnya.     

Plak!     

Aku kaget, tatkala melihat Romo menampar Rianti yang sedang marah dengan sangat histeris kepada Bima itu. sungguh, aku ndhak pernah menyangka jika hal ini akan terjadi. Sebenarnya, kenapa dengan Rianti? Kenapa dia bisa sebenci itu dengan Bima? Ada apa dengan semua ini? Sungguh, aku benar-benar ndhak mengerti.     

"Ndhak usah lancang kamu, Ndhuk! Dia ini tamu Romo, lancang benar kamu mempermalukan Romo dengan menyiramnya dengan air comperan kemudian menamparnya! Kamu ini anak seorang Juragan! Mana adabmu sebagai seorang Ndoro!"     

Hening, ndhak ada suara apa pun, setelah kemarahan Romo yang seperti itu. Ini adalah kali pertama Romo semarah itu dengan Rianti. Seumur hidupku, aku baru tahu jika Romo bisa seperti ini.     

Rianti tampak sangat kecewa dengan Romo, matanya sudah berkaca-kaca sembari tangannya memegang pipinya yang telah ditampar oleh Romo.     

"Romo tega nampar aku?" lirihnya, dengan nada yang sangat pilu. "Romo akan menyesal kalau sampai Romo mengizinkan pemuda ndhak tau diri ini berada di sini!"     

Rianti langsung berlari pergi, membuatku memandang Bima dengan iba juga. Dia jauh-jauh dari kota, dan diperlakukan seperti ini oleh Rianti.     

"Bim, kamu bisa ikut aku, kuantar kamu ke kamarmu untukmu berganti baju."     

Aku langsung membawakan tasnya, berjalan mengiringi langkahnya yang agaknya sedang kesal. Sembari, sesekali menebas pakaiannya yang basah dengan kasar.     

"Kalau tau aku di sini di rumah perempuan gila itu, mending aku tolak permintaan dari Ayah, Bang," dengusnya.     

"Maafkan adikku, ya. Dia memang sedikit galak. Tapi percayalah, sebenarnya dia perempuan yang baik."     

Bima hanya diam, ndhak menjawabi ucapanku lagi. Selain terus sibuk dengan pakaian basahnya. Setelah aku sampai di depan kamarnya, kuletakkan tas Bima. Kemudian, kubukakan pintu kamar Bima.     

"Ini kamarmu, sudah dibersihkan oleh abdi dalem di sini. Semoga kamu suka, ya," kataku mencoba menghiburnya.     

Raut wajah jengkel Bima agaknya mereda, setelah dia melihat kamarnya. Kemudian, dia memandangku dengan senyum simpulnya.     

"Terimakasih, Bang. Seenggaknya aku bisa ngerasain kamar klasik kayak gini."     

"Semoga betah. Aku tinggal dulu, ya," putusku.     

Aku langsung pergi, mencari keberadaan Rianti. Sebab ekor mataku menangkap, perempuan itu berlari ke arah pelataran belakang. Saat aku sudah ada di sana, terang saja. Rianti tampak terduduk sambil menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan. Dia menangis sesugukan, membuatku berlahan mendekat kemudian berjongkok di sampingnya. Memeluknya dengan erat, untuk menenangkannya.     

"Kalau Kangmas boleh tahu, sebenarnya ada apa kamu dengan Bima? Kenapa kamu bisa sebenci itu dengan pemuda itu?" tanyaku hati-hati.     

Rianti sadar akan keberadaanku, kemudian dia mendorongku kuat-kuat. Matanya masih sama. Mata yang menampillkan kebencian yang luar biasa.     

"Pergi kamu! Aku ndhak mau melihat wajahmu!" bentaknya.     

Sabar... sabar, hanya itu yang bisa kubisikkan kepada hatiku berkali-kali. Sebelum aku benar-benar gila dibuat oleh Rianti. Seendhaknya, dia sudah mau kupeluk. Seendhaknya, dia sudah ndhak sedingin beberapa waktu ini. Semuanya butuh waktu, barangkali dia masih terluka, barangkali dia masih trauma. Sebab diperkosa, bukanlah perkara yang cukup mudah dilupakan oleh seorang perempuan mana pun.     

Aku menunduk, sembari tersenyum kecut. kemudian aku memutar tubuhku, pergi meninggalkannya sendiri di pelataran belakang. Duh Gusti, meski hanya Rianti. Tapi kenapa, aku merasa benar-benar ndhak dianggap seperti ini. Apakah aku salah mempunyai perasaan seperti ini, Gusti?     

Aku langsung masuk ke dalam kamarku dengan langkah gontai, kemudian duduk di ranjang sembari membungkuk. Menutup wajahku dengan tangan, mencoba menetralkan semua perasaan yang semakin bercampur aduk menjadi satu. Dadaku terasa sesak, aku benar-benar menginginkan sebuah tangan yang bisa menggenggamku dengan kuat. Agar aku ndhak jatuh semakin dalam karena sikap Rianti yang seperti ini.     

"Manis... aku rindu kamu," lirihku. Aku benar-benar berharap jika istriku ada di sini, di sampingku. Agar aku dapat menceritakan semua rasa resah, dan beban yang ada di hatiku. Tapi aku merasa, jika sekarang aku benar-benar sendirian. "Manis...." kataku lagi.     

Sejenak aku terdiam, saat sebuah tangan mengelus rambutku dengan lembut. ��Sayang, aku pulang," lirih suara itu.     

Aku langsung mendongak, memandang sosok yang ada di depanku. Senyumku mengembang, aku segera bangkit sembari memeluk sosok itu dalam-dalam.     

"Sayang, aku rindu kamu," kataku, memeluknya semakin erat. Sebab aku benar-benar ndhak ingin dia pergi jauh dariku lagi. Aku butuh dia, benar-benar butuh dia sekarang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.