JURAGAN ARJUNA

BAB 118



BAB 118

0"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Manis. Sembari mengelus lembut punggungku.     
0

Ya, seperti inilah istriku. Selalu bisa menjadi sosok Biung yang paling mengerti aku, dan paling dewasa. Aku benar-benar merasa nyaman jika bersamanya. Benar-benar seperti telah menemukan jalan pulang.     

Aku ndhak menjawab pertanyaan Manis. Entah kenapa dadaku mendadak terasa begitu sesak dan pengap. Bahkan untuk sekadar bernapas pun aku merasa ndhak bisa.     

"Menangislah, kalau kamu merasa ingin menangis. Ndhak ada yang salah dari seorang laki-laki yang menangis. Ndhak akan pernah dianggap rendah, dan hina, toh?"     

Aku langsung menangis setelah Manis mengatakan hal itu. Dia duduk, dan aku langsung menelungkupkan wajahku di pangkuannya. Tubuhku bergetar hebat, semua emosi yang ada di dalam hati seolah meluap jadi satu seperti bara api yang sudah ndhak bisa dibendung lagi. Aku benar-benar ndhak tahu, bagaimana bisa rasa sakit dari perkataan Rianti bisa membuatku sehancur ini. Terlebih mengetahui kalau Rianti telah dinodai oleh seorang laki-laki.     

"Rianti, Manis... Rianti," kubilang kepadanya sambil terbata.     

Manis yang masih duduk itu pun langsung memandangku dengan tatapan tenangnya itu. Tatapan yang benar-benar membiusku.     

"Dia telah tahu kalau aku bukan Kangmas kandungnya, Manis. Entah dari siapa, dia tahu perkara itu. Terlebih dia sampai tahu betul tentang semua masa lalu Biung, tentang bagaimana Biung bisa memiliki anak aku. Dan bahkan, Biung menjadi korban amarahnya juga. Terlebih...," kataku terputus, kemudian kuhirup udara dalam-dalam agar dadaku sedikit lega. "Terlebih rupanya Rianti telah diperkosa oleh seorang pemuda sewaktu dia melakukan acara dengan kawan-kawannya itu."     

"Apa? Rianti diperkosa, Kangmas?!" tanya Manis. Agaknya, dia terkejut dengan warta (berita) yang baru saja kuberitahukan kepadanya ini. "Siapa, Kangmas? Siapa yang telah memperkosa Rianti? Tolong beritahu aku, biar aku bisa membalas dendam Rianti kepadanya!" histerisnya kemudian.     

Aku langsung menangkap tubuh Manis, agar dia ndhak histeris seperti ini. sepertinya aku telah keliru. Seharusnya aku mengatakan dulu kepadanya untuk bisa menguasai diri sebelum aku mengatakan hal ini.     

"Sudah... sudah... percuma. Sampai detik ini Rianti ndhak mau mengatakan siapa pemuda yang telah memperkosanya," kubilang.     

Manis kembali memandangku, ekspresinya kini sudah ndhak sehisteris tadi. Matanya tampak berkaca-kaca. Iya, aku paham. Sejatinya Manis adalah kawan akrab dari Rianti. Jika Rianti mendapatkan masalah yang sebesar ini pasti dia akan sangat terpukul sekali. Dan itu juga menjadi salah satu alasan kenapa aku ndhak membahas masalah hubungan kami yang diungkit-ungkit oleh Rianti terus.     

"Manis, Sayang...," kataku lagi. Kubingkai wajah mungilnya dengan tanganku, kemudian dia memandangku, mata nanarnya memandangku nyaris tanpa kedip. "Aku rindu," kubilang lagi.     

Dia hendak memalingkan wajahnya, sembari tersenyum. Namun kutahan, membuatnya kembali memandangku, pandangan yang polos itu benar-benar membuatku dimabuk kepalang karenanya.     

"Kamu tahu, kan, aku rindu kamu?" ulangku kepadanya. Dia kembali tersenyum, kemudian mengangguk kuat-kuat.     

"Iya, Sayang, aku tahu. Aku juga rindu kamu," balasnya. Sembari menunjukkan senyumnya semanis mungkin, di hadapanku.     

Aku menggeleng, sembari kukecup pipinya dengan sayang. Ndhak... ndhak seperti itu. Sepertinya dia telah keliru dengan ucapanku.     

"Ndhak... ndhak, ndhak seperti itu," kataku lagi.     

Manis tampak menarik sebelah alisnya, memandangku dengan tatapan bingungnya itu.     

"Lantas? Apanya yang keliru? Kangmas rindu aku, aku juga rindu kamu, Kangmas," jelasnya, setengah ngeyel juga jengkel. Lihatlah betapa dia jengkel. Dia adalah perempuan paling manis tatkala jengkel seperti ini.     

"Aku... rindu... ka... mu,�� ulangku lagi. Kubisikkan kalimat itu tepat di telinganya, kemudian dia memandangku sembari tergugu. Dia diam, ndhak mengatakan apa pun. Wajahnya pun tampak bersemu merah jambu.     

Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung mendongakkan wajahnya. Melumat bibir merahnya dengan rakus. Sudah lama aku merindukan bibir ini, sudah lama aku menginginkan cumbuan ini. Manis, biarkan kita bersatu kali ini.     

"Bang, kebun—"     

Aku, dan Manis langsung kaget, mendengar suara itu terdengar di dalam kamarku. Di sana, tepat di ambang pintu. Ada Bima, kepalanya masuk ke dalam kamarku. Dia tampak kaget, matanya hanya mengerjap-kerjap, dia diam dengan wajah yang sudah berwarna merah. Duh Gusti, pasti Manis lupa menutup pintu tadi. Kok ya lupa aku bercerita kepada Manis kalau telah ada tamu dari Jakarta yang menginap di sini untuk beberapa bulan lamanya.     

"Lho, kamu, toh?" tanya Manis, ia tampak bingung. Kemudian memandangku seolah hendak bertanya. "Kok kamu ada di sini?"     

"Sayang, dia ini adalah putra dari kawan Romo yang ada di Jakarta. Dia bertandang ke sini karena permintaan Romo untuk menemukan bibit dari tanaman-taman di kebun untuk menjadikan kualitas terbaik tanpa harus membeli dari kota," jelasku pada akhirnya.     

Dan lagi, hal itu semakin membuat Manis bingung. "Tapi, dia kan kuliah jurusan kedokteran, Kangmas. Bukan dari sarjana pertanian, toh?" tanyanya lagi.     

"Dulu aku pernah kuliah di jurusan pertanian," jawab Bima, cukup singkat, padat, dan jelas. "Bang, bisa anterin aku ke kebun yang ada di Bejo?"     

"Berjo maksudmu?" tanyaku meralat ucapannya. Dia kemudian mengangguk kuat-kuat.     

"Iya, Bang. Yang ada di Berjo. Aku mau liat kayak gimana tekstur tanah di sana. Bisa? Atau...," katanya, sembari melirik ke arah Manis. "Kalian mau meneruskan yang... tadi?"     

"Oh, ini istriku, Manis namanya,"     

"Oh, kalian sudah menikah, ya? Maaf, aku nggak tahu," kata Bima kemudian. Sudah kutebak dari mimik wajahnya, jika dia telah salah menerka. Dia pikir, aku dan Manis melakukan hubungan terlarang di kamar ini.     

"Kami adalah suami istri," jelas Manis mantab. "Ya sudah, Kangmas. Pergilah dulu dengan Bima. Aku ingin menemui Rianti setelah ini. Kemudian, aku ingin berbincang dengan Biung. Rindu," katanya.     

Aku pun mengangguk menjawabi ucapannya. Lebih baik, seperti itu. Mengantarkan Bima ke Berjo, adalah hal yang harus kulakukan sekarang.     

"Aku pergi dulu...," bisikku tepat di telinga Manis. "Tapi setelah bali (pulang) kita lanjut lagi yang tadi."     

"Yang mana? Aku kok ndhak ingat, toh," katanya menggodaku. Ah dasar perempuan satu ini, pandai benar memancing-mancingku, rupanya.     

"Yang tadi, hubungan terlarang kita yang harus terhenti karena kedatangan manusia menyebalkan seperti Bima," jelasku.     

Manis langsung tersenyum, setelah itu dia langsung mendorong tubuhku untuk segera keluar dari kamar.     

"Sudah, sana... sana. Itu lho, Bima sudah menunggumu! Oh ya...," aku langsung diam, saat Manis mengatakan hal itu. Seperti dia telah mengingat sesuatu. "Rianti sudah tahu kalau Bima ada di sini?" tanyanya kemudian.     

Aku pun mengangguk seperluku, kemudian kugaruk rambutku yang mendadak gatal. "Iya, Rianti sudah tahu. Dan kamu tahu apa yang terjadi tadi?"     

"Apa, Kangmas?"     

"Rianti menyiram Bima dengan air bekas cucian piring di dapur, kemudian menampar Bima dengan sangat kasar. Dan berakibat, dia mendapatkan tamparan dari Romo."     

"Gusti...." kata Manis kaget.     

"Aku ndhak paham, kenapa bisa Rianti sebenci itu dengan Bima. Dan aku sangat penasaran, sebenarnya ada hubungan apa mereka berdua. Yang jelas, kata Rianti, Romo akan menyesal karena telah membawa Bima ke kampung ini."     

Manis langsung diam, kemudian menghela napasnya dalam-dalam. Entah, aku sendiri pun ndhak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Hanya saja, aku sama sekali ndhak berharap dia akan merasa terbebani karena perkara ini.     

"Pergilah dulu, Kangmas. Nanti malam, kita bicarakan ini nanti," putusnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.