JURAGAN ARJUNA

BAB 119



BAB 119

0Saat ini, aku dan Bima sudah berada di Berjo. Untuk sekadar duduk berdua karena baru saja meninjau lahan tembakau yang ada di sini. Sungguh, aku ndhak menyangka. Jika nama pemuda yang ada di sampingku ini adalah Bima. Sementara aku adalah Arjuna. Kenapa ndhak ada tiga pemuda lainnya? Lantas kita menggelar pentas pewayangan yang berjudul pandawa lima.     
0

"Kita ini lucu, aku baru sadar setelah beberapa saat berada di rumahmu," Bima mulai berkata. Aku yakin, jika sejatinya dia baru paham. Tentang nama kita yang menjadi salah satu dari lakon pewayangan. "Namaku Bima, kamu Arjuna. Bukankah itu seperti cerita pandawa lima yang ada perang baratayudha?" ucapnya kemudian.     

"Lho, kamu tahu tentang cerita itu?" kutanya. "Aku pikir kamu tidak paham tentang cerita pewayangan Jawa,"     

Bima tampak tersenyum kemudian dia menundukkan wajahnya. Kulitnya yang putih itu tampak memerah. Mungkin, dia ndhak terbiasa berada di bawah terik matahari seperti ini. Itu sebabnya kulitnya terbakar sekarang. Padahal, toh, di kampung ini termasuk yang sejuk. Aku ndhak bisa membayangkan kalau dia hidup di pesisir pantai. Bakal seperti apa warna kulitnya.     

"Tahu, jelas. Sejak berteman dengan ayahmu, ayahku jadi sangat suka dengan cerita-cerita Jawa beserta latar belakangnya. Itu sebabnya aku diberi nama Bima. Tapi, bukankah Jakarta termasuk kepulauan Jawa juga, ya?"     

"Oh, iya, Jakarta juga termasuk Jawa. Jawa Barat," jawabku seraya menggodanya. Kemudian, kupandang lagi dia yang tampak tersenyum.     

Sepertinya, pemuda ini cukup baik. Dia bisa berkawan dengan siapa pun dengan mudah, dia pun cukup sopan. Sebab biasanya bagi orang-orang kota, jika dia berada di kampung seperti ini seolah menjadi sok kuasa, sok yang paling beradab, dan sempurna di atas segala-galanya.. Tapi, kenapa dulu di Universitas dia mengatakan hal itu? Apa benar yang dimaksud adalah adikku—Rianti? Lalu, kenapa dia sampai selalu adu argumen dengan Rianti? Ada apa dengan hubungan keduanya? Aku benar-benar ndhak tahu.     

"Oh ya, omong-omong, kalau boleh tahu. Kamu ini semester berapa?"     

"Semester empat. Kakak tingkat dari istrimu, sepertinya," jawabnya lagi. Kok dia ndhak membahas Rianti. Padahal kukira, dia cukup dekat dengan Rianti dari pada dengan istriku. Bahkan dia waktu di Jakarta pun pernah berkunjung di rumah Rianti.     

"Ohya, waktu di Jakarta, di rumahku yang di sana. Kamu berkunjung menemui adikku—Rianti. Apa itu benar?" tanyaku hati-hati.     

Raut wajahnya tampak pucat, kemudian dia tersenyum kaku. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan Bima, juga Rianti. Tapi, aku ndhak tahu apa itu? Jika aku bertanya, apakah dia akan menjawabnya dengan jujur, dan terbuka?     

"Oh, iya...," jawabnya yang tampak ngambang. "Aku disuruh teman memberikan undangan kegiatan naik gunung. Kebetulan cewek itu ikut," lanjutnya. Dia ndhak menyebut Rianti, atau adikmu. Tapi, 'cewek itu' benar-benar jenis sebutan yang aneh sekali.     

"Acara naik gunung?" tanyaku lagi. Sejak kapan Rianti jadi suka naik gunung? Seperti laki-laki saja. Lagi pula selama ini, di sini sangat dekat dengan gunung. Tapi dia sama sekali ndhak ada niat untuk naik. Lantas, kenapa dia harus jauh-jauh di Jakarta untuk naik gunung? Lagi pula, gunung yang dekat dengan Jakarta gunung apa? Aku benar-benar ndhak paham dengan jalan pikiran Rianti. "Jadi acara sebelum ujian semester itu adalah naik gunung?" ulangku kepada Bima.     

Dia tampak mengerutkan keningnya, seolah pertanyaanku itu adalah perkara yang sangat aneh baginya. Seolah dia juga baru tahu, jika kabar Rianti naik gunung sampai membuatku menanyainya sampai seperti itu.     

"I... iya, Bang. Cewek itu naik gunung, sama teman-teman. Abang tidak tahu tentang itu? Cewek itu tidak izin kepada Abang?" jawab sekaligus tanyanya.     

Jelas ini adalah perkara yang benar-benar ganjil. Logikanya saja, Rianti ndhak pernah naik gunung. Lantas, bagaimana bisa dia tiba-tiba ikut acara seperti itu? Terlebih kata Manis, Rianti jadi aneh setelah acara itu. Apakah saat naik gunung itu Rianti dimanfaatkan oleh seorang pemuda? Apakah Rianti sakit atau apa sampai ada pemuda yang memperdayanya kemudian merenggut kesuciannya? Jika benar itu terjadi, benar-benar ndhak bisa termaafkan. Akan kucari bagaimanapun caranya, siapa pun pemuda sialan itu.     

"Kamu ikut acara naik gunung itu, benar?" tanyaku pada akhirnya. Ragu-ragu Bima mengangguk, sembari memasang wajah kakunya. Bima benar-benar tampak aneh. Seperti ada sesuatu yang tengah ia sembunyikan. Entah apa itu. Apa jangan-jangan benar, jika dia dan kawan-kawannya lah yang telah melakukan tindakan menjijikkan itu kepada adik satu-satunya yang kumiliki? "Jadi kamu tahu kalau adik tercintaku tengah mengalami musibah waktu itu?" tanyaku langsung.     

Bima agaknya diam, dia ndhak mengatakan apa pun. Benar-benar diam, dengan raut wajah anehnya.     

"Rianti tampak histeris setelah dia pulang dari acara itu. Dia menangis, kemudian pulang, dan memutuskan untuk tidak mau meneruskan kuliahnya lagi. Dia bilang kalau dia telah dinodai oleh pemuda, yang bahkan sampai detik ini dia tidak jujur kepada keluarga siapa pemuda kurang ajar yang telah menodainya. Dan aku benar-benar penasaran tentang itu,"     

"Untuk itu aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Bang...," kata Bima pada akhirnya. Setelah ekspresi kakunya itu, dia pun kembali tersenyum kepadaku. "Tapi percayalah, Bang, cepat atau lambat semuanya juga akan terungkap. Mungkin, ini juga adalah salah satu musibah untuk menyadarkan cewek itu."     

"Menyadarkan?" tanyaku yang agaknya bingung. Apa maksud dari menyadarkan? Memangnya, kesalahan apa yang telah Rianti perbuat sampai Bima mengatakan hal itu? "Menyadarkan dari apa, maksudmu? Aku benar-benar tidak paham."     

"Sebelumnya aku minta maaf ke Abang, mungkin ucapanku ini akan sedikit membuat Abang sebagai abangnya cewek itu sakit hati. Tapi bagaimanapun, tabiat dari adik Abang benar-benar tidak baik, Bang. Dia perantauan, perempuan pula. Tapi sikapnya benar-benar angkuh, seolah dia adalah penguasa kampus saja. Gayanya, terlebih mulutnya kepada semua cowok-cowok yang ingin berteman, dan kenal dengannya benar-benar angkuh. Bahkan, kata-kata pedasnya cenderung kasar dan menyakitkan hati. Itu adalah hal yang membuat banyak cowok membencinya. Sebab dia pikir, dia adalah seorang Ndoro terhormat, yang seolah tidak ada satu cowok pun di muka bumi ini yang pantas berteman dengannya. Jadi, kira-kira seperti itu, Bang," jelas Bima panjang lebar.     

Aku kemudian paham, titik permasalahannya di sini. Ini hanya sekadar salah paham, ndhak lebih. Dari sudut pandang orang-orang kota, dan sudut pandang orang kampung terlebih keturunan darah biru seperti Rianti.     

"Sepertinya kamu telah keliru menilai adikku, Bima...," kubilang. Bima tampak mengerutkan kenimgnya, seolah dia ndhak salah atas prasangkanya terhadap Rianti. "Kamu tahu, jika bumi pertiwi kita ini beragam? Banyak adat, banyak suku, yang berkumpul menjadi satu kesatuan di bumi pertiwi kita. Di tempat ini kita menjunjung etika dan hukum alamnya. Pun di tempatmu juga, Jakarta. Aku tahu jika di Jakarta, pergaulan antara laki-laki, dan perempuan adalah hal yang wajar adanya. Betul? Bahkan saling rangkul, berpengangan tangan, cium pipi pun bisa dilakukan tanpa canggung. Betul?" kutanya, Bima tampak mengangguk malu-malu. "Begitu pun di sini, di kampung. Terlebih, Rianti adalah seorang keturunan darah biru. Putri dari Juragan Besar di sini. Kamu tahu, sekelas perawan kampung yang lahir dari keluarga biasa saja, jangankan berbicara. Cara penampilan, sampai cara menata rambut pun ada aturannya, Bima."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.