JURAGAN ARJUNA

BAB 120



BAB 120

0"Maksud, Abang?"     
0

"Begini, aku jelaskan beberapa rincian garis besarnya saja," kutata dudukku, membuat Bima menghadap ke arahku dengan serius. "Di sini seorang perempuan, apalagi perawan, jalan pun ada aturannya. Berpakaian pun harus ada aturannya, tidak boleh di atas tumit, dan rambut... hanya sekadar rambut saja harus ada aturannya, Bima. Jika menghadap para orang ningrat, penduduk biasa tidak boleh menggerai rambutnya. Rambut harus diikat dengan sempurna, kecuali jika niatnya untuk menggoda. Berjalan harus menunduk, tidak boleh bicara berdua dengan lawan jenis bagi yang lajang, terlebih bersentuhan yang lebih intim. Paling-paling, yang mereka lakukan ketika saling jatuh cinta adalah, saling pandang dari kejauhan sambil senyum-senyum tidak jelas. Berharap orang yang mereka cinta akan mengerti dengan perasaannya. Nah, ini adalah contoh penduduk biasa. Jadi, bayangkan jika itu adalah seorang Rianti? Seorang Ndoro anak dari Juragan Besar yang disegani di sini? Bahkan aturan itu, sangat ketat melekat padanya sedari kecil. Mungkin karena itulah, dia tidak bisa membiasakan diri ketika hidup di Jakarta, Bima." Bima diam, dia tak mengatakan apa pun. Tapi aku merasa ada raut wajah menyesal tampak terukir jelas di sana. "Ada memang, orang-orang yang tidak menghiraukan aturan itu. Bercengkerama dengan lawan jenis sesuka hatinya, bahkan meniduri banyak perempuan. Ada... banyak sekali. Bahkan di salah satu tempat di sini, ada pesugihan yang ritualnya harus dengan berhubungan badan, jika kamu penasaran. Dan asal kamu tahu, aku juga adalah salah satu yang terbusuk di antara mereka. Aku bukan contoh yang baik sebagai pemuda kampung. Jadi, kurasa aku sudah memberitahumu garis besar alasan kenapa Rianti seperti itu. Dan aku harap kamu maklum dengan sikap Rianti yang seperti itu. Masalah ucapannya yang pedas, itu tidak lain mungkin karena efek keturunan. Kamu tahu romoku? Dia adalah Juragan yang bermulut paling pedas yang pernah ada."     

Lama, Bima termenung. Dan aku sama sekali ndhak tahu apa yang sedang direnungkan itu. Aku hanya berharap jika dia ndhak lagi menganggap buruk tentang Rianti. Sebab bagiku, di mataku, Rianti adalah perempuan yang paling sempurna yang pernah ada. Tentu, jika sudut pandangku ini adalah seorang pemuda, bukan kangmasnya.     

"Sudahlah, untuk apa membahas ini. Kamu mau di sini atau ikut aku kembali? Ada beberapa hal yang harus aku urus. Terlebih, anak perempuanku kabarnya telah pulang."     

"Anak perempuan? Berarti Abang sudah punya anak perempuan?" tanya Bima. Mengabaikan pertanyaanku tadi. "Oh, aku pulang nanti, Bang. Mau meneliti beberapa hal lagi di sini. Lagi pula aku sudah hafal jalan pulang," lanjutnya kemudian.     

Aku tersenyum mendengar hal itu, kemudian aku bangkit. Sembari menebas celanaku yang mungkin kotor.     

"Anak angkat, kebetulan dia dipaksa ke rumah neneknya beberapa bulan ini. Tapi sekarang dia sudah kembali. Jadi, aku tinggal, ya," kubilang, sembari menepuk bahunya kemudian berjalan pergi. Sudah ada Paklik Sobirin di ujung jalan, yang baru saja sampai. Aku tahu, dia hendak menjemputku. Sementara mobil yang kupakai dengan Bima kutinggal. Untuk kendaraannya pulang.     

"Bang Arjuna!" teriak Bima, saat aku sudah melangkah agak jauh darinya. Kira-kira lima puluh meter dari tempatnya berdiri. "Maafin aku, Bang!" ucapnya kemudian.     

Maaf? Untuk apa? Toh dia ndhak pernah berbuat salah apa pun denganku. Aku hanya melambaikan tangaku kemudian aku mendekat ke arah Paklik Sobirin.     

"Bagaimana?" kutanya, Paklik Sobirin tampak menundukkan wajahnya dalam-dalam.     

"Tubuh Ningrum lebam-lebam, Juragan."     

Hatiku benar-benar hancur mendengar itu dari mulut Paklik Sobirin. Kurang ajar memang keluarga dari simbahnya Ningrum.     

Awalnya, aku ndhak tahu kalau Ningrum ndhak ada di rumah. Tapi, waktu aku pulang setelah dari Jakarta Romo bilang, kalau ada salah satu dari keluarganya dari Jawa Timur ingin membawa Ningrum pulang. Sebuah alasan yang klise membuat Romo Nathan ndhak bisa melakukan apa-apa selain mengizinkannya. Toh pada saat itu, kata orang-orang yang ada di rumah, perlakuan mereka sangat manis kepada Ningrum. Namun siapa sangka, Ningrum—anak perempuanku telah mengirimkan sepucuk surat ke rumah. Yang isi dari surat itu adalah, meminta pertolongan agar dijemput untuk kembali. Sebab di sana, dia benar-benar ndhak merasa bahagia. Dia penuh tekanan, dan menderita. Ndhak butuh waktu lama, aku langsung mengutus Suwot. Kebetulan pula, Suwoto dari Jawa Timur, jadi dia seendhaknya yang lebih paham perkara apa-apa yang ada di sana. Meski dia harus mengundur masalah pencarian siapa pemuda yang telah memperkosa adikku—Rianti.     

Setelah menunggu hampir dua hari, akhirnya kabar baik itu datang. Suwoto telah membawa pulang Ningrum dengan keadaan selamat meski tubuhnya penuh dengan luka-luka. Ndhak apa-apa, ndhak masalah. Asalkan putriku bisa kembali bersamaku, dan akan kurawat dia dengan sangat baik setelah ini. Seendhaknya sekarang dia tahu, tentang mana orang yang benar-benar tulus, dan mana orang yang berakal bulus. Hidup itu kejam, jika aku terus melindunginya, dan memberinya zona nyaman, aku takut jika kelak dia akan tumbuh besar seperti Rianti. Ndhak bisa membiasakan diri di mana pun tempat asing ia berada. Hingga akhirnya, ada perkara yang memilukan seperti ini. Aku berharap jika Ningrum nanti menjadi seorang perempuan yang kuat, yang hebat, di mana apun itu dia berada. Aku ingin dia seperti Biung, juga istriku—Manis.     

Ndhak terasa perjalananku sudah berakhir, aku pun tiba di kediamanku kembali. Rumah masih tampak sepi. Namun, tatkala Paklik Sobirin membukakan pintu mobil, ada sosok Ningrum keluar dari rumah, berlari mendekat ke arahku. Memelukku dengan sangat erat. Sebuah senyum tiba-tiba terukir begitu saja di kedua sudut bibirku, bersamaan dengan perasaan yang begitu hangat. Rasa rindu yang tersampaikan, rasa sayang yang teramat dalam. Namun, air mataku pun ikut jatuh, tatkala melihat lengannya tampak biru-biru. Melihat kondisinya seperti ini, rasanya hatiku benar-benar terasa sesak sekali.     

"Romo... Romo, Ningrum rindu," kata Ningrum kepadaku.     

Aku langsung melepaskan pelukannya, kemudian aku menunduk. Agar wajah kami agaknya sejajar. Kupandang dia sembari sedikit mendongak, Ningrum tampak mengusap air matanya dengan kasar. Kugenggam wajah mungilnya dengan kedua tanganku, kemudian kuusap wajahnya dengan kedua jempol tanganku. Matanya masih nanar, sepertinya dia masih terpukul dengan apa yang baru saja dia alami.     

"Romo juga rindu kamu, Ndhuk. Selamat datang kembali di kediaman kita," kubilang. Dan hal itu berhasil membuat Ningrum kembali memelukku, kemudian tangisnya terpecah.     

Dan tampak dari belakang, Manis berdiri di ambang pintu, sembari memeluk dirinya sendiri. Dia tersenyum sembari menitikan air mata. Kupanggil dia dengan lambaian tanganku. Manis langsung berlari menghampiriku dan Ningrum. Kemudian dia berlutut, dan memeluk Ningrum juga aku. Kami, kemudian tenggelam dengan perasaan haru.     

"Jangan pergi-pergi lagi, Ndhuk. Ndhak perlu kamu mencari rumah, sebab di sinilah rumahmu yang sebenarnya. Di sinilah Romo, dan Biungmu berada," lirihnya saat itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.