JURAGAN ARJUNA

BAB 121 (A)



BAB 121 (A)

0BAB 1     
0

Percakapanku dengan Biung, tentunya telah menjadi memori tersendiri dalam setiap tarikan napasku. Entah aku yang terlalu berpikir jauh, atau aku tipikal pemuda yang selalu menjunjung tinggi apa pun yang telah Biung lakukan kepadaku. Sebab bagiku Biung adalah segalanya. Entah jika semua orang akan menganggapku sebagai anak Biung, atau anak manja yang selalu bersembunyi di ketiak orangtuanya. Tapi, apa pun ucapan itu aku sama sekali ndhak peduli. Sebab bagiku, ndhak ada pahlawan nyata dalam hidupku kecuali Biung.     

Biung, yang telah melahirkanku pada titik terendahnya sebagai manusia yang pikirannya sedang kacau saat itu, dan Biung adalah perempuan yang paling berjasa kepada hidupku lebih dari siapa pun.     

Teringat jelas apa kata-kata Buyutku waktu aku berada di Jambi dulu. Jika dulu, simbahku—Biung dari biungku adalah seorang simpanan. Dia telah jatuh hati kepada seorang Juragan tersohor di sana saat itu. Juragan Londo (Belanda) yang merayunya dengan kata-kata cinta. Ndhak perlu waktu lama untuk seorang perempuan kampung yang polos, sedikit ketulusan dan kata manis yang ia sampaikan merasuk begitu saja di dalam hati dengan begitu mudahnya. Hingga saatnya, simbahku benar-benar terjerat oleh pesona Juragan itu. Dan, ya, Juragan itu ndhak lain adalah Simbah Kakungku. Ingin tertawa tatkala aku menyebut lelaki ndhak tanggung jawab itu sebagai Simbah Kakung. Namun ada kebanggaan tersendiri jika rupanya Simbah Kakungku adalah seorang Juragan. Meski, garis keturunan itu berkembang dengan cara yang sangat ndhak pantas karena tanpa adanya ikatan pernikahan.     

Hari demi hari di awal kedekatannya Simbah Putri dengan Juragan itu merupakan awal yang sangat bahagia. Namun pada akhirnya, setelah Juragan itu tahu jika Simbah Putriku sedang hamil, sikapnya lantas berubah. Mungkin saat itu, Simbah Putri ndhak paham, atau malah pura-pura menutup mata dan telinga untuk paham. Jika sejatinya, dia hanya seorang perempuan kampung yang sedang dimanfaatkan oleh Juragan ndhak tahu diri itu. Untuk sekadar menikmati tubuhnya, untuk sekadar menjadi pemuas nafsunya, yang berkedok dengan kata... cinta.     

Dan berbagai alasan pun dilontakan oleh Juragan ndhak tahu diri itu, sampai sang Juragan benar-benar ndhak menemui Simbah Putri sama sekali. Namun, Simbah Putri, yang seorang perempuan paling tulus itu, menggenggam cintanya dengan sangat bodoh. Dia rela, hamil tanpa ada suami di sampingnya. Yang berakhir membuatnya menjadi bahan gunjingan oleh para penduduk kampung. Dia dikucilkan, kemudian dibuang, dan ndhak dianggap manusia oleh orang-orang sekitarnya. Hingga akhirnya Simbah Putri hendak melahirkan. Di situlah Buyut memaksa membawa Simbah Putri untuk kembali ke rumah. Sebab, ndhak mungkin benar, bagi seorang perempuan yang sedang hamil tua harus tinggal sendirian di dalam hutan.     

Dan akhirnya, di malam itu, Biung pun lahir. Seorang malaikat kecil berjenis kelamin perempuan lahir ke dunia dengan segala kesempurnaannya. Yang membuat Simbah Putri untuk sejenak bisa menyingkirkan duka laranya. Duka karena pengkhianatan, duka karena janji-janji manis namun semuanya palsu. Meski begitu, Simbah Putri ndhak pernah sedikitpun untuk menjelek-jelekkan Juragan ndhak tahu diri itu di depan Biung. Bahkan, setiap kali Biung bertanya tentang sosok Bapak, yang Simbah Putri lakukan adalah... mengatakan kepada Biung jika dia memiliki Bapak. Seorang Bapak yang sangat bagus (tampan) wajahnya, seorang Bapak yang sangat menyayanginya, dan seorang Bapak yang sangat welas-asih. Dan Bapak itu telah pergi jauh, jauh sejauh-jauhnya sampai ndhak sempat untuk kembali.     

Biung kecil waktu itu masih teramat lugu, dia percaya saja dengan ucapan Simbah Putri. Sampai akhirnya, usia Biung semakin lama semakin dewasa. Dan bentuk tubuh serta wajah Biung ndhak bisa dibohongi. Jika Biung, berbeda dari kawan-kawan sebayanya.     

Dan di sanalah semua kawan-kawan jahatnya itu terus mengolok-olok Biung. Mengatakan jika Biung sejatinya adalah anak dari seorang simpanan. Anak yang lahir tanpa Bapak, dan anak yang lahir dengan dosa segunung yang ndhak mampu untuk dihapuskan bagaimanapun caranya.     

Biung agaknya kaget, kemudian Biung tahu sendiri. Jika rupanya, bapaknya bukan sedang pergi jauh. Bapaknya ada, di sini. Dan bapaknya ndhak lain adalah seorang Juragan tersohor di sana. Dan yang paling memilukan lagi, bapaknya juga memiliki dua anak laki-laki, yang kehidupannya berbanding terbalik dengan kehidupan yang ia miliki.     

Rasa penasaran, rasa kesal, dan rasa marah bercampur jadi satu dalam hatinya. Dia terus bertanya-tanya, bagaimana bisa biungnya harus hidup menderita, jika suaminya ternyata adalah seorang Juragan tersohor di kampungnya saat itu. Bagaimana dia harus menahan lapar, sampai harus mencuri-curi singkong jika bapaknya adalah seorang Juragan tersohor. Sementara kedua saudaranya, memakai pakaian-pakaian bagus, memakan makanan enak. Dan kenapa dia ndhak bisa merasakan hal yang sama seperti apa yang saudaranya rasakan?     

Dan tibalah saat itu, tatkala kabar duka bagi penduduk kampung datang. Juragan ndhak tahu diri itu akhirnya meninggal. Dan ndhak lama setelah itu, Simbah Putri pun jatuh sakit. Sakit yang bahkan sampai menghabiskan satu ekor kerbau dari Buyut tapi penyakit itu ndhak kunjung sembuh juga. Dan yang ada hanyalah, kematian yang datang dengan cara memilukan mata.     

Biung kecil saat itu benar-benar terpuruk, dia melaknat bapaknya sendiri. Sebab bagaimana bisa, seorang laki-laki yang mencintai perempuan, sampai rela melakukan tindakan kejam seperti ini. Membuat perempuannya harus merana, menahan beban rindu yang membuatnya terlunta-lunta. Dan hingga akhirnya, rasa cinta, rasa rindu, dan rasa sesak yang selama ini disimpan dalam dada. Menjadi bomerang untuk dirinya sendiri. Hal-hal yang ia bendung, menjadi sebuah penyakit yang menyayat hati. Dan berlahan menggerogotinya secara berlahan. Hingga kematian menyapanya dengan cara yang teramat kejam.     

Namun siapa sangka, namun siapa mengira. Jika hal yang dulu telah melukai Simbah Putri juga Biung malah akan terulang lagi. Faktanya, karma itu terulang pada Biung, yang telah jatuh hati kepada sosok lelaki, yang telah beristri. Dan lelaki itu ndhak lain adalah romoku sendiri.     

Meski keduanya saling cinta, meski keduanya saling berjuang. Nyatanya, yang kurasakan adalah, yang sakit hanya Biung, yang menderita lebih hanya Biung. Aku sama sekali ndhak akan memaksa jika Romo ndhak menderita, dan menyalahkan semuanya kepada Romo. Ndhak, tentu saja endhak. Hanya saja, penderitaan Biung itu lebih. Padahal awalnya cinta itu terjalin pasti karena laki-lakinya dulu yang menggoda.     

Biung dipukuli, Biung disiksa oleh penduduk kampung. Bahkan saat itu Biung digunduli dengan keadaan nyaris telanjang. Kurasa itu adalah perkara yang sangat menyakitkan. Dan belum siksaan siksaan lainnya yang lebih... lebih parah dari itu semua.     

Lantas dari semua itu, semua kesakitan yang biungku rasakan dulu. Bagaimana bisa aku membiarkan orang lain menyakiti perasaan biungku. Terlebih, sembari mengungkit tentang masa lalu Biungku.     

Iya, iya... jika benar apa yang dilakukan Biung dulu bukanlah perkara benar. Aku pun ndhak membenarkannya. Hanya saja sejatinya aku tahu, jika itu bukanlah perkara yang ia sengaja. Dan menurutku, Biung juga sejatinya telah merasa jera dengan semua pembelajaran hidup yang teramat pahit itu. Tanpa orang lain harus menghakimi, aku sangat tahu jika Biung sudah cukup trauma karenanya.     

Dan apa kalian tahu, kenapa aku bisa tahu tentang ini semua? Padahal sebenarnya, buyutku hanya menceritakan masa lalu Simbah Putriku saja? Ya, karena aku sering melihat kilasan-kilasan kisah pilu Biung dalam tidurku. Tepat setelah aku hampir mati di lereng gunung Lawu itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.