JURAGAN ARJUNA

BAB 122



BAB 122

0Biung tampak tersenyum, sementara aku hanya bisa tersenyum getir. Benar, memang jika aku bangga terlahir dari buah cinta antara Romo Adrian, dan Biung. Aku pun ndhak peduli jika aku terlahir dan menyandang sebagai anak haram bahkan sampai maut menjemputku nanti. Hanya saja, tatkala ucapan itu keluar dari mulut Rianti, itu benar-benar mengangguku. Laksana ribuan jarum yang menyerang ulu hatiku dalam satu waktu. Namun, aku pun ndhak ingin membuat Biung tahu akan itu. Aku ndhak mau Biung bersedih, sebab yang kuinginkan dari apa pun adalah, Biung bisa tenang. Tenang dalam mengabiskan masa tuanya, bersama dengan anak-anaknya. Meski sekarang, sejatinya tugasku sebagai anak pertama laki-laki lebih berat, dari pada sebelumnya.     
0

"Ohya, tadi Manis juga berada di kamar Rianti. Mereka agaknya berdebat hebat, sampai Rianti melempar semua barang-barang yang ada di kamarnya dengan sembarangan. Takut jika Biung terkena lemparan itu, Manis memeluk Biung dengan erat. Dia melindungi Biung, sampai akhirnya lengannya terkena salah satu kotak kayu yang dilempar oleh Rianti. Dan ini...," kata Biung terhenti, sembari memberiku sebuah botol kecil berwarna putih. "Ini adalah salep paling mujarab, oleskan ini pada luka Manis, dan juga Ningrum. Akan cepat sembuh dibanding dengan salep yang kamu dapat dari mantri itu. Ndhak percaya, coba saja. Tadi, Biung hendak memberikannya langsung, tapi melihat kalian bertiga sudah terlelap akhirnya niat Biung ndhak jadi. Biung ndhak mau menganggu keluarga kecil kalian, apalagi di malam hari seperti ini."     

Aku menelan ludahku dengan susah, ternyata benar tentang tebakanku tadi. Jika luka yang didapat Manis ndhak lain adalah dari kamar Rianti. Aku ingin marah tapi aku ndhak bisa. Aku seperti seorang pengecut yang ndhak bisa melakukan apa-apa untuk istrinya tercinta. Rianti sudah benar-benar kelewatan, dan aku ndhak akan membiarkan ini terjadi berlarut-larut sampai membuatnya besar kepala, egois, dan manja.     

Aku tahu dia telah diperkosa, dan kenyataan itu pasti telah menghujam hati serta mentalnya terlebih-lebih. Hanya saja, picik jika dia menyalahkan orang lain perihal itu. sebab sejatinya, hidupnya adalah tanggung jawabnya sendiri. Tanpa ada orang lain yang berhal menerima kesalahan atas hidupnya yang sudah berantakan.     

"Biung, sebentar lagi ayam pertama akan berkokok. Kalau Biung ndhak segera tidur, Biung akan mengantuk besoknya."     

"Tapi—"     

"Apalagi sekarang Romo Nathan ada di kamar. Bagaimana nanti jika Romo Nathan terbangun, dia pasti akan mencari-cari keberadaan Biung. Biung ndhak mau, toh, melihat suami tercinta Biung yang satu itu marah-marah hanya karena dia berpikir, kalau-kalau Biung digondol buto ijo."     

"Kamu ini," marah Biung, tapi kupaksa saja sembari merengkuh dan menuntun Biung agar dia mau berjalan menuju kamarnya.     

"Lagi pula, kan, ada tamu dari Jakarta. Sedari dia datang, sampai makan malam tadi, Biung benar-benar ndhak menyambutnya. Kalau Biung ndhak segera tidur, bisa-bisa tamu itu akan benar-benar Biung abaikan keberadaannya," bujukku lagi.     

Biung langsung berhenti, tatkala kami sudah berada di depan pintu kamarnya. Kemudian, dia memandangku lekat-lekat, sembari menampilkan senyum menawannya itu. Bahkan, hanya melihat Biung tersenyum seperti itu saja hatiku sudah benar-benar sangat lega.     

"Anak Biung terimakasih, ya. Karena kamu selalu ada untuk Biung. Terimakasih telah sudi menjadi anak Biung. Terlepas dari semua dosa yang telah Biung lakukan dulu,"     

Gusti, aku nyaris menangis mendengar ucapan Biung itu. Hatiku seperti diremas-remas karena mendengar penuturannya.     

Aku langsung meraih tangan Biung, kemudian menciuminya dengan khidmat. Ndhak, Biung ndhak boleh memiliki pikiran macam-macam seperti itu.     

"Aku yang berterimakasih kepada Biung. Sebab aku terlahir atas cinta, aku terlahir karena Biung mengingkannya. Ndhak perlu pengakuan kepada dunia, sebab aku sangat bahagia. Jadi, Biung tidur, ya, ndhak usah berpikiran macam-macam. Percayakan semuanya kepadaku, besok Rianti pasti sudah kembali seperti biasanya. Mau makan bersama dengan kita, mau bercengkerama serta ceria seperti sedia kala. Ini janjiku kepada Biung, dan aku ndhak akan pernah mengingkarinya."     

"Arjuna...."     

"Aku mencintai Biung."     

Setelah sedikit memaksa Biung untuk masuk ke dalam kamarnya, aku pun langsung menutup pintu kamar itu dari luar. Aku langsung bersender di dinding samping pintu itu dengan perasaan yang ndhak karuan. Kemudian, kulirik pintu kamar Rianti, yang lampu dalam kamarnya masih menyala. Di waktu selarut ini?     

Pelan aku mendekat pada kamar Rianti, kuintip dari celah cendelanya. Dia tampak duduk di dipannya, sembari menghadap pada cermin riasnya yang berbentuk bundar, yang berkaku dari besi, yang sengaja ia letakkan di atas lemari sepinggang samping kamarnya. Dia tampak menyisir rambut panjangnya yang ikal, meski tatapannya ada di dalam cermin tapi bisa kulihat dengan jelas. Jika tatapan itu kosong, menerawang jauh ke awang-awang (langit) seolah dirinya ndhak benar-benar ada di sini. Yang di sini hanyalah raganya saja.     

Aku pun melangkah mendekat ke arah pintu, menekan pelan pintu itu tiba-tiba sedikit terbuka. Jadi, pintu kamar Rianti ndhak terkunci? Tumben benar, rupanya.     

Pelan aku buka pintu itu, kemudian aku berjalan masuk ke arah kamarnya. Dia, masih ndhak menyadari keberadaanku, membuatku dengan teliti mengamati penampilannya. Sebuah rok beludru yang diberikan kepada Romo ia kenakan di tengah malam seperti ini, serta wajah berias sempurna yang kutangkap di balik cermin bundarnya itu. Apa yang dia lakukan? Kenapa tengah malam dia berdandan layaknya seorang perawan yang hendak pergi ke suatu tempat di siang hari?     

Kulirik ke arah jendela, dan jendela itu terbuka dengan sempurna. Sebuah hal yang membuat dahiku berkerut. Aku benar-benar cukup bingung dengan apa yang hendak ia lakukan sekarang. Pelan, aku memilih untuk mundur. Sembunyi sebisa mungkin agar kehadiranku ndhak terlihat matanya.     

Setelah ia selesai menyisir rambutnya, dia pun menggerainya begitu saja. Lagi, keanehan yang dilakukan Rianti saat ini. Sebab setauku, dia paling jarang menggerai rambutnya. Terlebih, di dalam rumah sekalipun.     

Rianti tampak berjalan ke arah jendela, menoleh kekiri-kekanan, seolah dia tengah menunggu seseorang. Dan aku sama sekali ndhak tahu, siapa sosok yang dia tunggu itu.     

Lalu, suara seperti ranting pohon yang patah bercampur dengans semak-semak yang bergoyang tampak nyata. Di sana, muncul seorang pemuda. Kusipitkan mataku untuk melihat siapa gerangan pemuda yang menemui Rianti di tengah malam seperti ini. kemudian, mataku terpaku.     

Zainal?     

Ya, dia adalah Zainal, salah satu pemuda kampung yang kebetulan kegiatan kesehariannya adalah menernak kambing-kambingnya di padang rumput hijau di tanah lapang yang berada di area agak tinggi sekitar kebun teh. Zainal adalah kawan sekolah Rianti dulu, sebelum Zainal memutuskan berhenti sekolah karena ingin membantu Emak, bapaknya di rumah. Lantas, untuk apa tengah malam seperti ini Zainal bertandang? Aku benar-benar ndhak paham dengan apa yang kulihat sekarang.     

"Ck... ck... ck! Ini perilaku seorang Ndoro Rianti? Yang katanya sok suci tapi nyatanya tengah malam seperti ini ketemuan dengan laki-laki? Jangan-jangan, kamu ingin mengundang laki-laki lusuh ini masuk ke dalam kamarmu, iya? Dasar tidak tahu diri."     

Aku kembali kaget tatkala mendengar suara itu, sosok Bima kemudian muncul dari arah samping jendela. Sembari bersedekap, dan memandang Rianti dengan kebenciannya yang membara. Menimbulkan suasana mecengkam yang ndhak terkira. Jujur, aku benar-benar ndhak tahu, apa yang telah terjadi antara ketiganya. Prahara apa? Kisah apa? Sampai-sampai membuat Rianti berubah menjadi seperti ini. Dan hal ini malah semakin membuatku yakin untuk mencari tahu, tentang kebenaran untuk mengungkap siapa dalang di balik pemerkosa Rianti. Ya, aku harus tahu!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.