JURAGAN ARJUNA

BAB 123



BAB 123

0Suasana menjadi hening tatkala Bima ada di situ. Benar-benar sangat canggung yang luar biasa. Aku sama sekali ndhak tahu, kenapa bisa aku malah sembunyi di sini. Seperti maling yang takut ketahuan mencuri dari rumah seseorang.     
0

Duh Gusti, ruwet benar toh perkara ini. Bagaimana bisa aku berlaku seperti ini. Lantas apa yang terjadi dengan mereka? Apa jangan-jangan ini yang disebut dengan cinta segi tiga? Kenapa ndhak cinta segi lima sekalian.     

Aku mundur, tatkala melihat ada kecoak yang berada tepat di depan hidungku. Bajul benar kecoak ini, kenapa dia bisa berada di depan hidungku! Bagaimana kalau kecoak ini kencing? Duh Gusti!     

Brak!     

Aku langsung menutup mulutku yang nyaris berseru, karena lenganku ndhak sengaja menyenggol lemari tempatku bersembunyi. Rianti, Zainal, dan Bima tampak melirik ke arahku bersembunyi. Sepertinya, mereka mulai curiga atas apa yang terjadi di sini. Duh Gusti, semoga saja ndhak ketahuan.     

"Apa itu?" kata Rianti tampak bingung.     

Aku langsung diam, benar-benar diam, ndhak berani berkutik sedikit pun. Kalau Rianti tahu akulah yang bersembunyi di sini, pasti kemarahannya kepadaku semakin bertambah berkali-kali lipat.     

"Mungkin itu tikus, toh," kata Zainal.     

"Tikus, toh?" kata Rianti sembari meninggikan suaranya, seolah dia hendak memastikan apa benar aku ini tikus.     

"Iya," kujawab. Aku langsung menutup mulutku. Duh Gusti, mana ada tikus bisa berbicara iya? Lagi pula, aku sendiri ndhak tahu suara tikus itu seperti apa.     

Rianti tampak menarik alisnya, sepertinya dia paham betul suara siapa yang menjawab pertanyaannya. Setelah dia memutar tubuhnya dan menyuruh Zainal pergi, dia pun menutup jendela kamarnya. Menutupnya dengan kasar, kemudian berjalan mendekat ke arahku sembari melipat kedua tangannya di dada.     

Padahal, aku yang ingin marah kepadanya. Tapi kenapa malah situasinya berbalik seperti ini, toh? Sial benar, toh, hidupku ini.     

"Keluar! Kenapa kamu sembunyi di balik lemari pakaianku! Apa kamu sengaja mau memata-mataiku, iya!" galak Rianti.     

Aku pun berjalan keluar, sambil menebas kaus lengan panjangku aku berjalan dengan angkuh menuju ke arah dipannya. Dengan memasang tampak ndhak bersalah sama sekali, dan ndhak tahu malu, tentunya.     

"Enak saja, siapa pula yang mau memata-matai perempuan galak sepertimu!" marahku. Rianti langsung mendengus, memalingkan tubuhnya dariku kemudian cepat-cepat ia menghapus riasannya.     

"Kenapa ada Zainal ke sini? Ada hubungan apa dia denganmu? Terlebih, kenapa juga Bima malam-malam ada di jendela kamarmu?" selidikku. Tapi, dia ndhak menjawab sama sekali. Seolah suaraku ndhak terdengar olehnya. Kurang ajar benar anak perempuan satu ini. "Ndhak penting juga kalau kamu mau jawab apa endhak, aku ke sini hanya ingin mengatakan beberapa hal denganmu."     

"Aku ndhak butuh, pergi. Aku ngantuk, mau tidur."     

"Mau sampai kapan?" tanyaku pada akhirnya, dia diam, ndhak membantah lagi ucapanku. "Mau sampai kapan kamu bersikap pengecut, dan kekanakan seperti ini, Rianti? Apakah dengan menyalahkan semuanya kepada orang lain atas musibah yang menimpamu itu membuatmu cukup puas dan bangga? Ck! Ndhak tahu diri," sindirku lagi. Rianti tetap masih diam, dia ndhak mengatakan apa-apa, masih memunggungiku. Tapi bisa kulihat, dia tampak mengusap riasannya dengan lebih kasar dari tadi. "Apa yang terjadi padamu itu karena ulahmu sendiri. Ndhak ada hubungannya dengan Biung, ndhak ada hubungannya juga denganku. Jikalau kamu mendapat perlakuan buruk dari seseorang, seharusnya kamu intropeksi diri. Apa yang salah darimu sehingga banyak orang yang ndhak suka, apa yang salah darimu sehingga banyak pemuda yang menggoda. Dan yang lebih penting dari itu semua adalah, semua yang terjadi kepada seseorang itu namanya musibah, juga ujian! Apa kamu masih ndhak paham dengan perkara itu, Rianti?"     

"Sudah menceramahiku?" katanya tiba-tiba, yang masih memandangku dengan tatapan bencinya itu. "Kamu tahu, toh, pintu keluarnya di mana."     

"Pantas saja semua pemuda di Universitas membencimu, sifat congkakmu yang seperti inilah yang membuat semua pemuda benci denganmu."     

"Diam!"     

"Aku ndhak akan diam!" bentakku pada akhirnya. Cukup... cukup, kesabaranku telah habis. Dan aku ndhak mau mengalah lagi pada perempuan ndhak tahu diri seperti Rianti! "Memangnya kenapa kalau aku bukan anak kandung dari Romo Nathan? Toh aku adalah keponakannya! Anak dari kangmasnya sendiri! Memangnya kenapa kalau aku anak haram? Toh aku hadir dari saksi cinta antara Romo Adrian, dan Biungku! Semua anak di dunia ini terlahir suci! Ndhak ada satu pun yang namanya anak haram atau sebagainya. Paham kamu!" bentakku. Mata Rianti tampak berkaca-kaca, dia terkejut dengan wajah merah padamnya. Ini, adalah kali pertama aku membentaknya. Mungkin, dia kaget karena itu. Tapi, aku sama sekali ndhak peduli. "Asal kamu tahu, romoku memilih mengakhiri hidupnya itu demi kebahagiaan Romo Nathan juga Biung. Jadi, berhenti bersifat munafik dengan melakukan ini semua. Kamu itu siapa, hah? Kamu bukan Gusti Pangeran, jadi kamu ndhak berhak mengadiliku sama sekali! Asal kamu tahu, orangtua kandungku sama sekali ndhak ada niatan mengandung di luar nikah. Keadaannya waktu dululah yang membuat mereka ndhak bisa melangsungkan pernikahan! Sebab bagaimanapun, Romo Adrian adalah seorang Juragan tersohor yang pantang baginya menikahi seorang dari kalangan jelata. Romoku sama sekali ndhak bisa berbuat banyak karena ada Eyang Kakung yang terus menjadi bayang-bayangnya. Paham itu Rianti! Sekali lagi kamu mengataiku anak haram, akan kurobek mulutmu dengan kedua tanganku sendiri. Terlebih...," ucapanku terhenti, kemudian aku mendekat ke arah Rianti yang tampak ketakutan denganku sekarang. "Jangan pernah kamu sakiti Biung, jangan pernah kamu menyebut hal buruk-buruk tentang Biung. Sama halnya dengan dirimu saat ini, Biung hanyalah seorang lakon (pemeran) dalam sebuah drama dari kehidupan ini. Semuanya ndhak lain adalah karena takdir dari Gusti Pangeran. Memangnya kamu pikir, Biung mau jatuh hati kepada Romo Adrian saat itu, hm? Endhak... endhak sama sekali. Jika waktu bisa diputar, jika hati bisa memilih sesuai kehendak, dia sama sekali ndhak akan mau untuk mencintai Romo Adrian. Karena apa? Karena cintanya dengan Romo Adrian jelas salah. Memangnya kamu pikir, Biung mau disiksa oleh warga kampung karena cintanya itu, hm? Ndhak mau! Andai jika dia bisa memilih pasti Biung ndhak akan mau diperlakukan seperti itu oleh warga kampung! Terlebih, apa Biung mau diperkosa oleh orang-orang kurang ajar itu, hm? Kalau ini, kamu pasti tahu sendiri jawabannya, sebab kamu sendiri yang telah mengalaminya. Paham itu, Ndhuk!"     

Rianti langsung ambruk di depanku, dia menangis sejadi-jadinya sekarang. Entah apa yang dia tangiskan sebab aku sendiri ndhak tahu tentang isi hati dan jalan pikirannya. Yang kurahap adalah, dia bisa sadar. Dia bisa mengerti jika kehidupan itu ndhak selamanya manis. Karena pahitnya kehidupan, lebih mengerikan dari pada yang dia pikirkan.     

"Kamu tahu, bagaimana perasaan Biung tatkala kamu mengungkit-ungkit hal yang bahkan membuatnya trauma itu? Biung hancur, bahkan Biung sampai sakit. Biung mendengar tatkala kamu mengatakan itu dengan sangat lantang. Asal kamu tahu, Rianti, dulu... Biung sempat depresi karena kehilangan Romo Adrian. Laki-laki yang sangat mencintainya, yang bahkan rela menyerahkan nyawanya demi melindungi perempuan yang dia cinta. Dan apa kamu tahu arti dari cinta sejati macam itu, Rianti? Bahkan, mendengarnya saja, semua orang akan merinding. Bahkan mendengarnya saja, semua orang akan bangga. Jika seorang Larasati, anak dari rakyat jelata, bisa dicintai segila itu oleh seorang Juragan tersohor di tanah Jawa. Dan ndhak satu, tapi dua. Romo Adrian, dan Romo Nathan. Itu sebabnya aku bangga, dan aku ndhak pernah merasa malu akan hal itu."     

"Tapi... tapi...," kata Rianti dengan suara bergetarnya. "Aku takut... aku takut orang itu akan membongkar semuanya,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.