JURAGAN ARJUNA

BAB 124



BAB 124

0Kukerutkan keningku tatkala mendengar ucapan Rianti seperti itu. Orang itu? orang itu siapa yang dimaksud oleh Rianti? Tapi, aku ndhak mau bertanya lebih lanjut. Aku harus menyuruh Suwoto untuk menyelidiki ini semua. Aku ndhak perlu bertanya dengan Rianti. Tentang apa pun itu.     
0

"Aku harap, malam ini kamu bisa intropeksi diri. Dan berhenti menjadi Rianti yang menyebalkan lagi. Dan aku harap, besok kamu sudah bisa kembali seperti biasanya," setelah mengatakan itu, aku langsung keluar dari kamar Rianti. Sembari terus memukul-mukul dadaku yang terasa begitu sakit.     

Aku masuk ke dalam kamar, rupanya Manis telah terbangun. Mungkin dia sadar, kalau aku ndhak ada di kamar tadi.     

"Kangmas, dari mana?" tanyanya yang tampak khawatir. Ohya, aku lupa, jika sebenarnya niatku adalah mengambil air tadi. Dan kendiku ternyata sudah berada di kamar lagi, pasti Manis yang telah mengambilnya untukku.     

Aku langsung berjalan cepat, kemudian memeluk tubuhnya dengan sangat erat. Ah, rasanya memeluk tubuh orang yang kita cintai senyaman ini. Aku benar-benar baru tahu.     

"Aku lelah," jawabku.     

"Lelah?" tanyanya bingung.     

"Boleh aku tidur?" tanyaku meminta sarannya. Dia ndhak bertanya lebih jauh, dan itulah salah satu hal yang kusuka dari Manis. Dia selalu menghormati privasiku, dia ndhak pernah menjadi sok kuasa, jikalau aku ini suaminya, dan dia berhak tahu atas semua hal tentang aku.     

"Ya sudah, tidur, Kangmas. Agar kamu besok ndhak mengantuk," ucapnya kemudian, sambil tersenyum hangat, menuntunku untuk berbaring ke dipan, kemudian menyelimuti tubuhku.     

Dia mengelus rambutku, sementara tangan yang lainnya kugenggam erat-erat. Kemudian dia nembang (melantunkan lagu jawa) dengan begitu lembut agar aku tertidur. Benar-benar persis seperti Biung. Kehangatan ini, adalah yang benar-benar aku butuhkan.     

*****     

Pagi ini, aku sedang bercakap dengan Paklik Junet. Kabarnya, dia sedang memiliki kawan yang sedang mencari beberapa kayu jati tua. Hendak dibuat beberapa peralatan rumah dan lain sebagainya. Jadi, kusuruh Paklik Junet untuk menghubungi kawanku yang berada di kecamatan tetangga, sebab ada kawanku yang cukup banyak memiliki pohon jati yang memang ia tanam sengaja untuk diperjual-belikan.     

"Kalau modelnya seperti itu, Paklik Junet ya akan mendapatkan upah?" kutanya. Paklik Junet yang tampak semangat pun lantas menyilangkan kakinya, sembari menyalakan rokok kemudian menyesapnya dengan nikmat.     

"Oh, tentu! Katanya, aku akan mendapatkan persenan dari kawanku itu! lumayan, dua persen, lho! Walah, aku bakal jadi Juragan ini!" semangatnya. Aku tersenyum mendengar hal itu. Duh Gusti, seperti mudah saja menjadi seorang Juragan. Sepertinya, setiap orang kaya pasti akan menjadi Juragan.     

"Juragan, Juragan Arjuna!"     

Aku menoleh, tatakla Suwoto datang dengan tergopoh. Wajahnya tampak panik, berjalan cepat ke arahku.     

"Juragan... Juragan," katanya lagi. "Aku telah menemukan sesuatu," lanjutnya.     

"Kamu ini mau bicara apa, toh, Suwoto? Kok ya mangap-mangap seperti ikan yang kekurangan air saja, toh," ketusku.     

"Begini, lho, Juragan. Aku tahu siapa yang telah membocorkan semua rahasia masa lalu Juragan kepada Ndoro Rianti,"     

Aku langsung berdiri mendengar Suwoto mengatakan hal itu. Mataku memicing memandang ke arah Suwoto.     

"Siapa?" tanyaku yang ndhak sabaran.     

"Puri, anak dari kawan Ndoro Putri Larasati. Bahkan, dialah dalang yang membuat acara naik gunungnya Ndoro Rianti. Dan dia mengirim komplotan untuk memperkosa Ndoro Rianti,"     

"Apa? Jadi, Purilah dalang atas kejadian yang menimpa adikku? Yang memperkosa Rianti adalah orang-orang suruhan Puri?" tanyaku kaget. Tapi, Suwoto menggeleng kuat. Dan itu berhasil membuatku bingung luar biasa. "Lantas apa maksudmu semua ini, Suwoto? Aku kok malah bingung dengan ucapanmu,"     

"Jadi, begini, Juragan, menurut kabar yang kudapat. Waktu di gunung itu, benar memang kalau Puri hendak mencelakai Ndoro Rianti, dengan menyuruh orang memperkosa Ndoro Rianti. Hanya saja, waktu kejadian itu tiba-tiba ada yang menolong Ndoro Rianti. Sehingga rencana Puri telah gagal," jelas Suwoto kemudian.     

Jika memang benar seperti itu kejadiannya, berarti ada orang lain lagi yang melakukan pemerkosaan itu? Apa jangan-jangan orangnya adalah yang menolong Rianti?     

"Lantas siapa bajingan yang telah memperkosa adikku, Suwoto? Apa kamu tahu pelakunya?" tanyaku lagi kepada Suwoto.     

"Pelakunya adalah—"     

"Pagi, Bang,"     

Aku, Paklik Junet, dan Suwoto menoleh. Tatkala melihat Bima yang baru saja keluar dari dalam rumah. Dia berjalan mendekat ke arah kami, sambil memandang kami dengan pandangan bingungnya. Aku yakin, dia penasaran tentang apa yang kami bicarakan sampai-sampai raut wajah kami tegang.     

"Ada apa? Apa aku mengganggu?" tanyanya kemudian, tapi aku dan kedua orangtua ini malah diam saja.     

"K... kamu kok di sini?"     

Kini aku menoleh ke arah Suwoto, yang tampaknya kaget melihat kalau Bima ada di kediamanku. Aku kemudian melihat ke arahnya, dengan perasaan bingungku. Apakah Suwoto kenal dengan Bima?     

"Siapa? Kamu kenal aku, Paman?" tanya Bima tampak bingung.     

Suwoto melihatku, dan Bima bergantian. Seolah ada tanda besar di sana. Mungkin dia bingung, kenapa ada Bima di kediamanku.     

"Oh, Bima... dia ini adalah anak dari kawan baik Romo yang ada di Jakarta. Untuk beberapa bulan ini dia akan di sini, untuk mengurusi bibit tembakau agar ndhak terserang hama lagi," jelasku padanya.     

Tapi tatapan Suwoto agaknya aneh, memandang lurus-lurus pada Bima. Membuat Bima tampak sungkan, dipandang dengan cara seperti itu.     

"Paman Nathan menyuruh Bang Arjuna masuk untuk sarapan. Maaf, aku balik dulu," kata Bima pamit. Kemudian dia memutuskan kembali masuk ke dalam rumah, dan aku tebak dia menuju tempat makan sekarang.     

Setelah aku melihat sosok Bima menguhilang, aku kemudian kembali fokus kepada Suwoto. Yang bahkan sampai detik ini, dia memandang Bima tanpa kedip. Apakah Suwoto telah jatuh hati dengan gaya kota khas Bima? Sampai-sampai dia kaget luar biasa seperti itu.     

"Kenapa kamu melihat Bima seperti itu? Kamu terpikat dengan gaya kotanya?" ejekku. Suwoto langsung memandangku, kemudian menggaruk tengkuknya.     

"Oh, buka, Juragan."     

"Sekarang Bima sudah ndhak di sini. Jadi, jawab pertanyaanku, apa kamu tahu siapa gerangan yang telah memperkosa adikku? Biar aku langsung membunuhnya saat ini juga," tanyaku kepada Suwoto lagi. Tapi untuk sesaat Suwoto bingung, raut wajahnya mendadak jadi ndhak terbaca sama sekali. Benar-benar berbeda dengan tadi tatkala dia datang dengan langkah tergopohnya. "Suwoto, aku bicara kepadamu!��� bentakku pada akhirnya.     

"Oh, maaf, Juragan. Aku sedang ndhak fokus. Untuk perkara siapa yang sebenarnya telah memperkosa Ndoro Rianti. Saya... saya benar-benar ndhak tahu, Juragan. Sepertinya, saya harus mencari tahu lebih keras lagi, agar bisa melaporkan kepada Juragan."     

"Yakin? Kamu yakin dengan hal itu?" selidikku, kenapa aku jadi ndhak percaya dengan ucapannya sekarang.     

"Yakin, Juragan!" jawab cepat Suwoto.     

Perkara itu biarlah diurus Suwoto dulu. Untuk sekarang, aku benar-benar harus mencari keberadaan Puri, untuk kemudian membuat perhitungan kepadanya. Agar dia tahu, di mana kedudukannya di dunia ini. Agar dia ndhak besar mulut, dan menjadi sok kuasa untuk mencoba mengusik hidupku. Atau jangan-jangan, orang yang dimaksud oleh Rianti itu adalah Puri?     

"Suwoto, istirahatlah sebentar. Kemudian sarapan, dan mandi. Setelah itu, ikut aku untuk menemui Puri," setelah mengatakan itu, aku langsung pergi. Masuk ke dalam rumah untuk menyusul Bima.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.