JURAGAN ARJUNA

BAB 126



BAB 126

0Sore harinya, aku memutuskan untuk mengajak Manis ke kota. Mencari di mana keberadaan Puri, atau bahkan aku akan mengatakan saja kepada orangtuanya. Selepas sarapan Manis aku beritahu garis besarnya, dan dia menjadi emosi karena perlakuan Puri itu. Sementara Ningrum aku titipkan kepada Romo, dan Biung. Pun dengan orangtuaku, aku telah memberitahu mereka, dengan cara sehalus mungkin. Bagaimanapun, Puri adalah anak dari sahabat kental Biung, ndhak mungkin sekali aku mengatakan itu dengan cara gamblang. Aku ndhak mau sampai Biung kecewa, dan kaget dengan semua ini. Dan untung saja, baik Romo dan Biung bisa mencerna semuanya, dan keduanya memberiku izin untuk melakukan apa pun yang kuanggap benar. Jadi Puri, mulai saat ini aku ndhak akan main dengan permainan halus lagi denganmu.     
0

Dan ternyata, ndhak hanya Suwoto. Bahkan Paklik Sobirin kini bersikeras ikut serta juga. Ndhak tahu apa maksud, dan tujuannya. Toh, nanti kalau ada apa-apa dia sama sekali ndhak bisa membela dirinya sendiri. Tapi kurasa, terlebih mendengar dari Suwoto, Paklik Sobirin itu telah jenuh. Dia ingin jalan-jalan, rindu jalan-jalan di kota. Sebab dia ingin mengingat hal-hal manis dulu, yang ia lewati. Meski aku sendiri pun ndhak paham, memangnya hal manis apa yang pernah dia lewati? Tak pikir dia ndhak punya hal manis sama sekali, toh.     

"Saya ini kalau di rumah, lihat Ndoro Rianti, dan Mas Bima malah ingat-ingat hal yang lalu, lho, Juragan," kata Paklik Sobirin.     

Saat ini kami masih berada di dalam mobil, menikmati perjalanan kami. Paklik Sobirin yang sudah mengoceh seperti buruk emprit sedari tadi kini dia membahas Rianti, dan Bima.     

"Yang lalu apa? Teringat akan kisah cintamu bersama Bulik Amah yang sangat manis itu?" jawabku malas-malasan.     

Paklik Sobirin kembali terkekeh, sudah seperti kekehannya itu bagus saja. Jika dibanding dengan kekehanya, kurasa kekehan Kunti jauh lebih merdu dari pada dia. Dasar, Paklik ini!     

"Bukan, Juran...," jawabnya kemudian. "Tapi kisah Juragan Nathan, dan Ndoro Larasati."     

Kukerutkan keningku mendengar jawaban itu. Kok bisa sama dengan kisah orangtuaku, toh? Memangnya, pertengkaran yang ndhak jelas seperti itu dulu Romo, dan Biung pernah melakukannya, apa? Kurasa ndhak mungkin.     

"Dulu, Juragan Arjuna, dan Ndoro Larasati itu seperti tikus, dan kucing. Kalau ketemu ndhak pernah barang sedetik saja ndhak bertengkar, dan ndhak saling menghina. Yang mereka lakukan ya seperti itu, persis seperti apa yang dilakukan Ndoro Rianti, dan Mas Bima."     

Aku diam sesaat, sembari mengingat senyuman aneh Biung, dan Romo. Apakah mereka juga mengingat hal-hal yang lucu dulu tatkala melihat Rianti, dan Bima bertengkar tadi?     

Iya, sejatinya aku tahu meski hanya sekilas, jika Romo, dan Biung dulu ndhak cukup akur. Tapi tatkala melihat pertengkaran Rianti, dan Bima dengan ucapan yang benar-benar kasar, aku pun kaget tatkala tahu jika dulu Romo, dan Biung juga seperti itu. Sungguh, benar-benar ndhak menyangka.     

Aku jadi ndhak bisa membayangkan bagaimana saat dulu. Dan pantas sajalah, kalau Biung ndhak tahu kalau Romo telah jatuh hati kepadanya. Lha wong jika melirik Rianti, dan Bima, apa yang keluar dari mulut mereka bukan sekadar pertengkaran saling ledek biasa. Tapi, menghina dengan sekasar-kasarnya.     

"Ya, mungkin itu salah satu sebab kenapa Ndoro Larasati dulu sangat benci dengan Juragan Nathan. Sebab ucapannya, ndhak pernah sekalipun juga ada manis-manisnya. Pahit, dan kasar," lanjut Paklik Sobirin.     

"Seperti buah pare saja, toh, Sobirin. Pahit, dan kasar. Tapi nyatanya, masih bisa dimakan kalau kita tahu cara mengolahnya, toh?" timpal Suwoto.     

Aku tersenyum mendengar ucapan Suwoto itu. Benar, memang. Sepahit-pahitnya buah pare, yang katanya paling pahit itu. Tapi tetap saja, banyak orang yang mau mengolah untuk dijadikan lauk. Jika kita tahu cara mengolahnya dengan benar, maka buah itu akan menjadi sangat nikmat, apalagi ditumis dengan ikan teri, dan dimakan dengan nasi putih hangat-hangat. Terlebih, buah itu juga memberikan banyak manfaat bagi yang mengonsumsinya.     

Mungkin, seperti itulah dulu Romo, dan Biung. Terlebih, Romo Nathan. Mungkin, dia berlaku sekasar dan ndhak manusiawi kepada Biung ada sebab musababnya. Namun pada akhirnya, toh keduanya telah menikah dan saling cinta. Yang bahkan, penyakit-penyakit rumah tangga yang sering dialami oleh orang-orang diluaran sana, kedua orangtuaku malah nyaris ndhak mengalaminya sama sekali.     

"Benar katamu, Suwoto. Juragan Nathan itu ibarat pare, mulutnya itu lho, pahit dan kasar benar. Padahal waktu itu berkata dengan Ndoro Larasati, yang sejatinya adalah seorang perempuan. Dan hebatnya, Ndoro Larasati pun ndhak bermanis-manis dan seolah terniaya, beliau menentang dengan ciri khasnya. Ndoro Larasati itu ibarat... ibarat... ibarat apa, ya? Yang bisa menawarkan pahitnya pare, itu, lho," kata Paklik Sobirin tampak kebingungan. Orangtua satu ini memang seperti itu, dia sendiri yang berkata dan mencari perumpaan, dia sendiri yang ndhak paham dengan kata yang hendak ia jabarkan.     

"Garam maksudnya?" tanya Suwoto. Paklik Sobirin langsung mengangguk semangat.     

"Nah, benar! Ndoro Larasati itu seperti Garam, dan Juragan Nathan itu seperti pare. Sepahit-pahitnya pare, pahitnya akan melebur jadi satu dengan rasa asin dari garam itu. Benar-benar, laksana ular telah menemukan pawangnya,"     

Manis menunduk, tapi aku tahu jika dia sedang berusaha sekuat tenaga menahan tawanya. Pantaslah Manis tertawa, lha wong aku saja rasanya ingin menempeleng kepala Paklik Sobirin saat ini juga. Untung aku ingat, kalau menempeleng kepala orangtua itu ndhak diperbolehkan.     

"Paklik, sepertinya dulu itu Paklik cita-cinta bukan menjadi seorang abdi dalem, toh, ya?" tanyaku.     

Paklik Sobirin tampak mengangguk semangat. "Lho, kok Juragan tahu? Jangan-jangan Juragan ini menerawangku, toh?" tebaknya. Duh Gusti, sabar... sabar....     

"Siapa juga yang mau menerawang abdi dalem ndhak jelas sepertimu. Anak kecil saja tahu, kalau semua orang di dunia ini ndhak memiliki cita-cita menjadi seorang abdi. Masak iya, baru brojol kok sudah memiliki cita-cita menjadi abdi, alias pembantu, toh. Maksudku, cita-citamu dulu itu apa? Sebelum menjadi abdi dari keluargaku? Apa jangan-jangan kamu punya cita-cita menjadi dalang, lagi."     

"Dalang? Kok dalang, toh, Juragan?" tanyanya yang malah bingung.     

"Lha wong setiap kamu bercerita itu, ndhak pernah jelas, singkat, dan mudah dipahami. Pakai perumpamaan segala. Dan lebih-lebih, perumpaan itu benar-benar ndhak jelas sama sekali. Ya itu, benar, cita-citamu itu menjadi dalang. Tapi, dalang yang gagal sebelum pagelaran wayang. (dalang : orang yang menggerakkan wayang saat pentas)     

"Ah, Juragan Arjuna ini bisa saja, toh. Aku jadi tersanjung ini lho."     

Mendengar jawaban dari Paklik Sobirin itu, Manis, dan Suwoto langsung terbahak. Sepertinya, keduanya benar-benar sudah ndhak bisa menahan tawa yang sedari tadi mereka coba untuk tahan kuat-kuat. Sementara aku hanya bisa mengelus dada. Sabar... sabar.... Memiliki abdi dalem seperti tia benar-benar membuatku tua sebelum waktunya.     

"Awas tertawanya ndhak usah kenceng-kenceng, nanti kencing di celana baru tahu rasa, lho," celetukku. Yang berhasil membuat Suwoto, dan Manis langsung berusaha keras untuk diam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.